Kita pernah disuguhi bahwa Majapahit adalah kerajaan Hindu terbesar. Dengan kecerdasan para ulama ternyata Islam sudah terpatri sejak dulu. (FT/isnaksepi.b.c)

Ceramah Kiai Ahmad Muwaffiq (PWNU DIY) di halaman TPQ Matholi’ul Falah, Dukuh Pesantren, Desa Sembongin, Kecamatan Banjarejo, Blora, Jawa Tengah satu tahun yang lalu, juga menjlenterehkan tentang sulit memasukkan Islam di tanah Jawa. Bahkan demi dakwah, ulama jadi korban kanibalisme.

ANAK-ANAK muda NU harus tahu. Semua kisah Indonesia yang keluar dari rumus Dunia, itu nantinya terkait dengan berdirinya Nahdlatul Ulama. Kekayaan budaya nusantara membuat dunia terbelalak. Akhirnya para ulama dunia itu kepingin, kok ada tempat begitu bagusnya, lalu mencoba diislamkan. Ulama-ulama Timur Tengah dikirim ke sini.

Namun mereka menghadapi masalah, betapa kaget, karena orang-orang di sini mau memakan manusia. Namanya aliran Bhairawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa melakukan tetapi nanti matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa atau murco. Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil dan menghilang.

Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya, akhirnya gak mati-mati. Lha ini terus menjadi jenglot atau batara karang. Jika anda menemukan jenglot, ini jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa.

Akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah, namanya ilmu ngrogoh sukmo. Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajar dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan Pancamakara. Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus. Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau mendengar orang makan orang, kasus Sumanto misalnya. Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak mencuri, namanya ngepet. Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika sukmanya pergi diajak mencintai wanita, namanya pelet.

Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet. Maka, 1500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh orang Jawa. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka dari Turki Utsmani mengirim kembali ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa, namanya Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir.

Jawa ini diduduki Syekh Subakir, kemudian mereka diusir, ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, diambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Di sana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro. Karena Syekh Subakir sepuh, dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi), melanjutkan pengejaran.

Menak Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik. Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan, tetapi jangan telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, mantra ngrogoh sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan. Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah-kan, diceritain ini. Kalau ngeyel, didatangi: tapuk mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.

Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di (daerah) Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh Jumadil Kubro. Di sana punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan Padjajaran. Maka ada Rara Santang, Kian Santang dan Walangsungsang.

Nah, Syekh Jumadil Kubro punya putra, punya anak bernama Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas mengislamkan Majapahit.

Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu, pohon pisang anda bisa ditebang. Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan: “…masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladza fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz zurraa, li yagidza bihimul kuffar………” Artinya: “Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)…”.

Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya hamil? Jawabannya adalah padi. Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi di bawah tanah, kalau di atas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.

Mau menanam Allah, di sini sudah ada istilah pangeran. Mau menanam salat, di sini sudah ada istilah sembahyang. Mau mananam syaikhun, ustadzun, di sini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun, disini sudah ada shastri, kemudian disebut santri. Inilah ulama dulu, menanamnya tidak kelihatan. Kalau sekarang dibalik: akhi, ukhti.

Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: kalimat syahadat, jadi kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi langgar. Semua itu menjadi bahasa masyarakat.

Yang paling sulit memberi pengertian orang Jawa tentang mati. Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip. Prinsip innalillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan dengan reinkarnasi. (bersambung)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry