Oleh : Zulfikar Ardiwardana Wanda, S.H., M.H.

 

PADA 16 Juni 2022 telah diundangkan UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3-Perubahan Kedua) yang mengubah dan/atau menambah cukup banyak ketentuan pasal sekaligus mengadopsi metode omnibus law yang sebelumnya tidak dikenal dalam kerangka sistem hukum nasional.

Dengan adanya perubahan UU P3-Perubahan Kedua, maka menjadi tiket legally entrance untuk memperbaiki UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) sebagaimana yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat (Conditionally Unconstitutional) melalui Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Uji Formil atas UU Cipta Kerja.

Mengapa demikian? Jawabannya cukup logis, karena untuk mengesahkan dan mengundangkan Perubahan UU Cipta Kerja yang merupakan jubah hukum dari Omnibus Law harus terlebih dahulu mengubah ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 15 Tahun 2019 (UU P3-Sebelum Perubahan Kedua-selanjutnya disebut UU P3) dengan memasukkan metode omnibus yang sebelumnya belum diatur dalam prosedur pembentukan maupun perubahan peraturan perundang-undangan. UU P3 dianggap sebagai guidance of law making procedure dari berbagai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan karena memuat prinsip dan pengaturan prosedur dari tahap perencanaan hingga pengundangan.

Beberapa perubahan/penambahan/penyisipan norma penting yang termuat dalam UU P3-Perubahan Kedua bisa dilacak di dalam Penjelasan Pasal 5 huruf g, Pasal 9, Pasal 42A, Pasal 49, Pasal 58, Pasal 64 ayat 1a dan ayat 1b, Pasal 72 ayat 1a, ayat 1b dan ayat 2, Pasal 73, Pasal 85, Penjelasan Pasal 95, Pasal 95A ayat 3, ayat 3a dan ayat 3b, Penjelasan Pasal ayat 2 dan ayat 4, Pasal 96, Pasal 97A, Pasal 97B, Pasal 97C, Pasal 97 D, Pasal 98 ayat 1a, dan Pasal 99. Dari sekian banyak perubahan/penambahan/penyisipan norma tersebut, tulisan kolom ini terbatas untuk mengulas ketentuan Pasal 98 ayat 1a yang memuat norma baru bagi jabatan Analis Hukum yang secara fakultatif dapat diikutsertakan dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kebutuhan.

 

Urgensi Jabatan

            Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara terencana, terpadu dan berkelanjutan sebagaimana yang tertuang dalam bagian konsideran menimbang UU P3 diharapkan menghasilkan produk regulasi yang senafas dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 serta mengakomodir kandungan asas-asas pembentukan dan materi muatan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 UU P3 dalam rangka mendukung pelaksanaan pembangunan hukum dan sistem hukum nasional.

Pembangunan substansi hukum (legal substance) sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional diupayakan untuk dilakukan secara holistik dan berkelanjutan guna menjaga eksistensi peraturan perundang-undangan tetap relevan dalam kondisi kehidupan masyarakat perlu senantiasa untuk dilakukan analisis dan evaluasi efektivitas dan kemutakhirannya. Dalam melakukan kegiatan analisis dan evaluasi hukum diperlukan instrumen standar baku berdasarkan metode dan kaidah-kaidah ilmu hukum terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak sekedar merestorasi substansi hukum yang existing, namun juga akan merestorasi berjalannya subsistem hukum lainnya, yaitu struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture) sebagaimana yang dikemukakan Lawrence M. Friedman dalam bukunya ‘The Legal System – A Social Science Perspective’.

Hasil analisis dan evaluasi atas peraturan perundang-undangan terkait akan menghasilkan output berupa rekomendasi apakah peraturan perundang-undangan tersebut perlu dicabut, diubah atau dipertahankan untuk tetap diberlakukan. Hal ini sejalan dengan metode analisis dan evaluasi hukum yang dilakukan bersifat ex-post karena dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan dan diberlakukan sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 7 UU P3 yang meliputi: 1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, 2. Peraturan Pemerintah, 3. Peraturan Presiden, 4. Peraturan Daerah Provinsi, 5. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan 6. Jenis peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU P3. Untuk dapat merekomendasikan sebagaimana dimaksud, dibutuhkan tenaga yang expertise yang memiliki kompetensi khusus bukan saja di bidang ilmu perundang-undangan tapi juga substansi dari peraturan perundang-undangan dimana pekerjaan tersebut hanya bisa dilakukan oleh Analis Hukum agar produk peraturan yang dihasilkan tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Jabatan Analis Hukum pertama kali tertuang dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 18 Tahun 2017 (Permen PAN-RB No. 18 Tahun 2017) tentang Perubahan Atas Permen PAN-RB No. 25 Tahun 2016 tentang Nomenklatur Jabatan Pelaksana bagi Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah. Dalam lampiran Permen PAN-RB tersebut terdapat jabatan Analis Hukum yang kedudukannya sebagai jabatan pelaksana yang tugas dan fungsinya melakukan kegiatan yang meliputi pengumpulan, pengklasifikasian dan penelahaan untuk menyimpulkan dan menyusun rekomendasi di bidang hukum.

