
Fenomena “Type H Behavior” atau Virus 3H (Hurried, Hostile, Humourless) yang diidentifikasi dalam penelitian psikologi sosial, kini menjalar hingga ke ruang spiritual umat beragama. Ia tidak hanya menyerang gaya hidup, tetapi juga menginfeksi cara kita beriman.
Di tengah dunia yang serba cepat dan kompetitif, bahkan ibadah pun kini terasa seperti perlombaan tanpa jiwa. Analisis mendalam menunjukkan bahwa virus yang berakar dari sistem nilai berbasis kecepatan dan persaingan ini, kini bermutasi dan menyerang jantung keberagamaan kita. Ia menggerogoti ketenangan batin, mematikan empati, dan merenggut tawa, bahkan dalam konteks spiritualitas.
Prinsip “Hurried” terburu-buru, efisiensi absolut, dan budaya instan telah merasuk ke dalam cara kita beragama. Dalam konteks kapitalisme, waktu adalah uang sehingga semua harus serba cepat. Dalam konteks spiritual kontemporer, ilmu agama menjadi komoditas instan.
Media sosial dan platform digital, meskipun menawarkan aksesibilitas, tanpa disadari memicu fenomena instant religious knowledge. Informasi agama disajikan dalam format quick summary atau viral quotes. Tafsir Al-Qur’an atau hadis yang sejatinya memerlukan kedalaman sanad, nyantri bertahun-tahun, dan kemampuan bahasa yang mumpuni, kini dirasa cukup diselesaikan dengan sekali klik pada terjemahan instan atau ceramah 15 detik.
Kecepatan ini menggeser otoritas keilmuan dari ulama yang berproses panjang ke influencer atau siapapun yang punya akses panggung. Lahirlah pemahaman agama yang serpihan, dangkal, dan rentan salah tafsir, sebab ia dipisahkan dari konteks historis, linguistik, dan kaidah keilmuan yang semestinya. Kita merayakan kecepatan, namun mengorbankan kedalaman dan ketenangan batin (tuma’ninah) dalam berilmu dan beribadah.
Virus kedua, “Hostile“, adalah manifestasi dari persaingan yang tak sehat. Jika dalam kapitalisme persaingan terjadi demi akumulasi modal dan kekuasaan duniawi, dalam keberagamaan, hostility muncul karena ketakutan tidak kebagian “jatah surga” sebuah komodifikasi spiritual yang mengerikan.
Keyakinan spiritual yang seharusnya melahirkan kedamaian justru disulap menjadi zero-sum game, di mana keberhasilan satu pihak berarti kegagalan pihak lain. Mereka yang merasa paling “benar” lantas melihat yang berbeda sebagai ancaman, musuh, atau gangguan yang harus dimusnahkan.
Sikap hostile ini dipertajam oleh penggunaan label dan cap instan: “Berbeda pemahaman, auto kafir. Berbeda penafsiran, auto murtad.” Perbedaan minor dalam furū’ (cabang) fikih atau teologi, yang seharusnya menjadi kekayaan khazanah keilmuan, malah dijadikan dasar pemecah belah.
Konteks kekinian menunjukkan bagaimana polarisasi politik dan sosial seringkali dibungkus dengan narasi agama, menjadikan kelompok lain (bahkan sesama umat beragama) sebagai pesaing, atau bahkan kerak neraka. Rasa permusuhan (hostility) ini memupus ukhuwah (persaudaraan) yang sejati.
Puncak dari dua virus di atas adalah “Humourless” kehilangan kemampuan untuk tersenyum, tertawa, dan melihat hidup dengan kacamata yang lebih ringan. Ketika hidup hanya diisi ketergesa-gesaan dan permusuhan, segalanya menjadi perkara serius yang harus dihadapi dengan wajah garang dan tegang.
Hilangnya humor ini melahirkan sensitivitas yang berlebihan terhadap hal-hal yang sepele. Hilangnya sense of humor ini menunjukkan bahwa ruang tawa dan kegembiraan telah dicurigai, bahkan ‘dikafirkan’. Padahal, sejarah peradaban Islam juga mencatat sosok-sosok ulama dan sufi yang memiliki selera humor tinggi, menunjukkan bahwa kedalaman iman dan kegembiraan tidaklah bertentangan.
Sikap humourless dalam beragama justru merupakan beban psikologis yang menjauhkan seseorang dari esensi ajaran agama yang membawa rahmat dan kedamaian (rahmatan lil ‘alamin). Jika agama membuat jidat mengkerut dan mata melotot, kita perlu bertanya, “Apakah kita beragama untuk Tuhan atau untuk menindas diri sendiri?”
Jika virus 3H adalah produk sampingan dari budaya kapitalis yang menjebak, maka kita perlu sebuah antivirus yang berbasis nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas sejati. Transformasi 3H menjadi Honored, Humble, dan Happy adalah kuncinya.
Perubahan harus dimulai dari cara kita memandang diri sendiri, orang lain, dan Tuhan, yang terwujud dalam tiga sikap utama.
Pertama, Honored (Terhormat), yaitu merasa terhormat sebagai hamba yang diberikan akal dan hati, bukan terhormat karena gelar instan atau kekayaan. Ini melahirkan ‘izzah (kemuliaan) yang tidak perlu merendahkan orang lain. Kedua, Humble (Rendah Hati), untuk mengganti Hostile. Kita harus menyadari bahwa kebenaran itu luas dan Tuhan Maha Luas. Sikap rendah hati memampukan kita melihat perbedaan sebagai rahmat dan bukan ancaman. Itu adalah pengakuan bahwa surga bukan jatah eksklusif, melainkan rahmat Tuhan yang tak terbatas.
Terakhir, Happy (Bahagia), untuk mengganti Humourless. Keimanan yang sejati akan melahirkan sakinah (ketenangan) dan kebahagiaan. Jika kita telah menerima diri, ridha kepada Tuhan, dan berdamai dengan perbedaan, tawa dan senyum akan muncul secara tulus, tanpa perlu menertawakan kegagalan orang lain.
Tuhan Maha Asyik, dan Dia tidak menciptakan kita untuk hidup dalam ketegangan abadi, persaingan spiritual, dan wajah yang muram. Mari kita Honored dengan proses keilmuan, Humble dalam bersikap, dan Happy dalam menjalani takdir. Tersenyumlah, sebelum senyum itu dikafirkan!
Fenomena “Type H Behavior” atau Virus 3H (Hurried, Hostile, Humourless) yang diidentifikasi dalam penelitian psikologi sosial terhadap masyarakat kapitalis Barat, ternyata bukan sekadar diagnosis bagi kaum jet set di negeri Paman Sam.
Penulis: Muhammad Ainur Rifqi, Wakil Sekretaris PCNU Jombang




































