Deputi Menteri Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama (Kemenko PMK) Prof Agus Sartono Webinar Nasional "Strategi Kampus dan Sekolah Menyiapkan Penerimaan Mahasiswa Baru" Senin (28/6/2021) petang. DUTA/ist

Kampus Harus Menyediakan Program KIP Kuliah

SURABAYA | duta.co – Sebanyak 1,9 juta dari 3,7 juta lulusan SMA sederajad setiap tahunnya tidak bisa menempuh pendidikan tinggi.

Hal tersebut diungkapkan Deputi Menteri Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama (Kemenko PMK) Prof Agus Sartono Webinar Nasional “Strategi Kampus dan Sekolah Menyiapkan Penerimaan Mahasiswa Baru” Senin (28/6/2021) petang.

Agus yang berbicara di hadapan 2.700 pimpinan kampus se-Indonesia yang tergabung dalam Komunitas SEVIMA (PT Sentra Vidya Utama) itu mengaku prihatin dengan kondisi ini. Apalagi, anak muda yang tak bisa kuliah karena kondisi ekonomi. Karena, anak-anak yang kurang beruntung tersebut akhirnya masuk ke lapangan kerja tanpa bekal yang maksimal.

“Dan para lulusan sekolah menengah yang masuk lapangan kerja itu, terpaksa harus bersaing dengan lulusan perguruan tinggi. Ini berlangsung hampir setiap tahun,” ujar Agus.

Atas kondisi tersebut, Agus mendorong kampus di Indonesia senantiasa memperbaiki diri. Terlebih, pendidikan tinggi merupakan pilar tak terpisahkan dari siklus pembangunan manusia dan kebudayaan.

“Pembangunan manusia menuju Indonesia maju, caranya mencapai ya dengan memberi anak muda kita kesempatan seluas-luasnya untuk belajar. Karena itu, pemerintah terus berkomitmen memfasilitasi kampus agar meningkatkan kualitas, menyediakan program bantuan seperti Kartu Indonesia Pintar Kuliah, serta beragam kebijakan lainnya dalam rangka meningkatkan angka partisipasi kasar kuliah,” ungkap Agus.

Sepakat dan terus berkomitmen dengan arahan tersebut, Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Drajat Martianto memberikan contoh atas pengembangan kualitas yang terus dilakukan oleh pihaknya.

Misalnya dalam rangka membuka akses pendidikan yang lebih luas, dilakukan terobosan dalam proses dan program penerimaan mahasiswa baru. Kini di IPB, penerimaan mahasiswa baru tidak hanya mengandalkan nilai atau prestasi akademis.

“Di IPB kami memiliki jalur ketua OSIS dan jalur afirmasi. Ada juga yang menggunakan prestasi hafalan Qur’an. Jadi sebisa mungkin, kita fasilitasi keberagaman dan potensi yang ada di anak-anak muda Indonesia,” ungkap Djarat.

Masalah ekonomi saat berkuliah juga perlu diperhatikan. Saat ini, Kartu Indonesia Pintar Kuliah telah memfasilitasi anak muda untuk berkuliah secara gratis dan mendapat uang saku tiap bulan. Kampus seperti IPB juga telah menetapkan biaya perkuliahan yang seminimal mungkin dalam rangka membantu para mahasiswa.

Akan tetapi, belum ada jaminan bahwa anak tersebut nantinya selepas kuliah, akan mendapatkan pekerjaan. Padahal tak sedikit anak yang tumbuh dewasa tersebut diharapkan nantinya menjadi tulang punggung keluarga.

“Jadi di IPB kami melakukan talent mapping untuk mengetahui passion mahasiswa, sekaligus jaminan kembali ke kampus untuk retraining. Enam bulan lulus dan belum dapat kerja, boleh kemmbali ke kampus untuk ikut pelatihan. Gratis ditanggung oleh kampus, kami cari berkahnya saja,” lanjut Djarat.

Walaupun berat, Djarat menekankan bahwa perbaikan tersebut tak perlu dilakukan sendiri. Perguruan tinggi bisa memanfaatkan dan menggandeng perusahaan dan alumni untuk menjadi sponsor atas program-program yang sedang digalang kampus.

“Misalnya untuk tantangan ekonomi, perguruan tinggi juga harus menyiapkan beberapa bentuk beasiswa. Perguruan tinggi bisa menggandeng para alumni untuk menjadi donatur dalam menyediakan beasiswa tersebut. Tidak harus jadi single fighter,” jelas Djarot.

Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia yang sekaligus sebagai Mantan Rektor Universitas PGRI Adibuana Surabaya, Djoko Adi Waluyo DBA, dalam webinar yang sama, juga merekomendasikan dimanfaatkannya teknologi untuk mengatasi masalah-masalah di kampus.

Misalnya dalam pengelolaan pembelajaran di universitas, para anggota Komunitas SEVIMA telah menggunakan sistem akademik Gofeeder, Siakadcloud dan Edlink. Sistem tersebut tersedia secara gratis maupun berbayar, dan beberapa telah terintegrasi dengan aplikasi videoconference Zoom.

Karena dengan teknologi, biaya seperti gedung, listrik kampus, dan promosi dapat ditekan. Selain itu, kuliah dan penerimaan mahasiswa baru juga bisa berlangsung dengan lancar di masa pandemi karena tidak perlu dilakukan secara tatap muka.

“Teknologi juga saya nilai sebagai salah satu alat yang jitu (untuk menyelesaikan masalah di kampus). Jadi manfaatkan sistem akademik SEVIMA yang telah kita gunakan, untuk menyebarluaskan berita baik tentang kampus, pendaftaran kampus, dan tes serta kegiatan kampus,” pungkas Djoko. ril/end

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry