Abdul Wahid

”Opsi yang salah seperti ”pembunuhan” Tuhan akan membuat manusia terjebak dalam kehidupan yang berwarnakan disharmonisasi dan dehumanisasi berkelanjutan, khususnya distabilitas psikologis-spiritualitas.”

Oleh: Abdul Wahid*

DEMI MASA (pergantian waktu), sesungguhnya manusia (kita/bangsa) akan terjerumus dalam kerugian/kehancuran, kecuali orang-orang yang beriman dan menunjukkan kesalahennya” (QS Al-Ashr).

Ayat tersebut menunjukkan suatu hukum kausalitas (sebab-akibat), di mana setiap kejadian atau peristiwa serius yang menimpa suatu mayarakat dan bangsa di muka bumi ini, pastilah ada penyebabnya. Tidak ada peristiwa berkategori mengerikan seperti terjadinya dan menyebarnya virus Corona (Cavid-19), yang tidak lepas dari perbuatan yang dilakukan manusia.

Ancaman kehancuran masyarakat dan bangsa tidak akan pernah terjadi, bilamana setiap subyeknya merupakan sosok manusia yang dalam dirinya tetap ada Tuhan atau memberikanNya tempat terhormat dan teristimewa dalam dirinya. Manusia demikian inilah yang disebut sebagai “orang-orang yang beriman”.

Ketika Corona berakibat membuat masyarakat dan bangsa dunia, termasuk Indonesia seperti berada di tepi jurang kehancuran, maka, sejatinya kondisi ini sebagai “isyarat” bahwa Tuhan sedang memanggilnya. Tuhan meminta hambaNya yang sedang atau telah “berlari” sangat jauh dari keimanan padaNya untuk kembali menahbiskan bahwa Tuhan tidak mati (tidak boleh ditinggalkan).

Sungguh menjadi aneh saat Tuhan memanggil hambanya ini, kemudian hambaNya ternyata lebih banyak memilih jalan lain atau jalan yang kurang serius mendekat kepadaNya, misalnya karena lebih terpesona atau terbuai kalau jalan yang dipilihnya merupakan kebenaran dan terbilang “terbaik”.

Makhluk Paling Bertanggungjawab

Kegagapan manusia yang sedang diuji penyakit seperti virus corona ini, dapat terbaca, bahwa ada sebagian diantaranya yang lupa kalau Tuhan merupakan “tempat” mengadu dan meminta  jalan terbaik, terutama bersifat pembebasan (penyembuhan), dan bukannya menempatkannya dengan mengidentikkan  Tuhan sedang mati.

Jika dilacak dari salah satu akar penyebabnya, kondisi itu sejatinya tidak berbeda dengan ungkapan Friedrich Wilhelm Nietzsche, yang pernah menyebut, bahwa dalam diri manusia yang berburu kepentingan dan kesenangan duniawi, Tuhan telah mati. Apa yang diungkap filosof ini dapat ”dipinjam” (ditafsirkan) sebagai kritik radikal terhadap kondisi sepak terjang masyarakat yang telah lama ”menyingkirkan” Tuhan dalam kehidupannya.

Dalam pikiran Nietzsche itu manusia dianggap makhluk yang paling bertanggungjawab terhadap kerusakan konstruksi kehidupannya akibat perilakunya yang secara vulgar dan sistematis telah ”membunuh” Tuhan.

Masih dalam ranah pikiran Nietzsche itu, kalau tuhan masih ”hidup” dalam diri manusia, tentulah manusia, apalagi punya modal pintar dan terpelajar serta sedang berkedudukan mapan, tentulah  tidak akan sampai ”mematikan” Tuhan dalam aktiitas kehidupannya.

Pandangan itu juga dapat ditafsirkan secara hermeneuitik, bahwa ia (Nietzsche) tidak menginginkan masyarakat itu berjalan tanpa kawalan doktrin keagamaan (kebertuhanan). Kerusakan di masyarakat yang sangat parah dan masif, merupakan bagian dari jenis ”virus perilaku” yang sejatinya menuntut masyarakat untuk kembali (khittah) ke jalan Tuhan (agama).

Itu menunjukkan, bahwa tidak mudah menciptakan konstruksi bermasyarakat dan bernegara yang ”sehat” dan kuat seperti yang dikehendaki oleh norma Tuhan, karena  beragam tantangan mestilah mengujinya, yang terbukti tidak sedikit manusia yang gagal menjawabnya.

Banyak keprihatinan seperti Corona dan penyikapannya (reaksinya) bisa lahir dan subur di tengah masyarakat yang lebih memenangkan kejahatan di atas kebenaran, atau kebenaran dijadikan bahan permainan. Ragam kekacauan atau perilaku radikalitas akan sulit dibendung di tegah kehidupan masyarakat yang suka mengalahkan keadilan, atau menjadikan keadilan sekedar nyanyian kosong.

Kekacauan atau kepanikan akan gampang muncul dan meledak di tengah masyarakat yang mengidap ”virus” sangat serius berbetuk pengabaian (”pembunuhan”) Tuhan, padahal di tengah kondisi demikian (kekacauan atau kepanikan) ini, kata Martin Luther ”hanya kaum bajinganlah yang beruntung, karena kaum bajingan merupakan perekayasa atau penghancur  yang licik, keji, dan mudah menyebarkan tipu muslihat”.

Idealisasinya, di tengah keprihatinan virus Corona, manusia dituntut menjatuhkan pilihan yang benar, bijak, arif, dan jujur supaya warna kehidupan ini menampakkan kedamaian dan kebahagiaan, khususnya dalam berelasi vertikal denganNya (hablumminallah).

Opsi yang salah seperti ”pembunuhan” Tuhan akan membuat manusia terjebak dalam kehidupan yang berwarnakan disharmonisasi dan dehumanisasi berkelanjutan, khususnya distabilitas psikologis-spiritualitas. Sementara kondusi ini dapat berimbas lebih makro terhadap siapapun yang berhubungan dengannya.

Banyak Ujian yang Harus Dihadapi

Dalam ranah itu, bukan hanya  dirinya yang harus menanggung resiko dari perbuatan bertajuk ”pembunuhan” kepadaNya, tetapi orang-orang yang tidak berdosa pun ikut terkena dampaknya. Inilah yang disebut sebagai tragedi masif yang mengoyak konstruksi kehidupan kini dan masa depannya.

Memang membangun (menyadarkan) urgensinya konstruksi masyarakat yang berjiwa fitri dengan ”berkhittah” privilitas pada jalan Tuhan, yang diantaranya di dalamnya sarat penegakan dan pembumian nilai-nilai keadaban, demokratisasi, dan keadilan  tidaklah mudah, akan tetapi setiap subyek bangsa ini dituntut keharusan sungguh-sungguh berjuang menegakkan dan mewujudkannya.

Sebagai refleksi, ketika Nabi Muhammad SAW berusaha menawarkan dan membangun tata dunia baru berbasis etik dan berketuhanan, berbagai bentuk tantangan silih berganti mengujinya. Kekuatan-kekuatan sosial, politik, agama, budaya, dan ekonomi, yang tidak menyukai dan antipati terhadap gerakan pembaharuan yang dilancarkannya, silih berganti berusaha menghadirkan tantangan serius yang mengajak dan memaksanya menjauhi dan mengalinasikan Tuhan.

Itu sebagaimana firmanNya “kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan dirimu, dan juga sungguh-sungguh kamu akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan orang-orang yang mensekutukan Allah, gangguan yang banyak dan menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan” (QS Ali  Imran: 186).

Ayat tersebut menunjukkan, bahwa dalam hidup ini akan banyak ujian yang harus dihadapi oleh setiap suyek bangsa yang berobsesi membangun dan mewujudkan kalau Tuhan tidak mati. Mesti ada saja berbagai bentuk tawaran dan bahkan pressure bercorak sekuleritas atau  pengistimewaan banyak opsi ”di luar” Tuhan, sehingga layak dikhawatirkan tentang terjadinya (terbentuknya) masyarakat menjalani kehidupannya dan bergulat dengan ujian virus Corona atau yang lebih serius lagi, dengan meminjam istilah Nurcholis Majid  tanpa berelasi dalam ”menghadirkan” Tuhan akibat tergelincir pada pesimisme dan kegalaoan kalau Tuhan bisa memberikan jalan terbaik (penyembuhan).

*Abdul Wahid adalah Pengajar Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry