Oleh M. Shoim Anwar *)
Dunia wayang adalah dunia imajinatif. Keberadaannya secara fisik mungkin tak pernah ada. Adanya kondisi negara yang sangat ideal dalam pewayangan mungkin juga tak akan terjadi dalam kehidupan nyata. Wayang adalah simbol keberadaan karakter manusia serta bayang-bayang dunia ide dalam berbagai dimensi. Dengan kata lain, wayang adalah pemodelan dari berbagai sisi dan keinginan dalam kehidupan.
Tafsir terhadap makna pewayangan juga sangat terbuka dalam berbagai konteks, fleksibel karena dikaitkan dengan nilai-nilai universal. Meski begitu, secara umum tafsir terhadap pewayangan sering dikaitkan dengan politik dan kekuasaan, terutama perilaku para aktornya. Pertanyaan konkretnya, figur bagaimanakah dalam dunia nyata dalam politik kontemporer yang dapat dimodelkan duniapewayangan?
Sebagai pemodelan, wayang juga memiliki aktualitas terkait pemilihan kepala daerah atau negara. Dalam hajatan demokrasi dari waktu ke waktu, keberadaan ulama juga tak terhindarkan lagi dalam kancah perpolitikan pascareformasi. Tidak sedikit ulama yang terlibat dukung-mendukung pada pilkada maupun pilpres, bahkan tidak sedikit pula yang terjun sebagai pengurus partai maupun ikut “bertarung” sebagai calon eksekutif maupun legislatif.
Dalam dunia pewayangan , keberadaan ulama disimbolkan dengan pandita. Tafsir simbolik keberadaan ulama/pandita terkait kekuasaan dalam pewayangan Jawa terdapat tiga model, yaitu Ulama Durna, Ulama Bisma, dan Ulama Abiyasa. Ketiga ulama/pandita tersebut memiliki karakter yang sangat berbeda.
Ulama, yang dalam etimologinya bermakna orang yang berilmu (scientist), dalam perkembangannya mengalami penyempitan makna. Ulama adalah orang yang memiliki pemahaman lebih terhadap ilmu agama, pelaksanaan, serta sikap dalam kehidupan yang layak dijadikan panutan. Dunia ulama adalah dunia spiritual yang agung. Ulama adalah penerus perjuangan para nabi dalam menegakkan moral.
Tafsir pertama, Ulama Durna adalah ulama yang hidup dan mengabdikan diri pada kekuasaan, sebagaimana Pandita Durna yang menghamba pada Prabu Duryudana di Kerajaan Astina. Peran Durna tereduksi sebagai pelayan kekuasaan. Ulama model demikian akan sibuk mencari dalih pembenar terkait sepak terjang penguasa. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan acap kali tendensius dan kontroversial, bahkan sampai pada memberi hukum halal-haram pada lawan politik. Tidak heran jika sesama Ulama Durna terlibat perang ayat dalam melegitimasi sepak terjang kekuasaan. Yang menjadi korban, jika tidak dapat berpikir kritis, tentu saja para kawula karena digiring oleh panutannya.
Ulama Durna adalah ulama pesanan, sebagaimana dikisahkan dalam salah satu versi lakon Wahyu Cakraningrat. Ketika wahyu keprabon itu akan turun, Duryudana meminta kepada Durna agar wahyu itu tidak turun ke tangan Pandawa. Durna pun menyusun skenario dan dilaksanakan oleh Patih Sengkuni. Intrik-intrik politik kekuasaan pun berkecamuk. Usaha Durna itu akhirnya gagal karena wahyu adalah titah para dewa.
Batara Guru juga pernah terpeleset menjadi Ulama Durna. Dalam versi lakon Semar Gugat, Batari Durga meminta kepada Batara Guru agar anak hasil perkawinan mereka, Dewa Srani, diberi wahyu. Permintaan itu akan dikabulkan, tapi Semar mengetahui nepotisme tersebut, dia menggugat ke kayangan untuk mengagalkan. Geger kayangan pun terjadi. Batara Guru juga simbol spiritualitas. Dia dipermalukan oleh Semar karena bermain di wilayah kekuasaan.
Yang kedua adalah Ulama Bisma. Sebagaimana Durna, Bisma adalah guru Pandawa dan Kurawa. Mereka awalnya adalah ksatria yang agung. Ketika Bisma sampai pada puncak spiritualitas sebagai pandita, akhirnya dia juga menghamba pada Prabu Duryudana di Kerajaan Astina. Ulama Bisma tidak larut sepenuhnya pada kehendak penguasa. Dia masih menyuarakan kebenaran dari sisi spiritualitas, tapi posisinya tidak berdaya. Kata-kata atau fatwa yang diberikan oleh Ulama Bisma didengarkan oleh penguasa, namun tidak dijalankan. “Kata-katamu aku dengar, tapi tidak aku pakai,” demikianlah sikap penguasa. Ulama Bisma tidak lain adalah pemanis, bahkan keberadaannya hanya sebagai ilustrasi pada kursi kekuasaan. Dia tidak hanya tidak berwibawa, tapi juga tidak berharga.
