
JOMBANG | duta.co – Di sebuah grup WhatsApp yang kerap memulai obrolan dengan lelucon dan candaan khas para mantan aktivis, belakangan percakapan jadi lebih panas dan serius. Pemicunya bukan soal politik nasional, bukan pula polemik partai. Tapi sebuah tugu. Ya, tugu perbatasan Jombang, yang kabarnya bakal berdiri megah dengan anggaran Rp1,03 miliar dari APBD 2025.
Proyek ini disebut-sebut akan menjadi simbol “Bumi Santri”, dengan sentuhan arsitektur islami. Namun desain yang bocor ke publik justru menuai kontroversi dari para pegiat budaya dan aktivis yang selama ini mengawal ruh lokal Jombang.
Di antara keributan digital itu, muncul suara lantang dari Sri Krishna, seorang seniman jaranan yang dikenal tak hanya pandai menari di arena, tapi juga fasih bicara tentang filosofi Jawa. Ia menyayangkan desain tugu yang menurutnya “tidak njawani”.
“Kalau tugu Jombang, harus ngerti falsafah Jombang. Warna hijau dan merah itu bukan asal pilih, itu simbol,” katanya saat ditemui. Jumat (4/7/25). “Harus ada perpaduan antara budaya Islam dan adat Jawa. Sesuai ajaran Sunan Kalijaga, Islam yang dijawakan.” ujarnya.
Ia menyipitkan mata ketika melihat gambar tugu yang menurutnya lebih mirip ornamen masjid Timur Tengah. “Lek terus ngono, menungsa Jombang iki dadi Arab? Ora iso njowo maneh?” tukasnya.
Di Mana Identitas Jombang?
Jombang tak hanya dikenal sebagai kota santri, tapi juga tanah kelahiran para pemikir besar. Budayanya menyatu dalam harmoni; antara Islam, Jawa, dan nasionalisme. “Tugu” dalam tradisi Jawa bukan sekadar penanda wilayah, tapi lambang spirit dan arah hidup.
Bagi Sri Krishna dan kawan-kawan di grup lawak WhatsApp itu, pembangunan tugu bukan urusan estetik semata. Itu adalah tafsir atas identitas kolektif. “Iki tanah Jawa, dudu tanah Arab,” ujar Sri Krishna dengan nada berat.
Kekhawatiran Sosial di Balik Megahnya Tugu
Di sisi lain, Hari, aktivis LSM yang juga anggota Pemuda Pancasila Jombang, punya kegelisahan lain. Bukan soal bentuk, tapi fungsi sosial. “Taman dan tugu sering jadi tempat nongkrong anak-anak muda. Kalau tak dijaga, bisa jadi tempat mesum. Ini harus dipikirkan sejak awal,” kata Hari.
Ia mengingatkan bahwa setiap proyek publik bukan hanya harus bagus secara bentuk, tapi juga aman dan mendidik secara fungsi. “Jangan sampai uang rakyat dibangun untuk tempat yang tak bermanfaat,” tambahnya.
Ruang Partisipasi yang Hilang?
Beberapa anggota grup juga mempertanyakan, mengapa desain tersebut bisa lolos tanpa diskusi publik yang cukup. Apakah budayawan dan masyarakat pernah diajak bicara? Di tengah derasnya pembangunan infrastruktur, para aktivis ini bertanya; Apakah estetika visual bisa menggantikan akar budaya, Apakah tugu bisa jadi alat untuk mendefinisikan ulang siapa kita, atau malah menjauhkan kita dari akar.
“Akan lebih indah jika desain tersebut dilombakan lebih dulu,” ujar Mifta Sadikin, Pengurus PCNU Jombang.
Catatan di Ujung Tugu
Entah nanti tugu itu akan berdiri dengan bentuk kubah atau candi, perdebatan ini telah membuka tabir penting bahwa identitas bukan soal bentuk fisik semata, tapi kesadaran kolektif tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana ingin menuju.
Dan di Jombang, kota yang dikenal sebagai tempat bertemunya pesantren, nasionalisme, dan budaya Jawa, pertanyaan itu tidak bisa dijawab hanya oleh arsitek atau kontraktor tapi harus melibatkan suara rakyat. (din)