SIDANG: Terdakwa Djarwo Surdjanto, mantan Dirut PT Pelindo III dan istrinya, Maike Yolanda Fianciska alias Noni saat diperiksa di PN Surabaya. Duta/Henoch Kurniawan

SURABAYA | duta.co – Mantan Dirut PT Pelindo III Djarwo Surdjanto dan istrinya, Maike Yolanda Fianciska alias Noni, kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (21/8). Sidang yang digelar di ruang Cakra digelar dengan agenda pemeriksaan kedua terdakwa.

Di depan persidangan, terdakwa Noni mengakui bahwa dirinya mendapatkan kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) atas nama Komisaris PT Akara Multi Karya (AKM) David Hutapea dari Firdiat Firman, mantan manejer Energi Logistik Pelindo III, yang juga sebagai adik kandungnya (terdakwa berkas terpisah, red).

“Uang dalam rekening itu saya pergunakan untuk membantu keluarga saya, salah satunya saya berikan kepada ibu, adik, kakak dan teman dekat saya,” ujar terdakwa Noni.

Terdakwa Noni juga mengaku bahwa dirinya tidak melaporkan sepenuhnya soal penggunaan dana dalam kartu ATM tersebut kepada suaminya, terdakwa Djarwo.

Sangkal Noni, setahu dia, kartu ATM tersebut dia terima dari Firdiat terkait soal hutang piutang antara dirinya dengan Firdiat. “Saya kira kartu ATM itu diberikan untuk penyelesaian uang saya yang dihutang oleh Firdiat,” terang Noni.

Setali tiga uang, terdakwa Djarwo didepan majelis hakim juga mengatakan bahwa saat adanya perjanjian antara PT AKM dengan PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS), anak perusahaan Pelindo III soal sewa menyewa lahan, dirinya mengaku tidak mengetahui bahwa Firdiat Fariman, adik iparnya tersebut menjabat sebagai salah satu pemilik modal PT AKM.

Soal pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang didakwakan jaksa kepada dirinya, terdakwa Djarwo menilai hal itu sangatlah berlebihan. Pasalnya, dia sudah mendapat gaji dan bonus yang cukup besar dari PT Pelindo III selama menjabat sebagai Dirut.

“Saya digaji Rp 150 juta perbulan dan menerima bonus tahunan sebesar Rp 2,5 miliar pertahun,” ujarnya.

Djarwo juga mengaku tidak mengetahui struktur kepengurusan PT AKM dan operasional kerjasama yang dijalin dengan PT TPS, kendati ia mengakui bahwa dirinyalah yang menyarankan Firdiat untuk menemui Rahmat Satria, Mantan Direktur Operasional dan Pengembangan Bisnis PT Pelindo III (terdakwa berkas terpisah, red) saat awal PT AKM ingin menyewa lahan didalam kawasan TPS.

Dalam dakwaan jaksa dijelaskan dugaan pemerasan yang melibatkan Djarwo terjadi dalam kurun 2014-2016. Praktik pungutan liar itu terungkap ketika tim Sapu Bersih Pungutan Liar Mabes Polri melakukan operasi tangkap tangan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, pada November 2016 lalu.

Penangkapan pertama dilakukan terhadap Direktur PT AKM, Augusto Hutapea (berkas terpisah), yang diduga tengah melakukan pungli kepada importir di Pelabuhan Tanjung Perak. Dari situ lima terdakwa lain juga turut ditangkap, yakni Dirut Pelindo Djarwo; istri Djarwo, Noni; Direktur Keuangan Pelindo Rahmat Satria; David Hutapea, Komisaris PT AKM dan Direktur PT PEL Firdiat Firman

Saat penangkapan, petugas menyita barang bukti diduga hasil pungli sebesar Rp 1,5 miliar. “Dari nilai itu (Rp 1,5 miliar), terdakwa Djarwo mendapatkan 25 persennya,” ucap jaksa Katrin dari Kejari Tanjung Perak Surabaya.

Atas perbuatannya, terdakwa pasutri ini, didakwa jaksa pasal pemerasan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sidang dilanjutkan pekan depan dengan agenda tuntuan jaksa. eno

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry