
“Secara ekonomi zakat pastilah memiliki dampak besar. Akumulasi kapital yang ada dapat menjadi penenang bagi khalayak agar merasakan kegembiraan saat Idul Fitri tiba.”
Oleh Suparto Wijoyo*
SEKARANG ini deret waktu puasa Ramadan semakin merangkak mendekat ke arah Idul Fitri 1446 H. Hilir-mudik publik kian semarak mempersiapkan banyak hal menjemput lebaran. Beraneka ragam kebutuhan harus dipenuhi. Apalagi anak-anak yang bermanja-manja kepada orang tua untuk mendapatkan pakaian baru yang kerap menyerbu imajinasinya. Memang Ramadan ini menyodorkan dinamika religius sekaligus ekonomi dan budaya. Ada muncul seperti tradisi tahunan. Saat hari-hari puasa memasuki hitungan angka belasan, saf-saf jamaah masjid terlihat merapat ke depan. Itu tandanya jumlah jamaah terawihnya berkurang. Bukan berarti mereka meninggalkan terawih melainkan tidak sempat berjamaah di masjid atau surau dekat rumah, melainkan di masjid kantor-kantor yang sedang ramai mengadakan siraman rohani. Bahkan kantor-kantor Partai Politik demikian adanya. Mengadakan peringatan malam-malam yang mulia dengan mengaungkan Alquran.
Kini Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) justru lagi sibuk memantapkan kepanitiaan penerimaan zakat fitra. Panitia zakat kerap mengumumkan kepada jamaah dan masyarakat sekitar bahwa masjidnya menerima pengumpulan zakat fitra maupun zakat mal. Zakat fitra dapat diserahkan ke Panitia DKM yang dibentuk sebagai organ ad-hoc di masjid-masjid. Zakat ini dikumpulkan sampai pada batas malam terakhir terawih untuk didistribusikan kepada yang berhak menerima.
Saya sangat gembira dan terharu menyaksikan prosesi penerimaan zakat fitra di kampung-kampung halaman dulu. Anak-anak ikut berbondong-bondong menyerahkan zakatnya. Beras sebagai makanan pokok acap kali dijadikan material penyerahan zakat fitra itu sambil diberi taburan doa-doa. Anak-anak itu dituntun panitia dengan memegang berasnya sambil mengucapkan doa. Menuntun doa zakat fitra bagi diri sendiri lazimnya mengucap: Nawaitu an ukhrija zakaatal fithri ‘an nafsii fardhan lillaahi ta’aalaa. Itu berarti ada niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku sendiri, fardu karena Allah Ta’âlâ. Inilah sebuah ajaran yang diniatkan untuk berbagi dari diri sendiri. Belum lagi buat istri, anak dan orang lain yang ada dalam tanggungannya.
Tentu saja saya tidak akan memasuki wilayah fiqihnya melainkan memaknai fenomena ramainya para penyetor zakat fitra. Nanti apabila sudah menjelang malam takbiran dipastikan membeludak. Pezakat itu berbondong-bondong menyerahkannya. Harta yang berupa beras atau uang pastilah dipersilahkan untuk dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Kaedahnya kepada yang berhak menerima zakat. Mengapa umat ini sedemikioan ikhlas menyerahkan hartanya untuk membayar zakat fitra? Saya yakin inilah wujud dari kesadaran beragama dan bermasyarakat yang tumbuh kembang dalam jiwa setiap muslim.
Perilaku ini tidaklah tiba-tiba melainkan terbentuk karena melaksanakan sebuah tuntunan yang dicontohkan. Semisal dalam Alquran Surat At-Taubah: 103: “Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan) dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Terdapat pula Hadist yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Abu Dawud: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah atau satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas umat Muslim, baik hamba sahaya maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Beliau SAW memerintahkannya dilaksanakan sebelum orang-orang keluar untuk salat ied”.
Bahkan dalam Alquran Surat At-Taubah ayat 34-35 memberikan panduan yang pada intinya ada seruan dimana orang-orang yang beriman dilarang meniru tindakan banyak pihak yang suka memakan harta manusia dengan batil serta memalingkan (manusia) dari jalan Allah. Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, tetapi tidak menginfakkannya di jalan Allah, berikanlah kabar kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih, termasuk ada hari ketika (emas dan perak) itu dipanaskan dalam neraka Jahanam lalu disetrikakan (pada) dahi, lambung, dan punggung mereka (seraya dikatakan), ini harta yang dahulu kamu simpan untuk dirimu sendiri (tidak diinfakkan). Maka, rasakanlah (akibat dari) apa yang selama ini kamu simpan. Mengenai teks lengkapnya, silahkan bertadarus ya.
Secara ekonomi zakat pastilah memiliki dampak besar. Akumulasi kapital yang ada dapat menjadi penenang bagi khalayak agar merasakan kegembiraan saat Idul Fitri tiba. Saya mencoba memahami zakat ini dalam dimensi bernegara. Negara memang memiliki otoritas untuk mengumpulkan zakat tersebut dan rakyat dapat mendapatkan kemanfaatannya. Kini semua dapat merasa terpanggil untuk mengorganisir langkah-langkah melembagakan panitia zakat ini seperti yang telah ada, sehingga zakat dapat dinikmati oleh warga negara yang berhak. DKM setempat tentu memiliki pengetahuan warga sekitarnya yang paling berkewajiban membayar zakat dan yang paling berhak menerimanya. Pas menulis Tadabbur ini, saya mengimak pengajian di sebuah kantor DPP Partai Politik di Jakarta. Dalam konsteks ini saya lagi menikmati pula buku klasik. Malam Ramadan usai membaca Alquran saya membaca buku kecil karya Marcus Tullius Cicero (106-43 SM): How To Run A Country yang menjadi panduan untuk pemimpin modern. Semoga para pemimpin sempat membaca juga, dan selamat datang kepemimpinan dengan jiwa-jiwa baru produk Idul Fitri 1446 H. Barokah Ramadan.
*Prof Dr H Suparto Wijoyo, SH, MHum., CSSL, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan Guru Besar serta Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.