“Seandainya manusia di sekitarnya bisa melihat kejadian ghaib itu, pasti akan mendapati pemandangan yang berbeda.”
Oleh: Anwar Hudijono
BAYANGKAN lambung Anda ditusuk dengan sebilah pedang. Apalagi kalau nusuknya sambil dienggok-enggokkan. Pasti sakit kan?
Sekali tusukan saja sakitnya bukan main, apalagi jika 300 kali tusukan. Begitulah sakitnya orang saat sakaratul maut atau sekarat sebagaimana yang digambarkan dalam Hadits riwayat Ibnu Abi Ad-Dunya.
Dalam Hadits lain yang diriwayatkan Adh-Dhahak bin Hamzah bahwa sekarat paling ringan seperti tusukan 100 bilah pedang. Sayidina Ali mengatakan, sakitnya tusukan seribu pedang lebih ringan dari sakaratul maut. Orang Jawa menggambarkan sakitnya sakaratul maut dengan istilah, sewu lara sewu lapa tumplek blek dadi siji (seribu sakit seribu duka menjadi satu).
Tapi sakitnya orang yang sakaratul maut tidak didengar dan dilihat orang lain karena biasanya penderita hanya diam dengan sesekali menesteskan air mata. Keringat bercucuran. Ada yang sesekali mengerang. Ada juga yang buang kotoran. Semua itu karena saking sakit yang tiada terperi sampai membuat jiwa tidak lagi mampu memberi reaksi. Yang mendengar jeritan mereka hanyalah binatang.
Sakaratul maut adalah peristiwa yang mesti terjadi terhadap siapapun. “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya”. (QS Qaf 19.) Peristiwa yang sangat dahsyat. Itulah detik-detik ruh dicabut dari jazad. Dimulai dari ujung jemari kaki sehingga kedua kaki berimpitan.
Terus merambat naik ke atas sampai ke kerongkongan. Setiap bagian tubuh yang ditinggal ruh menjadi dingin. Kemudian keluar dari jazad melaui kepala sambil mata jazad mengikutinya saat ruh keluar sehingga pandangan mata orang mati mesti terbelalak ke atas.
Sudah menjadi ketetapan Allah bahwa siapapun akan merasakan sakit dengan kadar masing-masing, baik orang mukmin maupun dhalim/pendosa. Tentu yang dhalim lebih dahsyat sakitnnya.
“(Alangkah ngerinya) sekiranya engkau melihat pada waktu orang-orang zhalim (berada) dalam kesakitan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), “Keluarkanlah nyawamu.” Pada hari ini kamu akan dibalas dengan azab yang sangat menghinakan, karena kamu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya. (QS Al An’am 93).
Kaum mukminin juga merasakan sakit. Hal itu terungkap dalam percakapan sahabat Nabi, Amru bin Ash. Saat sakaratul maut Amru ditanya oleh anaknya tentang rasanya sakaratul maut. Dia menjawab, demi Allah dua sisi tubuhku seakan-akan berada dalam himpitan. Nafasku seakan-akan keluar dari lubang jarum. Dan sebuah duri ditarik dari ujung telapak kaki hingga ujung kepalaku.
Meski sama-sama merasakan sakit tetapi berbeda cara menyikapi rasa sakit antara kaum mukminin dengan kaum dzalim maupun pendosa. Orang dzalim dilanda gelombang kaget. Mereka tidak pernah mengira ini akan terjadi. Mereka mencoba berontak. Marah. Melawan. Semakin meronta maka semakin sakit ibarat menarik duri yang nyantol di kerongkongan, semakin ditarik semakin perih.
Tatkala menyadari bahwa itu gerbang kematian, mereka mencoba menawar. “Lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang shalih.” (QS al Munafikun 10).
Tentu saja Allah tanpa kompromi soal waktu kematian. Jika sudah jadi ketetapan-Nya, tidak bisa ditunda maupun dipercepat. “Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”(QS Al Munafikun 11)
Sedang orang mukmin dengan kualifikasi tertentu menghadapi sakitnya sakaratul maut dengan tenang. Bagi mereka sakit dalam sakaratul maut adalah qadarullah, ketetapan Allah sebagai ujian terakhir manusia hidup sebelum memasuki kehidupan kekal abadi. Mereka ridha atas ketetapan itu.
Ridha inilah yang menjadi kunci rasa sakit menjadi ringan. Bukan lagi beban. Peristiwa sakaratul maut bukan lagi horor mengerikan melainkan sebuah episode biasa-biasa saja, bahkan dihadapi dengan hepi. Keinginannya ingin segera ketemu Allah membuat segalanya mudah.
Mereka mafhum bahwa ada berkah di balik sakitnya itu. Yaitu sebagai kafarat atau tebusan dosa-dosanya. Orang mukmin akan selalu bersikap rendah hati mengakui dirinya hamba yang penuh dosa. Tidak akan mengatakan dirinya suci di hadapan Allah.
Mereka juga yakin sakaratul maut adalah bagian dari fitnah (ujian) mati. Sakit itu sebagai sarana ketika Allah mau menaikkan derajatnya. Allah akan memberikan kebaikan kepadanya.
Karena ketenangan jiwanya dalam menghadapi maut itulah maka Allah pun memanggilnya dengan sebutan “Wahai jiwa yang tenang”. Hal itu terlihat pada Quran surah Al Fajr 27-30. Ahli tafsir Ibnu Katsir menegaskan ayat itu dalam konteks peristiwa sakaratul maut.
“Ya ayyutuhan nafsul mutmainnah (wahai jiwa yang tenang)! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Q.S. Al-Fajr 27-30)
Nada pencabutan nyawanya pun lembut. “Kembalilah kepada Tuhanmu.” Beda dengan terhadap kaum pendosa. Nyawanya dihardik sambil dipukul dengan berkata “keluarkan nyawamu”.
Seandainya manusia di sekitarnya bisa melihat kejadian ghaib itu, pasti akan mendapati pemandangan yang berbeda. Untuk manusia mukmin, rombongan malaikat yang menjemputnya mengenakan baju putih wajahnya bersih berseri-seri. Mereka menyiapkan kain kafan dan wewangian dari surga. Tindak tanduk mereka lemah lembut.
Sedang untuk pendosa, malaikat yang menjemput berwajah kasar dan buruk. Perlakuan terhadapnya pun kasar bahkan brutal. Mereka membawa kain kafan dari neraka.
Jadi jiwa yang tenang hanya dimiliki orang yang ridha terhadap ketetapan dan kehendak Allah sehingga Allah pun ridha atasnya. Ridha dan diridhai-Nya adalah merupakan idiom yang bermakna kemanunggalan. Sehingga jarak Allah lebih dekat dari urat leher hamba-Nya. Ridha adalah tingkatan tertinggi dalam konteks hubungan Allah dengan mahluk ciptaann-Nya. Tingkatannya Lebih tinggi dari cinta.
Untuk menjadi jiwa yang tenang saat sakaratul maut tidak bisa spontan. Sekonyong-konyong jadi. Dibutuhkan proses laku yang panjang dalam kehidupan. Tentu saja melalui ujian bergelombang, bertubi-tubi. Manusia paling ridha itu para Rasul, Nabi dan orang saleh sesudahnya. Maka ujian untuk mereka juga yang paling berat.
Semoga kita termasuk jiwa yang tenang. Amin.
Astagfirullah. Rabbi a’lam.
Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo