
Oleh: Ragil Noviyanti
Dalam era keterbukaan informasi dan cepatnya arus komunikasi digital, tantangan terbesar humas pemerintah bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi membangun kepercayaan publik yang kini semakin rapuh.
Belakangan ini, muncul berbagai isu yang membuat masyarakat mempertanyakan transparansi dan kinerja pemerintah—mulai dari penegakan hukum hingga kualitas sarana dan prasarana publik.
Dalam situasi ini, humas pemerintah dituntut menjadi lebih dari sekadar penyampai pesan. Ia harus berperan sebagai arsitek transparansi dan komunikator yang strategis.
Salah satu strategi yang mulai menunjukkan urgensi adalah kehadiran influencer internal dalam tubuh pemerintahan. Bukan dalam pengertian buzzer partisan, tetapi pegawai atau pejabat yang memahami institusinya secara mendalam, mampu berkomunikasi efektif, dan memiliki integritas untuk menyampaikan informasi berbasis data kepada publik.
Influencer internal bukan hanya corong lembaga, melainkan duta (ambassador) dan ikon integritas yang mampu menjalankan komunikasi persuasif, dialogis, dan relevan dengan harapan masyarakat.
Masih banyak instansi pemerintah yang menganggap humas sebagai fungsi pelengkap, bukan bagian vital dari manajemen publik. Padahal, humas adalah etalase institusi. Apa yang dilihat publik pertama kali bukanlah isi kebijakan, tetapi siapa yang menyampaikannya, bagaimana pesan dikemas, dan apakah mereka merasa didengarkan.
Oleh karena itu, humas harus terjun langsung ke lapangan, bukan hanya duduk di balik meja. Mereka harus meng-counter isu dengan bukti nyata di lapangan, bukan sekadar narasi atau pencitraan.
Komunikasi publik yang efektif tidak cukup satu arah. Harus ada ruang untuk komunikasi antarpribadi, negosiasi, dan lobbying berbasis empati. Dalam hal ini, strategi storytelling berbasis data sangat penting. Bukan sekadar menyajikan angka, tetapi menjelaskan dampak kebijakan dalam bahasa yang sederhana dan bermakna bagi masyarakat.
Pejabat pun tidak boleh alergi terhadap media sosial. Platform digital adalah ruang interaksi publik yang harus diisi, bukan dihindari. Namun, aktivitas ini harus otentik, bukan sarat pencitraan kosong. Sebab “plus di kata, minus di kelakuan” justru memperburuk citra pemerintah.
Tugas influencer internal juga mencakup memutakhirkan informasi setiap hari di semua kanal resmi. Hal ini termasuk eliminasi konten yang tidak berdampak seperti CEO note yang bertele-tele, dan menggantinya dengan pesan-pesan sederhana dan solutif yang membuat publik merasa suara mereka didengar dan diakomodasi.
Keberhasilan komunikasi publik tidak hanya diukur dari audience coverage, tetapi juga dari respons, pengaruh, dan perubahan persepsi publik terhadap institusi.
Humas bukan bisa apa saja. Tapi humas bisa menjadi siapa saja—selama ia punya data, empati, dan kejujuran dalam menyampaikan kebenaran. Maka, sudah saatnya setiap instansi pemerintah serius membangun kekuatan komunikasi internalnya. Bukan untuk membentuk persepsi palsu, tapi untuk menyampaikan realitas, membuka ruang dialog, dan menunjukkan bahwa pemerintah hadir, bekerja, dan terbuka untuk dikritik.
Dengan kehadiran influencer internal yang kredibel, komunikasi publik pemerintah tidak hanya akan lebih terpercaya, tetapi juga lebih manusiawi. Sebuah langkah penting untuk mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah, satu pesan, satu cerita, dan satu bukti nyata pada satu waktu.(*)







































