
Dr. Endah Tri Wahyuningtyas, S.E., M.A., CSRS., AWP – Ketua Program Studi S1 Akuntansi, FEBTD
BERAPA harga segelas kopi kekinian? Lima belas ribu? Dua puluh ribu? Jika pertanyaan ini diajukan kepada remaja, mereka mungkin menjawab santai, “Biasa aja kok, cuma jajan.” Namun, jika dikalikan sebulan atau setahun, jumlahnya bisa mencapai jutaan rupiah. Inilah yang disebut sebagai latte factor—kebiasaan pengeluaran kecil namun rutin, yang tanpa disadari bisa menggerus potensi finansial masa depan.
Fenomena ini marak di kalangan Generasi Z—mereka yang lahir di era digital dan serba instan. Dengan akses informasi tak terbatas, generasi ini justru sering terjebak pada gaya hidup konsumtif: ngopi di kafe, langganan aplikasi hiburan, jajan impulsif, atau membeli barang karena FOMO (fear of missing out).
Melalui program pengabdian masyarakat bertajuk “Solusi Cerdas Investasi: Ubah Latte Factor Menjadi Investasi Saham”, kami dari Program Studi Akuntansi Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA) mengajak pelajar SMA untuk sadar akan kebiasaan finansial mereka dan mulai mengubahnya.
Program ini tidak hanya merupakan bagian dari pengabdian dosen, tetapi juga terintegrasi dengan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa Akuntansi UNUSA, sehingga menjadi kolaborasi nyata antara dosen dan mahasiswa dalam mengedukasi masyarakat.
Edukasi dilakukan secara partisipatif dan aplikatif: para siswa diajak menghitung sendiri pengeluaran kecilnya, mensimulasikan potensi investasi dari uang jajan, serta mengenal instrumen investasi sederhana seperti saham syariah atau reksa dana pelajar. Para mahasiswa KKN turut memfasilitasi diskusi, menggelar permainan edukatif, hingga mendampingi siswa menyusun anggaran digital menggunakan Google Sheets.
Hasilnya mengejutkan. Rata-rata siswa menyadari bahwa mereka menghabiskan lebih dari Rp300.000 per bulan untuk pengeluaran tidak terencana. Saat ditunjukkan simulasi investasi dari jumlah tersebut selama lima tahun, mereka baru sadar: “Wah, ini bisa buat biaya kuliah!”
Kenapa harus dimulai sejak remaja? Karena perilaku keuangan terbentuk dari kebiasaan kecil yang dilakukan terus menerus. Jika sejak sekolah siswa terbiasa menyusun prioritas keuangan, menunda kesenangan sesaat, dan paham pentingnya menabung atau berinvestasi, maka saat dewasa mereka tidak mudah terjebak utang konsumtif atau krisis keuangan pribadi.
Kami percaya, literasi keuangan bukan hanya tanggung jawab sekolah atau orang tua, melainkan proyek sosial bersama. Maka dari itu, kami juga melibatkan guru dan komunitas sekitar untuk mendorong lahirnya generasi muda yang tidak hanya cakap secara akademik, tetapi juga cerdas secara finansial.
Mari mulai dari hal kecil. Tanyakan pada anak atau adik kita: “Kamu mau jajan hari ini, atau menyiapkan masa depanmu?” Sudah saatnya kita ubah budaya konsumtif menjadi budaya produktif. Ubah latte factor jadi langkah awal menuju kemandirian finansial remaja Indonesia.
Catatan Redaksi:
Program ini merupakan hasil kolaborasi pengabdian masyarakat dan KKN Mahasiswa Prodi Akuntansi UNUSA yang dilaksanakan pada Juni 2025 di SMA Negeri 1 Bangsal, Mojokerto. Untuk informasi lebih lanjut, ikuti akun @akuntansiunusa dan kunjungi laman resmi PMB Unusa. *