“Mereka berharap NU sebagai organisasi bisa membela mereka. Ternyata tidak.”
Oleh Farid Gaban*

GAMBAR di atas saya ambil ketika berkunjung ke Desa Wadas, yang terdampak tambang batu andesit untuk proyek Waduk Bener, salah satu PSN Jokowi.”

Petani setempat melawan dengan antara lain memasang banner besar di atas: gambar KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU yang sangat bersimpati pada kepentingan petani. Hampir semua petani Wadas adalah warga NU.

Mereka berharap NU sebagai organisasi bisa membela mereka. Ternyata tidak.

Perjuangan warga Wadas sudah berakhir dengan kekalahan mereka. Pemerintah mengabaikan kekhawatiran mereka: bulan lalu desa mereka yang subur dilanda banjir besar yang merupakan dampak langsung dari penambangan.

Tak cuma bencana alam. Di Wadas saya menyaksikan konflik besar antara warga dengan pemerintah. Polisi pernah menyerbu desa itu dan menangkapi orang, termasuk perempuan.

Tapi, yang lebih menyedihkan bagi saya adalah konflik di antara warga sendiri. Kebijakan belah bambu pemerintah mencabik jalinan sosial dan kekerabatan mereka. Antar tetangga saling curiga, ayah dan ibu bertengkar dengan anak, saudara saling bermusuhan.

Saya tidak bisa membayangkan betapa besar energi psikologis yang terkuras untuk konflik yang berlangsung berbulan-bulan bahkan menahun itu.

Problem seperti ini bahkan tidak cuma terjadi di Wadas, tapi di proyek tambang Tumpang Pitu (mayoritas nelayan Pancer adalah warga NU juga), di tambang nikel Halmahera, di proyek panas bumi Flores dan Sorik Marapi (Sumatera Utara).

Di Pulau Obi, Maluku Utara, saya harus main petak umpet untuk bisa wawancara dengan warga lokal tentang dampak tambang nikel di situ. Warga yang satu mematamatai warga yang lain.

Jalinan sosial yang tercabik-cabik oleh proyek-proyek pemerintah itu tidak bisa diabaikan jika kita merenungkan masa depan negeri ini.

Sayang sekali, organisasi besar seperti NU tidak nampak peduli pada nasib warganya sendiri di akar rumput yang menjadi korban intoleransi negara.

Masalah Trenggalek

Di Trenggalek, Jawa Timur, warga NU bahu-membahu dengan warga Muhammadiyah dan agama lain, menolak rencana tambang emas di daerahnya.

Itu solidaritas, kerjasama dan toleransi yang membanggakan.

Mereka sepakat, tambang emas akan merusak hutan, sungai dan laut yang menghancurkan penghidupan.

Tapi entah sampai kapan solidaritas jalinan sosial yang harmonis itu akan bertahan, ketika pemerintah pusat dan korporasi terus merangsek untuk mendesakkan izin tambang emas yang rencananya menjadi tambang emas terbesar di Jawa.

Sementara NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi telah kehilangan otoritas moral membela warganya karena menerima konsesi tambang dari pemerintah.(*)

*Farid Gaban adalah wartawan senior tinggal di Jakarta.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry