
SURABAYA – Dalam semangat memperingati Hari Pahlawan 10 November, warga Pucang Taman melakukan aksi simbolik dengan menyegel Kantor Kelurahan Kertajaya, Kecamatan Gubeng, pada Sabtu (8/11).
Semangat 10 November kembali membara di tengah warga Pucang Taman, Kelurahan Kertajaya, Kecamatan Gubeng. Di hari yang sama saat arek-arek Suroboyo menyobek bendera Belanda di Hotel Majapahit 79 tahun silam, warga Pucang Taman melakukan aksi serupa dalam makna berbeda: menyegel Kantor Kelurahan Kertajaya sebagai bentuk perlawanan terhadap apa yang mereka sebut sebagai “penjajahan lokal”.
Aksi penyegelan itu dipicu oleh kekecewaan warga karena balai RW yang menjadi hak warga tak kunjung dikembalikan, meski telah dua kali dilakukan hearing antara warga, kelurahan, dan kecamatan. Dalam dua pertemuan sebelumnya, Lurah Kertajaya selalu absen dengan alasan sakit, membuat warga kehilangan kesabaran.
“Dulu para pahlawan menyobek bendera Belanda sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah asing, sedangkan hari ini kami menutup plat Pemkot sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah lokal, atau istilahnya londo blangkonan,” tegas Hari Cipto, Ketua Surabaya Corruption Watch Indonesia (SCWI) yang bertindak sebagai juru bicara warga Pucang Taman.
Menurut warga, tindakan kelurahan yang berulang kali menghindari dialog merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat pelayanan publik. Sugiono, warga Pucang Taman, menyebut bahwa aksi segel ini bukan bentuk anarki, tetapi seruan agar pemerintah tidak lagi menutup mata terhadap aspirasi rakyat kecil.
“Kami cuma minta hak kami. Kalau balai RW bisa diambil alih tanpa musyawarah, itu namanya bukan pemerintah — itu penjajah model baru,” ujar Sugiono dengan nada tegas.
Aksi penyegelan berlangsung damai namun sarat simbol perlawanan. Warga memasang spanduk bertuliskan “Balai RW milik Warga Pucang Taman” di depan kantor kelurahan. Namun spanduk tersebut dilepas secara diam-diam oleh pihak kelurahan tanpa pemberitahuan, yang kemudian memicu kemarahan warga.
“Kami sepakat membuka segel setelah camat, lurah, dan perangkat keamanan datang untuk mediasi. Tapi dengan syarat, spanduk kami dikembalikan, karena itu simbol suara kami yang dilepas tanpa izin,” kata Erwin, salah satu perwakilan warga yang hadir dalam mediasi.
Usai negosiasi yang berlangsung cukup panas, warga akhirnya bersedia membuka segel setelah pihak kelurahan mengembalikan spanduk dan berjanji tidak akan lagi mengambil keputusan sepihak terkait aset warga.
Hari Cipto menegaskan, semangat perlawanan warga Pucang Taman ini adalah cerminan perjuangan Arek Suroboyo masa kini — melawan ketidakadilan, bukan dengan senjata, melainkan dengan keberanian dan solidaritas.
“Kalau dulu kita lawan Belanda, sekarang kita lawan birokrasi yang sewenang-wenang. Bedanya cuma seragamnya — dulu pakai helm baja, sekarang pakai batik,” tutup Hari Cipto tajam.(*)





































