
SURABAYA | duta.co – Kerusakan mangrove di Indonesia termasuk di Jawa Timur makin mengkhawatirkan, banyak yang rusak dan peralihan menjadi tambak dan banyak yang ditelantarkan. Indonesia memiliki luasan 3,4 juta ha mangrove atau 23 persen dari poulasi mangrove global. Dan Jawa Timur sendiri memiliki kawasan mangrove terluas di Pulau Jawa, mencapai sekitar 30.000 hektare, ada penambahan 3.000 hektare dari 2021.
Untuk itu Yayasan Hutan Biru (YHB) atau Blue Forests resmi meluncurkan Program COAST–SHORE (Sustainable Habitats and Ocean Resilience for Everyone) di Surabaya, Senin (1/12/2025).
Peluncuran ini menandai dimulainya rangkaian intervensi strategis untuk memperkuat ketahanan pesisir dan ekosistem perikanan Indonesia melalui pendekatan integrasi mangrove dan budidaya perikanan berkelanjutan. Pada tahap awal, Jawa Timur menjadi fokus utama dengan dua kabupaten terpilih sebagai pilot project, Sidoarjo dan Gresik.
Meski begitu, tantangan besar masih membayangi. Sekitar 40% ekosistem mangrove telah berubah menjadi tambak, dan tercatat 120.000 hektare tambak terlantar—setara 42% dari total tambak. Kondisi ini menuntut model rehabilitasi yang tidak hanya memulihkan ekosistem, tetapi juga mendukung peningkatan ekonomi masyarakat pesisir.
Direktur Yayasan Hutan Biru, Rio Ahmad, menegaskan pentingnya mengintegrasikan rehabilitasi mangrove dengan pengembangan akuakultur berkelanjutan.Menurutnya, mangrove adalah penentu vital keberlanjutan perikanan nasional.
“Ikan yang hidup di laut dalam, 70% masa kecilnya hidup di mangrove. Mangrove itu pesantrennya ikan laut,” ujarnya.
Melalui program Coast–shore, Rio menyebut pendekatan IMSA (Integrated Mangrove–Sustainable Aquaculture) menjadi kunci untuk memulihkan fungsi habitat sekaligus meningkatkan produktivitas tambak.
Program COAST–SHORE sendiri merupakan bagian dari inisiatif Climate and Ocean Adaptation and Sustainable Transition (COAST) Facility, yang didukung Pemerintah Inggris melalui Blue Planet Fund dan dikelola oleh DAI Global UK. Program ini bertujuan memperkuat adaptasi pesisir terhadap perubahan iklim sekaligus mendukung ekonomi biru yang inklusif dan berkelanjutan. Fokusnya meliputi perbaikan tata kelola konservasi, penguatan perikanan skala kecil, dan pengembangan akuakultur ramah lingkungan.
Pada sektor konservasi, YHB menargetkan peningkatan tata kelola kawasan konservasi laut melalui penguatan kelembagaan masyarakat, pembaruan Rencana Pengelolaan Zonasi (RPZ), serta penerapan Monitoring, Control, and Surveillance (MCS) adaptif. Target awal meliputi pemulihan 40 hektare mangrove dan rehabilitasi 1.000 meter persegi lamun dan terumbu karang pada sejumlah lokasi intervensi nasional. Upaya ini juga disertai peningkatan kapasitas Pokmaswas dalam pemantauan kawasan konservasi.
“Selain konservasi, program ini menitikberatkan pada penguatan perikanan skala kecil berbasis masyarakat. Pendekatan ko-kreasi diterapkan agar nelayan, perempuan pesisir, pemuda, dan pemerintah desa terlibat langsung dalam perencanaan ruang laut, pengawasan kawasan, hingga pengelolaan sumber daya secara akuntabel. Komoditas kunci seperti kepiting bakau, lobster, dan ikan tirusan mendapat dukungan peningkatan rantai nilai serta akses pasar,” terangnya.
Di sisi lain, model IMSA menjadi inovasi utama dalam sektor akuakultur berkelanjutan. Melalui Farmer Coastal Field School (CFS), petambak di Sidoarjo dan Gresik akan mendapatkan pelatihan teknis tentang desain tambak ramah lingkungan, manajemen air, integrasi mangrove, hingga penguatan rantai pemasaran. Model ini dirancang agar tambak kembali produktif tanpa merusak ekosistem pesisir, sekaligus memperkuat benteng alami terhadap abrasi dan kenaikan permukaan air laut.
Menurut Lead COAST Facility Indonesia, Imam Syuhada, program COAST telah diimplementasikan di sejumlah wilayah Indonesia dengan fokus berbeda di tiap daerah, termasuk konservasi, perikanan, dan akuakultur. “Program COAST mendukung setidaknya delapan provinsi melalui pemberian grant kepada berbagai NGO. Blue Forests adalah salah satu mitra yang memfokuskan program pada model tambak, sementara wilayah lain mengembangkan rumput laut atau perikanan tangkap seperti rajungan,” jelasnya. Dukungan COAST mencakup advokasi, engagement masyarakat, hingga kolaborasi dengan sektor swasta.
Imam menegaskan bahwa di Jawa Timur, program difokuskan pada Sidoarjo dan Gresik sebagai daerah intervensi utama karena tekanan ekologis yang signifikan akibat degradasi mangrove dan menurunnya kualitas habitat tambak. “Blue Forests berperan menginisiasi, mengkatalisasi, dan menghubungkan komunitas, pemerintah, dan sektor swasta untuk menjawab tantangan di lokasi target,” tambahnya. Kerja kolaboratif ini diharapkan mampu mempercepat pemulihan dan peningkatan produktivitas tambak secara berkelanjutan.
Intervensi di dua kabupaten ini diproyeksikan dapat menjadi model nasional untuk restorasi tambak terlantar. Melalui pendekatan terpadu, lahan yang sebelumnya tidak produktif diarahkan untuk fungsi ganda: pemulihan habitat mangrove dan peningkatan produksi perikanan budidaya. Dengan demikian, program ini bukan hanya menata ulang ekosistem, tetapi juga memberikan dampak ekonomi langsung bagi ribuan keluarga pesisir.
Lebih jauh, program COAST–SHORE memandang masyarakat sebagai aktor utama perubahan. YHB menekankan bahwa keberhasilan program bertumpu pada regenerasi kepemimpinan lokal, mulai dari kelompok nelayan hingga koperasi pesisir. Pendekatan ini memastikan bahwa praktik yang diterapkan tidak berhenti pada tahap proyek, melainkan menjadi pengetahuan kolektif yang diwariskan secara berkelanjutan.
Dengan berbagai komponen strategis tersebut, program COAST–SHORE diyakini memiliki potensi besar untuk mengembalikan fungsi ekologis mangrove sekaligus meningkatkan produktivitas tambak di Jawa Timur. Sidoarjo dan Gresik diharapkan menjadi etalase implementasi ekonomi biru Indonesia: sebuah model integrasi mangrove–akuakultur yang adaptif, berkelanjutan, dan mampu menjawab tantangan perubahan iklim di wilayah pesisir. Imm







































