“Menjelang Muktamar ke 48 Muhammadiyah di Solo 18-20 November 2022, soal membangkitkan kembali perdagangan (bisnis) Muhammadiyah, jadi primadona perbincangan. Apakah hal itu akan berhenti pada wacana akademis?”

Oleh Al Uyuna Galuh Cantika

UNIVERSITAS Muhammadiyah Malang (UMM) saat ini mengembangkan  Center for Future Work (CFW),  pusat pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang berbasis digital, tepatnya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Singasari. UMM juga sudah berinvestasi dengan beragam hal untuk mewujudkannya. Melalui program tersebut, harapannya lahir SDM-SDM hebat, mumpuni dan menguasai teknologi digital yang betebaran di pasar dunia kerja, maupun menjadi wirausaha.

CFW ini diawali dengan start bahwa setiap program studi dapat memiliki Center of Excellence (CoE). Dalam istilah lain sekolah unggulan. Sudah sekitar 20 program studi yang mempunyai CoE.

Langkah Rektor UMM Dr Fauzan mengembangkan CoE dan CFW ini, berada dalam satu jalur benang merah dengan pendirian unit-unit bisnis yang dilakukan Pak Rektor UMM sebelumnya, Muhadjir Effendy.

Dr Mursidi dalam disertasinya berjudul ‘Gaya Kepemimpinan Perguaruan Tinggi Islam Swasta’ (studi fenomenologi di Universitas Muhammadiyah Malang) memaparkan bahwa pengembangan unit bisnis merupakan fase penting perkembangan UMM. “Sungguh langkah yang cerdas,” kata Mursidi.

Ekspansi bisnis ini sama sekali tidak lepas dari dunia akademik sebagai core business UMM. Bentuk ekspansi ini adalah mengembangkan profit center. Dengan dikelola secara profesional, profit center ini   memiliki tiga keuntungan secara simultan.

Pertama,  menjadi income bagi universitas. Kedua, menjadi laboratorium lapangan bagi mahasiswa. Mahasiswa dapat melakukan praktikum di unit-unit itu sesuai kebutuhan perkuliahan.

Ketiga, menyangkut atmosfer kewirausahaan. Tuntutan keahlian kewirausahaan saat ini tak bisa ditawar. “Sebenarnya di balik Pak Hadjir mendirikan unit-unit bisnis itu bukan hanya untuk memperkuat basis pendanaan UMM, tetapi ada misi membangkitkan kembali spirit atau jiwa perdagangan di Muhammadiyah. Di samping itu terkandung pemikiran yang visioner, ikhtiar menjawab tantangan di masa depan khususnya bisnis berbasis digital,” kata Fauzan.

Unit usaha itu dimulai dengan membisniskan DOM. Fungsi utama DOM itu untuk kegiatan civitas akademika UMM. Masalahnya banyak waktu DOM tidak terpakai. Padahal DOM itu butuh biaya perawatan yang tidak sedikit. Maka dikembangkan DOM sebagai unit bisnis yaitu direntalkan kepada pihak lain.

Ternyata animo masyarakat cukup besar. Letaknya mudah diakses, lapangan parkir yang luas, fasilitas memadai, biaya sewa terjangkau. DOM menjadi tempat konser musik, resepsi pernikahan, festival dan sebagainya. Sekarang DOM merupakan fasilitas publik terlaris di kota Malang.

Unit-unit bisnisnya terus berkembang. Kini memiliki hotel bintang empat. Taman Rekreasi Sengkaling lengkap dengan hotel dan pusat kulinernya. Bisnis Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Rumah susun sewa (Rusunawa). Bengkel mobil.

“UMM tidak mau mengembangkan unit usaha bisnis yang sudah diusahakan oleh masyarakat sekitar kampus seperti fotokopi. Karena UMM tidak mau menjadi kanibal atas usaha rakyat. Sebaliknya justru ingin memberdayakan mereka,” kata Fauzan.

Langkah Muhadjir mendirikan unit-unit usaha pada dasarnya konsisten dengan komitmen UMM. Yakni dalam mengembangkan ekonomi Muhammadiyah. Pada tanggal 13 Juni 1995, UMM menggelar diskusi panel dengan tajuk “Muhammadiyah dan Pemberdayaan Ekonomi Umat: Upaya Mencari Jawaban”. Dan, diskusi itu, tidak kaleng-kaleng.

Sebanyak 10 panelis yang berbicara bukan orang sembarang. Mereka adalah Dr Amien Rais, Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, Drs Jakob Oetama, Prof Dawam Rahardjo, Prof A Malik Fadjar, Prof Dr Loekman Soetrisno, Dr Bambang Sudibyo, Dr M Jumhur Hidayat, Saifuddin Hasan MBA.

Dalam seminar itu terumuskan bahwa Muhammadiyah mampu mengambil peran dalam pemberdayaan ekonomi umat.  Modal yang dimiliki di antaranya adalah sumber daya manusia yang cukup, terdidik. Persoalannya bagaimana melakukan action pendayagunaan sumber daya manusia ini. Muhammadiyah memiliki jaringan yang luas di seluruh Indonesia bahkan sampai mancanegara. Dari ibu kota sampai di pedesaan. Jaringan sosial ini bisa ditransformasikan menjadi jaringan ekonomi yang dahsyat.

Muhadjir tidak mau berhenti pada seminar. Harus ada action. Mendirikan usaha itu sekaligus sebagai tanggung jawab keilmuan pertama kali sesuai pesan Quran surah Shaf ayat 3. “Sangat dibenci Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Ilmuwan tidak boleh hanya melontarkan gagasan atau pemikiran teoritis  tanpa ikhtiar merealisasi. Pola demikian disebut praksis. Dan praksis ini merupakan bagian tradisi agung UMM yang dibangun Prof Malik Fadjar.

Tradisi agung UMM itu sejalan dengan pandangan filosuf Pierre Bourdiaue bahwa yang terpenting bukan apa yang tereksplisit, diwacanakan, melainkan apa yang tak ternyatakan atau implisit yang hanya dilihat dalam perilaku sehari-hari. Bukan sekadar bicara, berwacana, melainkan action, tindakan.

Jaringan Perdagangan

Muhammadiyah pada awalnya memiliki basis massa kalangan  pedagang perkotaan. Basis massa atau warga itu diikat dalam jaringan perdagangan kota yang kuat. Hal itu bisa disimak pada kajian Prof Mistuo Nakamura berjudul, Bulan Sabit Muncul Dari Balik Pohon Beringin:  Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Yogyakarta yang diterbitkan Gajah Mada University Press tahun 1983. Kemudian disempurnakan dalam buku, Bulan Sabit Terbit di atas Pohon Beringin: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Sekitar 1910-2010 yang diterbitkan Suara Muhammadiyah.

Dalam kesejarahannya tercatat secara gamblang tercatat betapa Muhammadiyah tidak saja memperhatikan masalah pendidikan, kesehatan dan sosial tetapi juga melalui bidang ekonomi. Menurut buku Muhammadiyah “Digugat” Reposisi di Tengah Indonesia yang Berubah (editor Nur Achmad dan Pramono U. Tanthowi) terbitan Kompas tahun 2000.  Sampai tahun 1960-an keberhasilan pembinaan ekonomi bisa dilihat dengan kinerja perajin dan pedagang kerajinan perak di Kotagede, Yogyakarta, batik dan tekstil di Solo, Pekalongan (Jawa Tengah), Ponorogo, Bangil (Jatim).

Hal yang sama terjadi di tempat lain, sehingga Muhammadiyah telah berhasil membentuk suatu lapisan yang kokoh. Muhammadiyah sampai dikenal sebagai persyarikatan dengan basis pedagang muslim menengah kota.

Dengan basis jaringan perdagangan Muhammadiyah telah menjadi kekuatan kelas menengah yang independen, mandiri sejak zaman pemerintah kolonial Belanda. Dengan jaringan perdagangan memperkuat daya inklusivitas Muhammadiyah.  Bahkan jaringan perdagangan lebih menonjol sebagai penopang eksistensi Muhammadiyah daripada aspek teologi. Dimulai dari tekad mandiri secara ekonomi atau swadesi dalam istilah Mahatma Gandhi, di sinilah bersemi benih mandiri secara politik atau berarti merdeka.

Ciri perdagangan itu dinamis, cepat. Cenderung egalitarian. Terbuka. Perdagangan itu berorientasi maju, progfresif. Dengan pijakan perdagangan ini saya kira mempengaruhi watak Muhammadiyah yang progresif, dinamis, terbuka. Demikian pula perkembangan Muhammadiyah cenderung di daerah perkotaan.

Sayang, lewat pertangahan dekade  1960 terjadi perubahan tatanan ekonomi. Ketika pintu ekonomi pasar dibuka lebar-lebar, masuklah multinational corporation (MNC) disertai dengan mencekeramnya pola monopoli dan oligopoli. Muhammadiyah ternyata tidak cukup tanggap dan cepat mengantisipasi perubahan tersebut. Tidak cukup tangguh menghadapi tekanan akibat perubahan itu. Mereka masih berkutat pada ekonomi kekeluargaan, pola-pola tradisional.

Sejak itu perekonomian warga Muhammadiyah, juga umat Islam dan pribumi, mengalami proses marginalisasi yang pesat, semakin terpinggir. Dalam menghadapi proses marginalisasi ini seperti tidak ada pilihan lain bagi warga Muhammadiyah selain menerima apa adanya. Dalam keadaan pasrah dan tak berdaya itulah kalangan pengusaha Muhammadiyah mengalihkan orientasinya kepada jalur pendidikan. Hasil usaha atau modal kerja yang ada tidak diteruskan untuk wirausaha, melainkan untuk menyekolahkan anaknya sampai tingkat tinggi.

Muhammadiyah memiliki  perguruan tinggi (saat ini 165) di seluruh Indonesia bahkan sampai Malaysia. Sebagian besar perguruan tinggi itu memiliki fakultas ekonomi bisnis dan ikutannya. Hal itu merupakan sumber tenaga menengah dan ahli pengembangan ekonomi. Ditambah puluhan sekolah vokasinya yang menyuplai kebutuhan tenaga terampil siap pakai.

Sebagai organisasi modernis berwatak inklusif,  terbuka, pro perubahan, bersikap adaptif terhadap perubahan masyarakat, Muhammadiyah tidak memiliki hambatan beradaptasi dengan sistem ekonomi perdagangan modern. Meskipun juga tetap bersikap kritis terkait dengan sistem ekonomi pasar bebas, kecenderungan naiknya kekuatan oligopoli, konglomerasi. Tetapi secara keseluruhan Muhammadiyah bisa berkiprah.

Peran ekonomi ini menjadi wacana yang cukup kuat pada dekade akhir 1990-an. Wacana itu cederung berhenti di ranah akademis.  Sempat hilang di tengah gemuruh reformasi yang berlanjut pada euforia politik, kemudian muncul lagi di sekitar tahun 2015. Timbul tenggelam seperti batang kayu kering terbawa arus sungai.

Menjelang Muktamar ke 48 Muhammadiyah di Solo 18-20 November 2022, soal membangkitkan kembali perdagangan (bisnis) Muhammadiyah jadi primadona perbincangan.  Antara lain didiskusikan secara live di TvMU dengan judul Muhammadiyah Business and Invesment Foum Arah Baru Ekonomi Indonesia.

Seperti yang sudah-sudah apakah hal itu  akan berhenti pada wacana akademis belaka? (*)

*Al Uyuna Galuh Cantika adalah mahasiswa FK UB alumni SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry