Tampak terdakwa Wong Daniel Wiranata saat jalani pemeriksaan di ruang sidang PN Surabaya, Rabu (6/3/209). Henoch Kurniawan
SURABAYA|duta.co – Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang diketuai Maxi Sigarlaki kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan penipuan dan penggelapan yang melibatkan Wong Daniel Wiranata sebagai terdakwa.
Sidang diruang Sari ini, digelar dengan agenda pemeriksaan terdakwa, Rabu (6/3/2019). Dalam keterangannya, Wong Daniel menceritakan secara detail bagaimana kronologis Bilyet Giro (BG) yang saat ini dijadikan sebagai barang bukti oleh jaksa, diperoleh oleh saksi Soetrisno Dihardjo dengan cara merampas dari tangannya.
Ia bersikukuh bahwa sejak awal dirinya sudah mengingatkan kepada Soetrisno dan Probo Wahyudi bahwa BG miliknya tersebut tidak bisa dikliringkan.
“BG tersebut didapat oleh Soetrisno dari mengambil paksa sesaat dikeluarkan dari tas milik Probo. Saya tidak pernah menjadikan BG tersebut sebagai jaminan hutang, baik kepada Probo dan Soetrisno. BG tersebut secara bergantian berada ditangan kedua orang tersebut dengan cara dirampas dan sempat disaksikan istri dan mertua saya,” terang terdakwa.
Ia pun menegaskan bahwa keberadaan BG sebesar Rp14 miliar yang diterbitkan oleh terdakwa tersebut, tidak ada kaitannya dengan hutangnya kepada Soetrisno. Ia mengatakan bahwa memang dirinya terbitkan namun untuk meminta tenggang waktu pembayaran pada pinjaman Rp7,5 miliar ke Probo, bukan untuk jaminan ke Soetrisno.
“Hanya untuk mengulur waktu pembayaran hutang Rp7,5 miliar awal ke Probo, bukan jaminan. Pada kerugian Rp12 miliar yang disoal Soetrisno saat ini, tidak ada jaminan yang saya serahkan,” ujar terdakwa.
Sedangkan hutang Rp7,5 miliar kepada Probo sudah dibayar oleh terdakwa sejak Juni 2015, bahkan jumlahnya hampir Rp10 miliar. Sedangkan hutang sebesar Rp12 miliar yang diklaim Soetrisno, terdakwa mengaku tidak pernah menerima amplop berisi dolar seperti dalam dakwaan jaksa.
“BG saya tujukan ke rekening saya sendiri, bukan untuk dikliringkan. Saya terpaksa menerbitkan BG karena saya merasa terintimidasi. Saat itu Probo menagih dari pagi, siang hingga malam. Lah saat hutang sudah saya lunasi, pada Juli 2015 Probo memanggil saya untuk mengembalikan BG yang disitanya. Disitu ada Soetrisno, lalu mengambil paksa BG sambil berkata saya masih ada urusan dengan dia (Soetrisno, red),” beber terdakwa.
Tidak Bisa Labfor, Berkas Udah Dikirim ke Jaksa
Soal pembubuhan tanda tangan, terdakwa menyangkal semua tanda tangan dalam barang bukti adalah miliknya. “Bahkan saat diperiksa di penyidik (BAP, red) saya sempat meminta untuk dilakukan tes labfor. Namun penyidik mengatakan tidak bisa, karena berkas sudah terlanjur dikirim ke jaksa,” tambah terdakwa.
Masih menurut terdakwa, bahkan Soetrisno dan beberapa orangnya, sempat mendatangi kantornya di Kedung Cowek untuk mengambil paksa barang miliknya.
“Barang-barang itu berupa alat-alat teknik. Dibawa ke kantor Soetrisno yang terletak di jalan Kenjeran. Apabila dihitung nilai barang-barang tersebut berkisar Rp20 miliaran,” sambung terdakwa.
Usai sidang, DR Ir Yudi Wibowo Sukinto SH, MH, salah satu penasehat hukum terdakwa, secara tegas mengatakan bahwa terdakwa harus bebas demi hukum.
“Jelas terungkap dalam fakta sidang, bahwa terdakwa tidak pernah menerima uang sebanyak Rp12 miliar seperti dalam dakwaan jaksa. Jadi peristiwa hukum yang diceritakan para saksi itu tidak ada. Saya berharap hakim dapat melihat fakta ini. Seminimnya harapan kita divonis onslagh,” terang Yudi.
Terlebih, dalam sidang sebelumnya, saksi Temmu tidak bisa menunjukan kebenaran sesuai keterangannya. Ia mengaku uang Rp12 miliar diberikan Soetrisno kepada terdakwa dalam beberapa kali tahap dan dimasukan kedalam 6 amplop berupa mata uang dolar.
Saat dites didepan hakim, saksi menunjuk pecahan 1 dolar. Padahal, apabila dikalkulasi, nilai tersebut sangat jauh dari jumlah yang diklaim pelapor sebanyak Rp12 miliar. “Itu salah bukti adanya ketidaksesuain keterangan saksi satu dengan yang lainnya,” ujar Yudi.
Ia juga mempertanyakan alasan dilaporkannya terdakwa ke polisi pada 2017, sedangkan berselang 2,5 tahun sejak BG diterbitkan. “Artinya sudah melampaui 70 hari jatuh tempo BG, yang dimana sudah tidak mempunyai legalitas secara hukum,” tambah Yudi.
Dalam dakwaan jaksa diceritakan, perkara ini berawal dari terbitnya Bilyet Giro PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk No BV471011 yang diterbitkan terdakwa senilai Rp12 miliar. Padahal menurut terdakwa BG tersebut ia terbitkan sebagai alih-alih mencari alasan untuk menunda pembayaran hutangnya kepada Probo Wahyudi senilai Rp7,5 miliar.
Terdakwa mengaku mendapat BG dari pembiayaan Proyek Pengadaan Kran dan Valve dari Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) Kota Balikpapan pada bulan Oktober 2014 silam. Padahal hal itu fiktif.
Atas perbuatan terdakwa, korban mengaku dirugikan sebesar Rp12 miliar. Oleh jaksa, terdakwa dijerat pasal 263 ayat 1 dan 2 serta pasal 378 KUHP. Sidang dilanjutkan pekan depan dengan agenda tuntutan. eno
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry