Penulis : Budi Arya
Membahas tradisi kupatan, seolah menjadi hal yang wajib dilaksanakan oleh masyarakat di seluruh Nusantara. Di wilayah Kediri, Jawa Timur, tradisi ini dilaksanakan 7 hari setelah Idul Fitri. Masyarakat berkumpul di masjid atau musholla untuk selamatan dengan membawa hidangan yang di dominasi ketupat juga lontong.
Tidak hanya itu, masyarakat Kota Tahu yang berhalangan ke masjid atau musholla, memilih menghantarkan ketupat ke sanak saudara atau tetangga atau yang familier disebut ‘ater-ater’.
“Kebetulan kami bertempat tinggal di wilayah Kota Kediri. Jadi, kalau warga perkotaan mayoritas memilih pola ‘ater-ater’ dan berbeda dengan warga di desa yang biasanya berkumpul di masjid atau musholla,” kata Triyani, salah satu warga Kota Kediri, kepada duta.co, Minggu (8/5).
Menurutnya, tradisi kupatan masih terjaga sampai saat ini. Bahkan, masyarakat selalu meluangkan momen ini sebagai sarana anjang sana dan menjalin keakraban terhadap sesama, hingga terwujud keharmonisan dan persaudaraan.
“Pelengkap ketupat, biasanya di barengi sayur pelengkap, seperti opor ayam, lodeh pepaya, lodeh nangka muda atau srondeng bumbu kelapa,” tutupnya.
Berbicara tradisi Kupatan, merupakan hasil dari pemikiran para Walisongo dalam menyebarkan dakwah Islam melalui budaya.
Ketupat merupakan makanan berbahan beras dibungkus dengan selongsong anyaman daun kelapa yang masih muda (janur, jawa). Masyarakat desa membuat sendiri selongsong anyaman, lalu diisi dengan beras dan dimasak dalam rendaman air.
Ketupat menjadi makanan khas lebaran turun temurun hingga kini. Namun dalam tradisi Jawa, makanan ini bukan hanya sekedar sajian Hari Kemenangan, tapi lebih pada makna filosofis yang terkandung dalam tradisi Jawa.
Oleh Walisongo, tradisi membuat ketupat itu dijadikan media meyebarkan syiar agama. Biasanya, upacara tradisi ini dilengkapi dengan menggunakan ketan, kolak, apem yang diberi wadah pisang yang dibentuk sedemikian rupa yang disebut takir. Setiap bagian dari upacara ini memiliki makna filosofis yang merupakan dasar dari ajaran agama.
Ketan sendiri merupakan perlambang yang diambil dari kata khatam (selesai) melakukan ibadah, takir dari kata dzikir dan apem dari kata afwan yang berarti ampunan dari dosa. Untuk nama ketupat yang dalam bahasa Jawa adalah kupat sendiri merupakan singkatan dari ngaku lepat (mengakui kesalahan) yang menjadi simbol untuk saling memaafkan.
Ketupat atau kupat sendiri memiliki banyak makna sebagaimana telah diketahui oleh masyarakat Jawa. Kupat di artikan sebagai “laku papat” yang menjadi simbol empat segi dari ketupat. Laku papat yaitu empat tindakan yang terdiri dari lebaran, luberan, leburan, laburan. Maksud dari empat tindakan itu adalah :
Pertama, Lebaran yaitu tindakan yang berarti telah selesai yang diambil dari kata lebar. Selesai dalam menjalani ibadah puasa dan diperbolehkan untuk menikmati makanan.
Kedua, Luberan berarti meluber, melimpah yang menyimbolkan agar melakukan sedekah dengan ikhlas bagaikan air yang berlimpah meluber dari wadahnya. Oleh karena itu tradisi membagikan sedekah di hari raya Idul Fitri menjadi kebiasaan umat Islam di Indonesia.
Ketiga, Leburan berarti lebur atau habis. Maksudnya adalah agar saling memaafkan dosa-dosa yang telah dilakukan sehingga segala kesalahan yang telah dilakukan menjadi suci bagai anak yang baru lahir.
Keempat, Laburan berarti bersih putih berasal dari kata labur atau kapur. Harapan setelah melakukan Leburan agar selalu menjaga kebersihan hati yang suci. Manusia dituntut agar selalu menjaga prilaku dan jangan mengotori hati yang telah suci.
Itulah cara yang dilakukan oleh para Walisongo dalam mendakwahkan ajaran Islam yang ramah tanpa marah dan menjadi agama mayoritas di bumi Nusantara. (berbagai sumber)