“Yang menjadi masalah adalah ketika mereka melulu berdebat pada masalah yang tidak produktif. Peradaban apakah yang tercipta dari perdebatan masalah-masalah khilafiah dalam perjalanan umat Islam satu abad terakhir?”
Oleh Achmad Murtafi Haris*
PADA kisaran 1987, di hadapan para santri senior KH Hasan Abdullah Sahal pengasuh pondok pesantren Gontor menyampaikan harapannya agar perguruan tinggi Gontor, Institut Pendidikan Darussalam (IPD), segera memiliki program pendidikan umum dan tidak hanya agama.
Dalam kelakarnya beliau berkata: “masak semuanya fakultas mulut, mana fakultas tangan dan kaki”.
Beliau ingin agar pesantren tidak hanya menghasilkan ahli ceramah, tapi ahli teknik, fisika, dan lain-lain yang bekerja secara praktis.
Lambat laun harapan itu terwujud. IPD kini berubah menjadi Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor dengan banyak fakultas umum. Pada Maret2022 ini telah dicanangkan pembangunan gedung fakultas kedokteran di Mantingan Ngawi yang tentunya untuk mewujudkan fakultas tangan dan kaki bukan mulut, seperti kelakar pak kiai tadi.
Harapan agar umat Islam terutama kaum santri tidak berkutat pada bidang agama semata sudah lama didengungkan. Ilmu agama yang mengantarkan pada kemampuan verbal (lisan) menghasilkan hiruk pikuk perdebatan antaraliran dan keyakinan.
Hal ini, dan telah terbukt, menggiring tokoh agama dan umat pada masalah khilafiah (debatable) dan menciptakan suasana tidak kondusif sekian lama. Energi terkuras dan segalanya dikorbankan (termasuk nyawa) untuk perkara yang memang dari sononya multi tafsir.
Tradisi verbal (retorika) yang berkembang di kalangan akademisi muslim telah ada padanannya dahulu pada tradisi kaum sofis Yunani Kuno. Kaum sofis mengasah keterampilan berdebat dan menjadi juru debat profesional. Mereka membangun skilorasi, olah kata, penguasaan diksi, quotes, adagium, kata mutiara, peribahasa untuk bekal debat.
Mereka memanfaatkan pseudo logika atau yang nampaknya logis, padahal jika dicermati betul, keliru. Itu semua demi memenangkan perdebatan dan kadang asal mengalahkan lawan. Banyak sumber yang memandang mereka sebagai kaum pragmatis dan bukanidealis. Tinggal berani bayar berapa, mereka akan bertarung demi memenangkan klien khususnya dalam perkara politik dan bisnis. Mereka subur di abad 4 SM saat di Athena berlaku kebebasan berbicara bagi warga non-budak.
Tingkat pragmatisme yang tinggi dan bebas nilai inilah yang membuat Platodan Aristoteles mengkritik mereka. Plato mengatakan bahwa kaum sofis tidak mengajarkan pengetahuan yang sebenarnya. Mereka hanya menyampaikan opini, kebenaran semu, dan ahli menciptakan kontradiksi.
Meski demikian, Socrates masih menganggap mereka ada baiknya. Menurutnya, sistem pengajaran kaum sofis masih lebih baik dari sebelumnya. Mungkin bagi Socrates, kaum sofis secara moral bermasalah karena hanya berorientasi materi, tapi secara paradigma tidak masalah. Dan tidak semua sofis mendapat cap buruk. Di antara mereka yang dipandang positif adalah Protagoras pemilik adagium: “Manusia adalah penentu segalanya” (man is the measure of all things).
Salahkah mengembangkan tradisi mulut (verbal) yang mengandalkan media podium, majelis ta’lim dan forum diskusi? Tentu tidak salah. Ini lantaran obyek dan sasarannya adalah manusia yang aktif berbicara.
Ranah agama dan sosial adalah ranah verbal. Berbeda dengan ranah sains yang obyeknya alam yang tidak berbicara, tentu yang dikembangkan adalah keterampilan penelitian empiris yang ajek. Seperti meneliti mutasi genus yang berubah dari sifat semula.
Obyek agama adalah prilaku manusia yang beragam. Adanya perilaku yang menyimpang mengundang ahli agama untuk meluruskan lewat media verbal seperti ceramah. Seperti juga dalan perkara hukum dalam konflik perebutan hak, tentu proses perdebatan harus dilalui untuk memperoleh haknya. Ilmu agama, sosial, hukum, komunikasi, dan politik kesemuanya mengembangkan keahlian retorik untuk sampai pada tujuan perubahan sosial ke arah yang lebih baik.
Kritik al-Qasimi
Yang menjadi masalah adalah ketika mereka melulu berdebat pada masalah yang tidak produktif. Peradaban apakah yang tercipta dari perdebatan masalah-masalah khilafiah dalam perjalanan umat Islam satu abad terakhir? Peradaban konflik yang tidak berakhir di banyak negara Islam dan ketertinggalan adalah jawabannya.
Terus berteriak mengumandangkan nilai-nilai agama seolah itulah cara satu-satunya mewujudkan perintah agama. Padahal di belahan dunia yang lain tanpa ribut menyuarakan aspirasi agama, mereka telah sukses membangun kehidupan sesuai nilai agama.
Negara New Zealand yang penduduknya mayoritas non-muslim, dinobatkan berturut -turut pada 2019 dan 2020 sebagai negara yang paling Islami oleh peneliti muslim yang berdomisili di Amerika. Di sinilah barangkali kritik terhadap peradaban mulut relevan. Bahwasanya semuanya harus dibangun melalui pembenahan sistem dan struktur sosial.
Inilah yang dilakukan peradaban Barat yang meski tanpa ceramah agama, sukses membangun kehidupan sesuai harapan agama. Sementara yang sibuk mendayagunakan agama sibuk dengan ceramah jargon-jargon kesalehan sampai-sampai lupa bahwa kreatifitas dan kemandirian berfikir adalah kunci sukses mengelola kehidupan.
Dengan pendidikan yang baik, manusia sampai pada kedewasaan yang mengantarkannya pada pengamalan nilai agama secara logis. Dan ini bisa jadi lebih baik karena didasarkan pada kesadaran dan kemantapan hati. Sementara kaum agamawan merasa pengamalan agama tidak terjadi kalau tidak dengan ceramah di mana pun dan kapan pun.
Abdullah al-Qasimipenulis kontroversial kelahiran Saudi, pada 1977 dari Paris menulis buku yang masyhur yang berjudul al-‘Arab DhahirahShautiyyah (Bangsa Arab adalah Fenomena Verbal). Atau yang maknanya: bangsa Arab adalah bangsa yang berkisar pada peradaban mulut.
Al-Qasimi mengkritik secara tajam hiruk pikuk masyarakat Arab di negara masing-masing tentang nasib mereka kini yang tidak sebaik dulu. Diskusi, seminar, seruan, dan ajakan untuk kembali ke kejayaan masa lalu tidak berhenti disebut.
Apa-apa yang ilmuwan Arab dulu pernah buat tidak berhenti dirapal. Sering pula terdengar bahwa apa yang dicapai Barat dalam kemajuan kini telah dicapai oleh umat Islam dahulu. Juga bahwa apa yang telah ditemukan oleh Barat kini, jauh hari telah disebutkan dalam al-Quran.
Seperti perihal perjalanan ke luar angkasa yang serta merta para penceramah mengatakan bahwa Quran telah mendahului dalam ar-Rahman: 33: “Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan (dari Allah).”
Inilah yang menjadi kritik al-Qasimi bahwa bangsa Arab banyak membangun peradaban mulut. Dengan banyak membahasnya seolah dia telah melakukan sesuatu, padahal tidak. (*)
*Achmad Murtafi Haris adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.