Ulama Durna dan Ulama Bisma pada akhirnya diterjunkan ke medan peperangan oleh penguasa. Mereka harus menjadi senopati pada Perang Baratayuda. Kedua ulama tersebut harus melawan saudaranya sendiri hingga mencapai ajal karena terpedaya oleh tipuan samar Prabu Kresna sebagai karmapala.
Dalam perpolitikan negeri ini sepak terjang Ulama Durna dan Ulama Bisma akan tetap relevan, bahkan bisa berlaku kapan dan di mana saja. Posisi ulama senantiasa diperebutkan, tidak hanya dimintai restu, tapi sedapat mungkin ditarik untuk menaiki gerbong dalam peperangan merebut kekuasaan.
Yang ketiga adalah Ulama Abiyasa. Tipe ulama ini sangat ideal. Keberadaannya selalu terjaga dari berbagai tarikan kepentingan politik. Ulama Abiyasa selalu menjaga kredibilitas dan posisinya sebagai penjaga moral dan tidak terpolusi oleh kekuasaan. Ulama Abiyasa tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana. Dia tidak terseret pada dukung-mendukung, netralitasnya didasarkan pada penegakan moral sehingga semua pihak menaruh hormat. Kata-kata atau fatwanya jernih. Sebagaimana Abiyasa ketika madeg pandhita di Gunung Saptarengga, para penguasa menaruh hormat dan datang padanya untuk meminta nasihat dan dilaksanakan. Abiyasa tetap eksis hingga Baratayuda berakhir sampai lahirnya Parikesit.
Ulama Abiyasa tetap memegang identitasnya sebagai ulama. Dalam kehidupan nyata, identitas ulama berawal dari pemberian masyarakat karena penilaian secara empirik. Tidak ada satu institusi pun yang dapat memberikan gelar ulama kepada seseorang secara formal. Beberapa waktu lalu Kementerian Agama RI mengeluarkan daftar dai (ulama) yang direkomendasikan akhirnya juga menuai masalah. Ulama yang benar-benar ulama juga tidak pernah meminta diberi gelar tersebut.
Berbeda dengan Ulama Abiyasa, Ulama Durna dan Ulama Bisma yang menukar identitas menjadi panglima perang untuk merebut kekuasaan melahirkan kebingungan. Perubahan itu membuat Arjuna galau karena harus berperang melawan guru serta kakeknya sendiri dalam Baratayuda. Prabu Kresna, sebagai simbol penasihat dan strategi politik Pandawa, akhirnya memberi wejangan Bagawad Gita kepada Arjuna bahwa dalam medan perang tugas ksatria adalah mendarmakan dirinya untuk melawan angkaramurka. Yang dihadapi kali ini bukanlah guru atau kakeknya, melainkan kebatilan.
Tafsir politik kontemporer terkait perubahan peran di atas adalah dari ulama ke umara. Dan atas nama demokrasi, kita bisa berdebat tanpa henti hingga berbusa-busa terkait pertukaran identitas dari ulama ke umara dengan segala dampaknya. Sirkuit budaya terkait identitas memang tak pernah mapan. Tetapi, kekhawatiran seperti yang dilontarkan John E.D. Acton juga layak direnungkan, “Power tends to corrupt”, kekuasaan cenderung korup.
Wayang, dengan berbagai lakon dari pakem hingga carangan, dalam tataran budaya dapat ditempatkan sebagai cerminan atau representasi kehidupan manusia dalam masyarakat. Wayang juga dapat ditempatkan sebagai pemodelan kehidupan. Baik sebagai representasi maupun pemodelan, dunia wayang adalah dunia simbolis. Apa pun yang terjadi dalam politik Indonesia kontemporer pasti dapat dikaitkan dengan dunia pewayangan sebagai panggung sandiwara. (*)
M. Shoim Anwar dosen Universitas Adi Buana Surabaya, sastrawan, doktor bidang pendidikan bahasa dan sastra. Buku kumpulan cerpennya a.l. Oknum, Musyawarah Para Bajingan, Pot dalam Otak Kepala Desa, Sebiji Pisang dalam Perut Jenazah, Perempuan Terakhir, Asap Rokok di Jilbab Santi, Kutunggu di Jarwal, Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah, serta Sepatu Jinjit Aryanti. Buku terbarunya adalah Sastra dan Korupsi: Kajian