Oleh: Dr Abd Ghofur, MPd*

Selamat ulang tahun kami ucapkan…

Selamat panjang umur kita kan doakan….

PETIKAN lagu di atas sering terdengar saat perayaan ulang tahun. Bisa juga dinyanyikan untuk jam’iyah dengan jumlah jamaah terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama yang sedang merayakan hari lahir ke 94 tahun.

Menurut KH Hasan Mutawakkil Alallah, Ketua PWNU Jawa Timur bahwa 94 tahun adalah gugusan tahun yang melebihi rata-rata usia manusia. Pada gugusan tahun yang panjang itu, bisa hidup dua hingga tiga generasi. Pada usia tersebut juga menunjukkan sebuah kematangan hidup, baik dalam bersikap maupun berperilaku.

Tak banyak organisasi kemasyarakatan yang bisa bertahan hidup hingga memasuki usia tersebut, bahkan data statistik menunjukkan bahwa jumlah keanggotaan NU makin hari terus bertambah. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi organisasi yang diprakarsai oleh para ulama tersebut bisa diterima di tengah-tengah masyarakat.

Beragam kejadian yang dialami bangsa Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan negeri ini sedang mengalami darurat multidimensional. Mulai dari ragam kasus pembunuhan, kerusakan lingkungan, budaya korupsi, bahkan yang sering terlihat adalah sedang menjamurnya perilaku intoleran.

Islam radikal sudah hadir di negeri kita, negeri yang menjunjung tinggi falsafah Pancasila dan Bhinneka Tunggal Eka. Atas nama agama banyak orang berperilaku sadis dengan melakukan teror bom di mana-mana dengan dalih jihad. Hal tersebut tentu secara tidak langsung menghadirkan kesan bahwa Islam adalah agama yang disampaikan dengan cara kekerasan.

Masih terukir jelas beberapa tahun silam, Kabupaten Lamongan mendadak terkenal, bukan karena prestasinya namun karena kasus teroris yang dilakukan oleh Amrozi dan kawan-kawannya. Setelah sempat terlupa, ternyata, dalam hitungan minggu ini Lamongan kembali menjadi buah bibir, lantaran penangkapan terduga teroris. Bahkan, di Kabupaten Tuban sempat terjadi adu tembak antara Densus 88 dengan para terduga teroris, dan akhirnya mereka yang mengaku sedang berjihad, itu mati betulan.

Kondisi ini tentu menjadi catatan banyak pihak, mengingat bahwa Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin. Agama Islam merupakan agama yang mengajarkan kasih sayang untuk seluruh umat semesta. Tak peduli apa sukumu, bahasamu, warna kulitmu atau bahkan agamamu. Beragam kejadian kekerasan yang mengatasnamakan agama tersebut tentu mencoreng citra Islam sebagai agama yang disampaikan dengan uswatun khasanah, sebagaimana teladan yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw dalam menyampaikan risalahnya.

Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah terbesar di negeri yang konon dengan jumlah muslim 88% itu, seakan menjadi pelita di tengah kegelapan. Bahkan Jokowi, Presiden Indonesia menyampaikan secara terbuka bahwa NU sebagai penyangga utama NKRI. Hal ini semakin meneguhkan bagaimana eksistensi NU sebagai sebuah jam’iyah yang berdiri paling depan dalam menjaga keberagaman tetap lestari di bumi pertiwi.

NU memang harus padang badan, ketika NKRI terancam. Tetapi gerakan radikal yang terus berkembang dengan dukungan dana asing yang besar, memaksa NU harus mengambil langkah strategis, menyiapkan kader-kader handal yang mengerti tentang pentingnya menjaga keutuhan NKRI. Inilah yang kita saksikan sekarang dengan maraknya kader-kader penggerak NU di lapisan bawah.

Posisi Strategis LP Maarif NU

Maraknya aksi kekerasan dalam beberapa periode ini tak lepas dari kurangnya kontrol masyarakat dalam membendung faham-faham radikalisme bisa masuk dan diterima di negeri ini. Faham-faham tersebut telah didesain rapi, terorganisir dan massif lewat berbagai forum kajian dan dunia pendidikan.

Secara tidak sadar para generasi muda di negeri ini telah dicekoki beragam faham radikal, khususnya di bangku kuliah. Minimnya pengetahuan agama ala ahlussunnah wal jamaah annahdliyah menjadikan mereka dengan mudah dicuci otaknya. Dalam waktu yang tidak lama, telah lahir para generasi berjubah yang membenarkan golongannya sendiri dan mengkafirkan saudara muslim yang beda pemahaman. Sedikit demi sedikit mereka mulai membangun kekuatan untuk bisa diakui keberadaannya. Karena disokong pendanaan yang kuat, mereka telah menguasai beberapa media yang digunakan untuk membangun opini tentang Islam versi mereka.

Tak hanya itu, ekspansi para pengikut Islam radikali juga masuk pada pendidikan di semua jenjang. Pelan tapi pasti, secara tidak langsung banyak berdiri lembaga-lembaga pendidikan yang mengambil peran orangtua terhadap anaknya dengan segala kesibukannya melalui pendidikan fullday school.

Orangtua senang karena anak mereka ‘dititipkan’ agar dididik agama dan ilmu pengetahuan, dengan begitu bisa tenang bekerja dari pagi hingga sore untuk mengumpulkan uang demi masa depan buah hatinya. Namun tanpa disadari, jalan fikiran tentang nilai-nilai keagamaan yang kaku dan intoleran telah meracuni pikiran anak mereka.

Kondisi tersebut kalau terus dibiarkan tentu akan berdampak buruk terhadap perilaku beragama generasi berikutnya. Sebagai warga nahdliyin yang menjaga nilai-nilai keragaman pilihan sekolah tentu harus menjadi prioritas. Melalui hari lahir NU yang ke 94 ini, harusnya menjadi momentum kebangkitan NU di semua bidang, khususnya dalam pengelolaan pendidikan.

Mengembangkan layanan dan kualitas pendidikan yang berbasis kekinian harus menjadi prioritas Lembaga Pendidikan (LP) Maarif NU yang telah diberikan mandat. Kita tentu tidak ingin kecolongan generasi karena kalah pilihan disebabkan kualitas pendidikan yang kurang. Tak sedikit sekolah Maarif NU yang bisa bersinergi dan menjelma menjadi lembaga pendidikan yang diidolakan masyarakat. Namun tak sedikit pula, sekolah Maarif NU yang masih butuh supporting system agar terus bisa berbuat yang terbaik dalam mencetak kader militan dalam menghadapi satu abad Nahdlatul Ulama sebagaimana tema besar yang diusung oleh PC NU Lamongan dalam memeriahkan Harlah NU ke 94 ini.

Ayo sekolahkan anak-anak kita di sekolah atau madrasah Maarif NU untuk generasi bangsa yang berbudi dan berpekerti ahlussunnah wal jamaah annahdliyah. Ayo sekolah di satuan pendidikan Maarif NU untuk generasi yang Rahmatan lil Alamin. Selamat Harlah NU ke 94 tahun, terus menjadi pelita dalam gelapnya zaman, terus jadi penopang di tengah terguncangnya degradasi moral, dan terus menjadi penjaga keberagaman untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

*Penulis adalah Pengurus PC LP Maarif NU Lamongan, Peneliti Indonesian Consortium for Religious  Studies dan Dosen di STKIP PGRI Lamongan.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry