
Oleh Suhermanto Ja’far, Dosen Magister Filsafat Digital Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel.
SEJARAH Islam mengajarkan satu pelajaran pahit yang sering diulang: kekuasaan jarang kalah karena salah, tetapi karena narasinya dikalahkan. Tragedi arbitrase antara kelompok Sayyidina Ali dan Muawiyah bukan sekadar konflik politik awal Islam, melainkan contoh telanjang bagaimana keutamaan moral dihancurkan oleh manipulasi tafsir.
Ali memilih jalan etik—menghentikan perang demi umat—namun keputusan luhur itu direkayasa sebagai tanda kelemahan, bahkan kekalahan. Muawiyah dan kroninya tidak menang dengan kebenaran, tetapi dengan propaganda, fitnah, dan kontrol narasi.
Bayangan Kelam itu Menghantui NU
Bayangan sejarah itu kini kembali relevan ketika muncul wacana “Gus Yahya mundur” mulai beredar di ruang publik Nahdlatul Ulama. Secara etik, pengunduran diri bisa dibaca sebagai bentuk legowo, tanggung jawab moral, bahkan ikhtiar menyelamatkan jam’iyah dari konflik berkepanjangan.
Namun dalam politik kekuasaan—terutama politik organisasi besar—niat baik hampir selalu berhadapan dengan mesin tafsir yang tidak netral. Pertanyaannya bukan sekadar apakah Gus Yahya mundur atau tidak, melainkan: siapa yang akan mengendalikan makna dari pengunduran itu?
Wacana “Gus Yahya Legowo mundur” yang beredar hari ini di ruang publik (medsos) tidak bisa dibaca secara naif sebagai isu administratif atau sekadar pergantian kepemimpinan. Ia adalah medan perang tafsir, tempat niat baik dapat dipelintir, dan langkah etik bisa dijadikan senjata politik. Jika Gus Yahya memilih mundur dengan sikap legowo demi menghentikan konflik dan menyelamatkan jam’iyah, jangan berharap langkah itu akan dibaca sebagai kebesaran jiwa. Dalam iklim kekuasaan NU saat ini, pengunduran diri justru akan dijadikan bukti kekalahan.
Pola Muawiyah di Abad Modern
Dalam kasus arbitrase klasik, kelompok Ali datang dengan niat menghentikan konflik. Namun kelompok Muawiyah dan kroninya memutarbalikkan makna arbitrase sebagai bukti bahwa Ali “menyerah”. Fitnah disebar, persepsi direkayasa, dan legitimasi moral Ali dilucuti secara sistematis. Yang kalah bukan karena salah, tetapi karena kalah dalam pertarungan tafsir politik. Sejarah ini mengajarkan satu hal pahit: dalam konflik kekuasaan, mundur secara etik bisa dibaca sebagai kalah secara politik.
Saat ini, Kelompok yang berada di sekitar Rais A‘m—yang sejak awal memainkan peran sentral dalam pemakzulan Ketum dan penunjukan PJ Ketum—tidak memiliki kepentingan pada rekonsiliasi sejati. Mereka memiliki kepentingan pada kemenangan simbolik. Mundurnya Gus Yahya akan dipolitisasi sebagai legitimasi penuh atas langkah inkonstitusional sebelumnya. Narasi akan dibangun: bahwa konflik selesai karena satu pihak menyerah, bukan karena jam’iyah kembali ke syura. Kebenaran prosedural akan dikubur oleh klaim moral palsu.
Lebih berbahaya lagi, fitnah struktural akan bekerja. Seperti pada masa arbitrase klasik, niat damai akan direkayasa sebagai kelemahan. Gus Yahya tidak akan dikenang sebagai pemimpin yang mengalah demi umat, tetapi sebagai figur yang “tak mampu bertahan”. Ini bukan sekadar pembunuhan karakter personal, melainkan pembunuhan etika kepemimpinan di tubuh NU. Pesan yang disampaikan ke publik jelas: dalam NU hari ini, etik kalah oleh intrik.
Jika skenario ini terjadi, Rais A‘m dan lingkarannya tidak akan berhenti di sana. Mereka akan mengonsolidasikan tafsir tunggal, menutup ruang kritik, dan mengukuhkan diri sebagai satu-satunya sumber legitimasi. Syura akan direduksi menjadi formalitas, sementara keputusan strategis sepenuhnya dikendalikan oleh jaringan kecil kekuasaan. NU tidak lagi bergerak sebagai jam’iyah ulama, tetapi sebagai organisasi yang dikelola dengan logika pemenang dan pecundang.
Di sinilah bahaya politik simbol bekerja. Pengunduran diri yang seharusnya menjadi momentum etik justru bisa dijadikan alat konsolidasi kekuasaan. Alih-alih membuka ruang musyawarah baru, ia dapat ditutup dengan narasi tunggal: bahwa konflik telah selesai karena satu pihak “kalah”. Dalam logika ini, tidak ada rekonsiliasi sejati, yang ada hanyalah peneguhan dominasi satu tafsir atas tafsir lain.
Jebakan Lain Kemunculan Khawarij Nahdiyin
Dalam sejarah Islam, Khawarij lahir dari muak terhadap dua kubu elite yang sama-sama mengklaim kebenaran. Mereka menolak kompromi, membenci otoritas, dan menganggap semua elite telah berkhianat. Dalam konteks NU hari ini, kelompok semacam ini sangat mungkin muncul—bukan sebagai aliran teologis, tetapi sebagai sikap sosial: kader dan warga NU yang membenci PBNU, membenci elite, dan memutus ikatan emosional dengan jam’iyah.
Lebih jauh, skenario ini juga berisiko melahirkan fenomena yang lebih berbahaya: munculnya “Khawarij Nahdiyin”—kelompok yang kecewa, marah, dan membenci semua elite. Dalam sejarah Islam, Khawarij lahir dari kekecewaan terhadap dua kubu besar yang dianggap sama-sama menyimpang. Mereka menolak kompromi, membenci otoritas, dan mengklaim kemurnian moral sendiri. Dalam konteks NU, kelompok semacam ini bisa muncul dari kalangan kader muda atau warga akar rumput yang muak melihat konflik elite, manipulasi simbol keulamaan, dan politik patronase yang tak kunjung selesai.
Ini bukan spekulasi kosong. Gejalanya sudah terlihat: sinisme di kalangan pesantren, kejengkelan kader muda, dan rasa muak terhadap konflik elite yang tak berkesudahan. Jika Gus Yahya mundur lalu dipolitisasi sebagai kalah, sementara Rais A‘m mengklaim kemenangan, maka NU tidak sedang menyembuhkan luka—tetapi menciptakan generasi yang kehilangan kepercayaan pada keulamaan struktural.
Dalam situasi seperti ini, NU akan kehilangan dua hal sekaligus: kepemimpinan moral dan basis sosialnya. Elite mungkin merasa menang, tetapi jam’iyah sesungguhnya kalah. Sejarah menunjukkan, organisasi besar tidak runtuh karena serangan luar, tetapi karena kehilangan kepercayaan dari dalam.
Karena itu, pertanyaan krusialnya bukan “apakah Gus Yahya harus mundur?”, melainkan: apakah NU siap berhenti mengulang tragedi Muawiyah? Jika setiap langkah etik selalu dipelintir menjadi kekalahan, maka tidak akan ada pemimpin yang berani bersikap luhur. Yang tersisa hanyalah politisi internal yang lihai bertahan, bukan ulama yang berani mengalah demi umat.
NU dibangun oleh keberanian moral para kiai, bukan oleh kecerdikan propaganda. Jika hari ini NU memilih merayakan kemenangan tafsir daripada keadilan prosedural, maka NU sedang berjalan menjauh dari dirinya sendiri. Sejarah Muawiyah tidak akan terulang karena sosoknya, tetapi karena logika kekuasaannya dihidupkan kembali. Dan ketika itu terjadi, Gus Yahya—mundur atau tidak—bukanlah korban utama. Korban sesungguhnya adalah NU itu sendiri.
Agenda Keluar dari Jebakan Sejarah
NU hanya memiliki satu pilihan jika tidak ingin mengulang tragedi sejarah: memutus logika Muawiyah, bukan menegosiasikannya. Artinya, menghentikan politik tafsir kekuasaan yang memelintir langkah etik menjadi kekalahan, serta mengakhiri kebiasaan mengelola konflik melalui propaganda dan kemenangan simbolik. NU tidak akan selamat jika terus menjadikan intrik sebagai mekanisme penyelesaian, dan narasi sebagai alat pembenaran. Yang dibutuhkan adalah keberanian struktural untuk menundukkan kekuasaan pada etika, bukan sebaliknya.
Langkah pertama adalah mengembalikan syura sebagai pusat keputusan yang nyata, bukan sekadar ritual. Musyawarah ulama harus bersifat terbuka, inklusif, dan mengikat secara moral—bukan forum legitimasi keputusan yang telah ditentukan oleh lingkaran kecil kekuasaan. Kiai sepuh, pesantren besar, dan struktur daerah harus dikembalikan pada posisi strategisnya sebagai penjaga akal sehat jam’iyah. Tanpa ini, setiap keputusan—siapa pun yang mengambilnya—akan selalu cacat legitimasi.
Langkah kedua adalah memutus patronase politik yang menyandera kepemimpinan NU. NU tidak boleh lagi bergantung pada validasi kekuasaan eksternal, baik negara maupun oligarki ekonomi. Selama elite NU merasa aman karena sokongan patron di luar jam’iyah, mereka tidak akan pernah benar-benar bertanggung jawab kepada warga NU. Kemandirian organisasi bukan slogan moral, melainkan syarat mutlak agar NU tidak mudah digiring, ditekan, atau dimanfaatkan.
Langkah ketiga adalah menghentikan politisasi pengunduran diri, kekalahan, dan kemenangan. Dalam jam’iyah ulama, mundur bukanlah aib, dan bertahan bukanlah kebajikan otomatis. Yang menentukan nilai sebuah keputusan adalah niat, prosedur, dan dampaknya bagi umat—bukan siapa yang tampak menang di permukaan. NU harus berani membangun budaya baru: bahwa kebesaran jiwa dihormati, bukan dihukum; dan kejujuran prosedural dijaga, bukan dikubur.
Jika agenda ini dijalankan, NU tidak hanya keluar dari krisis hari ini, tetapi juga memutus mata rantai sejarah yang selama berabad-abad menelan organisasi dan peradaban besar. Jika tidak, NU akan terus mengulang tragedi lama dengan wajah baru: konflik elite, manipulasi narasi, dan generasi yang muak pada kepemimpinan ulama. Sejarah telah memberi peringatan. Kini tinggal satu pertanyaan: apakah NU berani belajar, atau memilih mengulanginya sekali lagi?(*)





































