“Demi tegaknya Pancasila dan NKRI, sudah saatnya kekuatan Islam moderat turun tangan. Tidak sekedar bersikap, menolak RUU HIP. Tidak cukup mengandalkan aparat penegak hukum, apalagi membiarkan penolakan RUU HIP ini didominasi kekuatan kanan.”

Oleh Mokhammad Kaiyis

PERTAMA, siapa bisa memprediksi lahirnya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di tengah pandemi covid-19? Padahal, nyaris sempurna, anggota DPR RI menyetujui. Kendati sekarang banyak yang ‘balik kucing’. Karena fakta, hampir seluruh Ormas Islam, menolaknya.

Kedua, siapa bisa memprediksi akan ada pembakaran bendera PDIP di tengah aksi ‘Jaga Pancasila dan NKRI’ di depan Gedung DPR RI? Edy Mulyadi, Korlap aksi saja terheran, karena aksi bakar pendera PDIP itu, tidak pernah disinggung dalam rapat-rapat persiapan aksi.

Ketiga, siapa pernah menyoal visi-misi PDIP, apalagi mengaitkan dengan RUU HIP terkait adanya upaya ‘pemerasan’ Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila? Termasuk dugaan kuat RUU HIP menuju ‘perubahan’ sila pertama, Ketuhanan yang Berkebudayaan.

Misteri, ‘tangan kita’ tak sampai. Dari sini, masih tidak percaya kalau Tuhan itu ada? Terserah!

Yang jelas polemik RUU HIP ini, kalau sampai gagal dikendalikan, akan menjadi ‘bola liar’ panas di tengah menipisnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Istilah Jawa-nya, kriwikan dadi grojogan. Barang kecil, bisa bikin bubrah.

Hari ini, di media sosial, juga masih diwarnai perdebatan, apakah PKI itu ada, atau tidak. Apakah PKI itu bisa bangkit, atau tidak.

Padahal, polemik itu tidak penting. Sepanjang TAP MPRS No. XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan larangan terhadap ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme di Indonesia masih berlaku, tidak akan ada formalisasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Meski faktanya, ada kekuatan besar yang ingin menganulir Tap tersebut.

Jadi? Diskusi tentang PKI, apakah bisa bangkit atau tidak, sekarang, tidak relevan. Baru menarik kalau TAP MPRS No. XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan larangan terhadap ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme di Indonesia itu, ‘ditilap’. Nah, yang tarkhir ini, di antaranya menjadi alasan penolakan RUU HIP.

Padahal, tanpa menyebut kata komunis — agar terhindar dari trauma G30S/PKI 1965 yang berdarah-darah — RUU HIP ini jelas-jelas bakal mendistorsi Pancasila sebagai ideologi negara. Kalau sekarang terdengar suara ‘Adili Pengusul RUU HIP’, barangkali, itu lebih supaya tidak terjadi lagi skernario mengotak-atik Pancasila.

‘Gambar telanjang’ RUU HIP itu, terlihat jelas dari 10 bab yang terdiri dari 60 pasal. Paling tragis adalah masuknya kata Trisila dan Ekasila serta Pancasila 1 Juni. Konsep Trisila dan Ekasila dalam salah satu pasal RUU HIP, menjadi perhatian serius umat Islam.

Belum lagi kalau kita bicara soal ‘Ciri Pokok Pancasila’ (Bab II Pasal 7) yang berbunyi: (1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.

Ayat berikutnya (2) Ciri Pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta Ketuhanan yang Berkebudayaan. Lalu, (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong.

Dalam dialog penulis dengan Profesor Aminuddin Kasdi — sejarawan senior dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA) — menegaskan, bahwa, Ciri Pokok Pancasila seperti itu, sangat tidak benar, berbahaya. Apalagi kalau sampai menjadi UU. Sehingga tidak berlebihan kalau ada kecurigaan menyusupnya komunisme dalam RUU HIP tersebut.

Meminjam bahasa Edy Mulyadi, ada unsur makar terhadap Pancasila dan NKRI. Maka, RUU HIP tidak boleh ditunda. Harus dibabat habis. Dibuang jauh-jauh. Jika perlu, pengusulnya diadili, ini preseden buruk, tidak boleh terulang dalam berbangsa dan bernegara. Ini kalau kita cinta Pancasila dan NKRI. Bukan sekedar slogan: Saya Pancasila, NKRI Harga Mati.

Muhammad AS Hikam melalui http://www.hikamreader.com/ mengusulkan, agar aparat penegak hukum segera turun gunung. Ini menyusul konflik PDIP VS ANAK-NKRI dan pembakaran benderan PDIP.

Ada tiga skenario versi AS Hikam, pertama, Tidak akan terjadi apa pun, karena baik respon PDIP dan ANAK-NKRI adalah sekedar manuver wacana dan kontra-wacana tentang insiden pembakaran bendera.

Kedua, Manuver wacana dan kontra-wacana ini akan menggelinding dan tak berhenti pada pertarungan kata-kata, namun berimbas pada aksi-aksi yang bernuansa politik. Hal ini disebabkan karena kedua pihak yang berseteru menganggap insiden pembakaran bendera adalah sebuah pintu masuk bagi perjuangan politik yang sangat substansial.

Ketiga, Aksi dan manuver ini kendati berlangsung pada level wavana, namun bisa diredam, syukur-syukur terjadi resolusi konflik, karena keterlibatan aparat hukum yang aktif mengambil inisiatif.

“Untuk sementara, skenario kedua tampaknya lebih tinggi probabilitasnya, apalagi jika media dan media sosial serta netizen serta publik terlibat mendukung kedua pihak yg berseteru. Dampaknya sudah jelas; Bukan saja kegaduhan di ranah wacana publik, tetapi bisa juga mewujud dalam konflik politik dan sosial serta ideologi. Jika hal ini terjadi secara intens, maka Pemerintah PJ (Pak Jokowi) juga langsung atau tak langsung akan menjadi pihak yang terseret ke dalamnya,” demikian analisa AS Hikam.

Benar. Tetapi, tak kalah penting dicermati: Semangat kontra RUU HIP yang menyerat PDIP sebagai ‘tertuduh’. Jika benar substansi RUU HIP itu ada dalam visi-misi PDIP, lalu, bagaimana aparat penegak hukum bersikap? Ini lebih krusial dibanding sekedar mengadili penyusup, pembakar bendera PDIP.

Jadi? Demi tegaknya Pancasila dan NKRI, sudah saatnya kekuatan Islam moderat turun tangan. Tidak sekedar bersikap, menolak RUU HIP. Tidak cukup mengandalkan aparat penegak hukum, apalagi membiarkan penolakan RUU HIP ini didominasi kekuatan kanan. Bukankah ini bagian dari ‘Skenario Baru’ Gusti Allah untuk Indonesia? Waallahu’alam. (*)

Mokhammad Kaiyis adalah Wartawan Duta Masyarakat

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry