Emil Elestianto Dardak, PhD, Bupati Trenggalek ke-16 kini mulai ke luar ‘kandang’. Tampak Emil dan Presiden Jokowi. (FT/BINTANG.COM)

SURABAYA | duta.co – Namanya lumayan lama masuk ‘radar’ tim 9 para kiai Jawa Timur. Bersama sejumlah nama, ia dianggap cocok mendampingi  Khofifah Indar Parawansa sebagai Calon Wakil Gubernur (Cagub) dalam Pilgub 2018.

Berkali-kali ia mendapat ‘ancaman’ dari partai politik, tetapi, sekali pun dia tidak pernah ‘berontak’. Itulah Emil Elestianto Dardak, PhD, Bupati Trenggalek ke-16 yang kini mulai ke luar ‘kandang’ bersama Khofifah Indar Parawansa untuk menerima rekomendasi dari sejumlah parpol.

Setelah Partai Demokrat (PD) menyerahkan rekomendasi di Cekeas, rumah Ketua Umum PD, Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu (22/11/2017) Emil dan Khofifah bertandang ke Slipi, kantor Partai Golkar untuk menerima mandat yang sama.

Siapakah Emil Elestianto Dardak, PhD itu? Usut punya usut, ternyata, nama Emil sudah pernanh menggemparkan jagat nahdliyin. Suatu ketika, saat kuliah umum di STAI Al-Hamidiyah Depok, Emil tampil bareng dengan Menteri Agama Republik Indonesia ke-21, Lukman Hakim Saifuddin.

Ribuan mahasiswa itu kaget, ketika tahu Emil peraih gelar doktor termuda pada usia 22 tahun dari Ritsumeikan Asia Pasific University Jepang, itu ternyata mantan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jepang.

Emil, menceritakan saat dirinya mengambil S2 dan S3 di Jepang, sebuah negara kepulauan mirip Indonesia, belum ada organisasi sebagai wahana diskusi tentang keislaman dan kemajuan teknologi. Kemudian ia bersama kawan-kawannya mendirikan NU di Jepang.

“Kami mahasiswa Indonesia di Jepang saat itu butuh wahana silaturahim. Sayangnya, belum ada untuk sekedar tempat bicara dan diskusi tentang keislaman yang ramah. Maka, kami mendirikan NU di sana,” ujar suami artis Arumi Bachsin ini kepada NU Online usai berbicara sebagai narasumber pada kuliah umum di STAI Al-Hamidiyah.

Dia menambahkan, saat itu Rais Syuriah pertama Pak Kharirie. Kemudian penerusnya Pak Agus Zainal Arifin (sekarang dekan di ITS). “Kalau saya mulai aktif sebagai salah satu ketua, yaitu bidang Hubungan Pemerintah, sejak 2005. Nah, ketua umum saat itu Indra Singawinata,” sebutnya.

Dalam kepengurusannya, lanjut Emil, di PCINU pernah membuat program ‘Santri Nelayan’ untuk membantu pesantren di daerah pesisir. Program tersebut berupa pembuatan soft ware Quran Digital, fasilitas teknologi informasi (IT), dan perangkat komputer untuk para santri agar mereka dapat beradaptasi dengan teknologi terkini. Hal tersebut dilakukan supaya proses belajar-mengajar di pesantren lebih efisien.

Menyinggung soal isu kemaritiman, Emil mengatakan belum lama ini koran Singapura The Street Time memuat pendapatnya mengenai poros maritim yang didengungkan Presiden terpilih Joko Widodo. Bagi dia, kunci terpenting poros maritim adalah mengaitkannya dengan kesatuan nasional.

Isu ini sangat strategis di mana penduduk pesisir yang mayoritas warga nahdliyin itu merupakan perekat persatuan dan kesatuan bangsa.

“Kita ini kan pulau-pulau besar. Satu pulau bisa melebihi satu negara. Tapi apa yang bisa merekatkan kita jadi satu? Lautan di negeri ini mestinya menjadi penyatu bukan pemisah. Jadi, penyatu Indonesia itu ya lautan. Oleh karena itu, perlu dibangun infrastruktur pelabuhan yang membuat ongkos membeli barang dalam negeri lebih murah daripada mengirim keluar. Sedangkan hari ini kebalikannya,” tutur dia.

Emil menekankan tidak berarti serta-merta ketika Indonesia berorientasi maritim lalu konektivitas di darat terlupakan. “Kita bikin pelabuhan tapi tidak tersambung ke mana-mana kan percuma. Justru harus ada konektivitas antara pelabuhan dengan pusat-pusat produksi. Jadi, logistik jadi terpadu. Itu yang penting,” tegasnya.

Emil bercerita, ia pernah meneliti tentang link and match. Kenapa di sebuah desa bisa tertinggal dari sisi SDM dan teknologi. Karena apa yang diajarkan di sekolah tidak dapat diaplikasikan di lingkungannya.

“Harus ada satu keterpaduan di hilir dan di hulu. Misalnya, kita pengen nelayan menggunakan teknologi perkapalan atau penangkapan ikannya, ada demand di hilir. Di hulunya kita profit. Jadi, mindset mulai anak SD hingga SMA harus match,” paparnya.

Cucu KH Dardak asal Trenggalek Jawa Timur ini menambahkan, ilmu yang diperoleh sejalan dengan apa yang bisa dikaryakan di situ. Jadi kemampuan santri untuk mengoperasikan penangkapan ikan berbasis teknologi itu menjadi penting. Ia merasa, pesantren di mana-mana itu balance. Orang yang memiliki kondisi spiritual yang baik berada dalam kondisi belajar yang kondusif.

“Itu yang kami lihat. Dia bisa punya etos kerja. Jadi, harus dikaitkan ajaran Islam itu ke dalam etos belajar dan etos kerja yang baik. Karena sekarang ini SDM kita justru karakternya yang harus didorong, nggak cuma kemampuan teknis. Nah, format belajar yang menggunakan pendekatan pesantren itu diharapkan menjadi satu dobrakan ke arah sana,” pungkasnya. (nuo)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry