
SURABAYA | duta.co – Arah penyidikan perkara dugaan korupsi dalam pembangunan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) di Kabupaten Lamongan mulai mengerucut pada dugaan keterlibatan Tim Teknis dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Fakta ini terungkap dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Kamis (17/7/2025).
Sidang yang tercatat dalam register perkara Nomor: 72/Pid.Sus-TPK/2025/PN Sby tersebut memasuki agenda pemeriksaan saksi-saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dalam persidangan kali ini, enam orang saksi dihadirkan, yakni Nur Yazid (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan/PPTK), Imam Tohari (Kepala Bagian Keuangan Dinas Peternakan), Nur Mufidah (Bendahara Pengeluaran), Ahmad Imam Amrozi (Perwakilan Balitbang Bappeda), Ahmad Arifin (Kepala Cabang Jamkrindo Surabaya) dan Aswar Anas Ruslan (Manajer Bisnis Jamkrindo).
Salah satu hal yang mencuat dalam persidangan adalah bantahan keras dari penasihat hukum terdakwa Moch. Wahyudi, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Penasihat hukum menilai bahwa kliennya tidak layak menjadi terdakwa dalam perkara ini. “Fakta-fakta persidangan menunjukkan bahwa terdakwa Moch. Wahyudi tidak memiliki keterlibatan langsung dalam pengambilan keputusan teknis maupun hubungan dengan rekanan. Justru pihak yang paling intens berkomunikasi dan memberikan arahan teknis kepada rekanan adalah PPTK dan Tim Teknis,” tegas Ridlwan, penasihat hukum Wahyudi, saat dikonfirmasi usai sidang.
Pernyataan itu diperkuat oleh pengakuan terdakwa Sandi dan Davis yang menyebut bahwa mereka lebih intens berkomunikasi dengan PPTK dan Tim Teknis, bukan dengan PPK.
Menurut Ridlwan, seluruh dokumen yang ditandatangani oleh Wahyudi sebagai PPK merupakan hasil kerja Tim Teknis dan PPTK, yang sebelumnya telah dinyatakan lengkap dan layak secara administrasi.
“Kalau Pak Wahyudi tidak menandatangani dokumen tersebut, justru akan dianggap melanggar tugas administratifnya sebagai PPK. Semua dokumen itu telah melalui proses pengawasan dan verifikasi dari Tim Teknis serta PPTK,” jelasnya.
Namun faktanya, Wahyudi kini justru menjadi terdakwa. Ridlwan pun membuka kemungkinan adanya penambahan tersangka baru dalam kasus ini.
Dalam persidangan, Nur Yazid selaku PPTK mengakui bahwa pengawasan teknis lapangan merupakan tanggung jawabnya bersama Tim Teknis, termasuk dalam pekerjaan pengurukan, pembangunan gedung RPHU, dan pemasangan alat conveyor. Ia juga menyebut bahwa banyak informasi teknis serta keputusan awal berasal dari Doni dan Asna selaku Tim Teknis, yang pelaksanaannya dilaporkan terlebih dahulu kepadanya sebelum disampaikan ke PPK.

Namun, pernyataan ini kembali ditegaskan oleh terdakwa Sandi, yang mengaku bahwa pihak yang pertama kali dikenalnya di Dinas Peternakan adalah PPTK Nur Yazid. Hal senada juga disampaikan Davis, yang menegaskan bahwa komunikasi mereka lebih intens dilakukan dengan PPTK, bukan PPK.
Menanggapi hal itu, Hakim Ketua Ni Putu Sri Indayani, SH, turut menyoroti peran PPTK dalam perkara ini.
“Saudara ini sebagai PPTK adalah pembantu teknis dari PPK. Tapi sekarang, PPK menjadi terdakwa. Pasti nanti dalam persidangan ini ada penambahan,” tegasnya dengan nada keras.
Tim penasihat hukum Wahyudi bahkan menilai telah terjadi indikasi konspirasi di level bawah antara PPTK, Tim Teknis, dan pelaksana proyek. Mereka mengungkap bahwa dokumen-dokumen penting seperti Surat Perjanjian Kerja (SPK) tidak ditandatangani di ruang kepala dinas selaku PPK, melainkan di ruang Bidang Kesmavet, di hadapan Tim Teknis yakni, Eka, ,Asna, dan Doni. Baru beberapa hari kemudian, SPK yang sebelumnya ditandatangani oleh terdakwa Sandi diserahkan oleh PPTK untuk ditandatangani oleh PPK.
“Banyak tanda tangan muncul di dokumen yang tidak diketahui oleh klien kami, bahkan ada yang diduga dipalsukan oleh pihak-pihak tertentu. Fakta bahwa PPTK dan Tim Teknis lebih dahulu mengenal rekanan membuktikan bahwa koordinasi utama terjadi di luar kendali PPK,” ungkap Ridlwan.
Menurutnya, tidak ada satu pun fakta persidangan yang menunjukkan adanya perbuatan konkrit dari Wahyudi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi, apalagi dalam konteks “mufakat jahat” atau sebagai pelaku kejahatan yang dilakukan bersama-sama dengan terdakwa lain, yakni Sandi dan Davis.
“Yang berhubungan secara langsung dengan pelaksanaan pekerjaan adalah PPTK Nur Yazid dan Tim Teknis. Bahkan terdakwa Davis mengakui bahwa saran pengadaan alat conveyor datang dari PPTK,” ujar Ridlwan.
Sementara itu, saksi Ahmad Arifin dari Jamkrindo menjelaskan bahwa seluruh proses penjaminan proyek dilakukan sesuai prosedur. Termasuk jaminan pelaksanaan senilai Rp217 juta yang berlaku selama 90 hari. Ia menegaskan tidak ada klaim masuk yang terkait dengan proyek ini.
Dari seluruh keterangan saksi, penasihat hukum Wahyudi kembali menegaskan bahwa kliennya hanya menjalankan tugas administratif sebagai PPK, berdasarkan laporan dari bawahannya dan sesuai prosedur.
“Jika ada penyimpangan di level teknis, maka semestinya yang bertanggung jawab adalah PPTK dan Tim Teknis, bukan klien kami. Kami berharap majelis hakim mempertimbangkan fakta-fakta ini secara objektif dan adil,” pungkas Ridlwan.
Sidang akan kembali digelar dalam waktu dekat dengan agenda lanjutan pemeriksaan saksi dan penguatan pembuktian. (gal)




