Kemudian Analis Hukum bertransformasi menjadi jabatan fungsional keahlian yang merupakan jabatan karier seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berada di rumpun hukum dan peradilan berdasarkan Permen PAN-RB No. 51 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Analis Hukum (Permen PAN-RB tentang JF AH). Tugas dan fungsi jabatan Analis Hukum berdasarkan optik Pasal 6 Permen PAN-RB tentang JF AH lebih luas dan complicated yaitu melakukan kegiatan analisis dan evaluasi di bidang peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis, pembentukan peraturan perundang-undangan, permasalahan hukum, pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, dokumen perjanjian dan pelaksanaan perjanjian, pelayanan hukum, perizinan dan informasi hukum serta pelaksanaan advokasi hukum.

Dari 7 (tujuh) unsur kegiatan tersebut di-breakdown menjadi beberapa sub unsur dan butir kegiatan sebagaimana terlampir dalam Permen PAN RB tentang JF AH) yang mana pelaksanaan butir-butir kegiatannya disesuaikan dengan tugas dan fungsi/kewenangan di satuan kerja instansi pemerintah dimana seorang Analis Hukum ditugaskan.

 

Metode Analisis dan Evaluasi

Dalam melakukan kegiatan analisis dan evaluasi hukum dipergunakan beberapa metode dengan melakukan tahapan inventarisasi data peraturan perundang-undangan yang terkait dengan isu yang telah ditentukan, termasuk peraturan rezim kolonial yang hingga saat ini masih diberlakukan.

Sebagai bahan pelengkap diperlukan pula data dukung terkait (jika ada) dengan isu berupa: a. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai hasil pengujian Undang-Undang, b. Putusan Mahkamah Agung mengenai mengenai hasil pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, c. Perjanjian internasional yang terkait, d. Hasil penelitian hukum dan/atau nonhukum, e. Hasil kajian hukum dan atau non-hukum, f. Kebijakan Pemerintah, dan g. Masukan masyarakat yang antara lain berasal dari hasil seminar, lokakarya, focus group discussion, diskusi publik, serta media massa baik cetak atau elektronik. Penelaahan data-data dukung tersebut digunakan untuk memperuncing analisis dan evaluasi terhadap regulasi terkait guna penyempurnakan lebih lanjut.

Setelah melalui tahapan inventarisasi, metode selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan dengan menggunakan beberapa variabel penilaian yang merujuk pada 6 (enam) dimensi yaitu 1. Dimensi Pancasila, 2. Dimensi Ketepatan Jenis Peraturan Perundang-Undangan, 3. Dimensi Potensi Disharmoni Pengaturan, 4. Dimensi Kejelasan Rumusan, 5. Dimensi Kesesuaian Norma dengan Asas Materi Muatan, dan 6. Dimensi

Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah diatur dalam Pedoman Analisis dan Evaluasi Hukum Nomor PHN-01.HN.01.03 Tahun 2019.

Formula rekomendasi dilakukan guna memberikan opsi pemecahan masalah yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan berupa rekomendasi perubahan, pencabutan atapun penggantian dengan menggunakan alat bantu berupa pembobotan nilai hasil analisis dan evaluasi dari 6 (enam) dimensi yang telah disebutkan di atas.

 

Sinergitas Kewenangan

Pasca diundangkannya UU P3-Perubahan Kedua, maka legal standing Analis Hukum menjadi lebih kuat dalam keterlibatannya secara fakultatif di setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan (di luar pasca pengundangan) berdasarkan ketentuan Pasal 98 ayat 1a sesuai kebutuhan. Kewenangan Jabatan Fungsional Analis Hukum (JF Analis Hukum) dan Perancang Peraturan Perundang-Undangan (JF Perancang) saling beririsan dalam praktiknya karena keduanya sama-sama bagian dari rumpun jabatan fungsional yang terlibat secara langsung dalam pembentukan regulasi negara.

Perbedaannya terletak pada dimensi teknik drafting dan substansi materi dari peraturan perundang-undangan secara relatif. Apabila JF Perancang lebih menitikberatkan pada teknik penyusunan draft regulasi, sedangkan JF Analis Hukum memiliki lingkup tugas yang lebih luas yaitu menganalisis dan mengevaluasi substansi atas regulasi tertulis maupun tidak tertulis dalam bingkai harmonisasi hukum nasional.

Kewenangan kedua jabatan fungsional tersebut tidak bisa dikotomikan satu sama lain, melainkan saling melengkapi dalam melaksanakan setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan dari dimensi formil maupun materil agar tercipta harmonisasi dalam mewujudkan pembangunan hukum nasional.

*Penulis adalah Analis Hukum Ahli Pertama Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jatim

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry