MATARAM | duta.co — Menurut Gus Dur, dalam NU, Tuan Guru Faisal adalah generasi kedua NU di NTB. Pusat NU NTB adalah di Lombok. Pengembangan NU di sana dengan dua sistem, yakni keguruan dan pengajian. Dari aspek historis, yang membawa NU ke Lombok adalah seorang ulama keturunan Arab Syekh Abdul Manan. Itu terjadi pada tahun 1930-an.
Syekh Abdul Manan diutus oleh Hadratusy Syekh Hasyim Asy’ari Rais Akbar NU untuk membuka wilayah NU Lombok. Waktu itu diistilahkan konsul NU Lombok, karena belum ada propinsi. Otomatis Syekh Abdul Manan menjadi pimpinan pertama NU di Lombok.
Setelah Syekh Abdul Manan meninggal, kepemimpinan NU dipegang oleh Tuan Guru Zainuddin (yang kini pimpinan Nahdlatul Wathan itu) dan Tuan Guru Faisal sebagai orang kedua. Waktu itu NU masih ada di dalam partai Masyumi. Maka kedua ulama itu, otomatis selain memimpin NU, juga memimpin Masyumi.
Ketika NU keluar dari Masyumi tahun 1952, kedua Tuan Guru ini bersepakat membagi-bagi tugas. Tuan Guru Zainuddin meminta kepada muridnya, Tuan Guru Faisal tetap dalam NU untuk menggantikan posisinya. Sedangkan Tuan Guru Zainuddin sendiri berkonsentrasi di Masyumi.
“Langkah dan strategi ini diambil seiring dengan konstelasi politik zaman liberal itu. Tujuannya, agar Masyumi dapat merebut kedudukan bupati-bupati dan mempertahankannya, sehingga PNI yang merupakan pesaing politiknya tak berdaya mengambil kursi pemerintahan di tingkat kabupaten di wilayah NTB. Tentu, langkah itu, untuk kepentingan umat. Inilah kerja sama yang sangat baik antara Masyumi dan NU,” demikian Gus Dur.
Ternyata, lanjutnya, dalam pemilu pertama tahun 1955, di Lombok antara kekuatan Masyumi dan NU berimbang. Dengan demikian, lalu terdapat dua entitas politik yang dipimpin oleh guru dan murid. Entitas politik Masyumi yang dipimpin Tuan Guru Zainuddin dan entitas politik NU yang dipimpin Tuan Guru Faisal yang , nota bene murid Tuan Guru Zainuddin itu. Dari sini mulai terjadi perbedaan institusional antarmereka, meskipun tentu, hubungan guru murid tetap berjalan dengan baik.
Ketika Orde Baru, maka Tuan Guru Zainuddin masuk dalam lingkungan Golkar untuk merebut kepemimpinan politik di daerahnya waktu itu. Sementara Tuan Guru Faisal tetap di NU yang waktu itu masih berstatus partai politik. Pada kampanye pemilu 1971 ketika Parpol pada umumnya, termasuk NU, terlibat dalam pola hubungan yang kurang pas dengan Golkar, maka hubungan guru murid itu menjadi renggang.
“Tetapi demi membela NU yang dicintainya, Tuan Guru Faisal rela meniti kerenggangan hubungan tersebut. Padahal urusan hubungan guru murid itu dalam lingkungan pesantren dan NU, sangat dijaga, dan semaksimal mungkin diupayakan janganlah sampai terjadi kerenggangan. Di sinilah, Tuan Guru Faisal mengorbankan kepentingan pribadinya untuk jam’iyah yang sangat dicintai,” tulis Gus Dur.
Sewaktu NU kemudian bergabung dalam PPP, Tuan Guru Zainuddin tetap di Golkar, sementara Tuan Guru Faisal mengikuti jejak NU masuk dalam PPP. Begitu pun ketika tahun 1983 NU keluar dari PPP dan kembali ke khittah 1926, Tuan Guru Faisal juga keluar dari politik dan kembali ke khittah.
Anehnya, dalam kondisi dan situasi seperti itu di mana Tuan Guru Faisal memilih kembali ke khittah dan keluar dari PPP, Tuan Guru Zainuddin justru menyeberang ke PPP dalam Pemilu 1987 dan 1992. Jadi, ada semacam peristiwa metamorfose dalam pandangan Tuan Guru Zainuddin.
Kendati demikian, kedua ulama ini juga tidak bisa bertemu. Karena, Tuan Guru Faisal tunduk dan cinta pada NU-nya yang kala itu sudah kembali ke khittah – walaupun ia sendiri tetap bersimpati pada PPP, tetapi tidak bisa ikut langsung terlibat dalam gelanggang. Sementara Tuan Guru Zainuddin langsung ikut aktif berkampanye untuk partai berlambang ka’bah itu.
Jelasnya, kedua Tuan Guru itu tidak bisa berdekatan kembali, karena memang secara institusional mereka tetap berseberangan. Perbedaan itu semakin terasa, ketika Tuan Guru Faisal tetap berada dalam NU, sedangkan Tuan Guru Zainuddin tetap berada di Masyumi, kemudian Golkar dan memimpin organisasi yang didirikannya bernama Nahdlatul Wathan (NW).
Dua nahdlah ini pun sulit bertemu. Namun, keduanya sama-sama menjadi besar dan sama-sama dicintai rakyat. Kalau misalnya ada semacam pembagian, maka Tuan Guru Faisal berpengaruh luas di masyarakat Lombok Barat, sedangkan Tuan Guru Zainuddin berpengaruh sangat luas di Lombok Timur. Namun, bila dilihat dari keseluruhan pengaruh, maka pengaruh Tuan Guru Faisal lebih besar karena beliau memimpin NU Nusa Tenggara Barat (NTB), termasuk di dalamnya Pulau Sumbawa.
“Dalam konteks ini, saya ingin merekam sosok kepribadian ulama semacam Tuan Guru Faisal. Beliau adalah sosok kepribadian yang memiliki pandangan yang konsisten. Yaitu, kecintaannya pada NU yang tiada habis-habisnya,” jelas Gus Dur. (bersambung)