“Merasa di atas angin, Netanyahu menginginkan kemenangan mutlak atas Hamas seperti halnya kemenangan tentara sekutu atas Jepang pada Perang Dunia II.”
Oleh Achmad Murtafi Haris
YAHYA Sinwar, adalah panglima perang Hamas. Ia tewas pada 17 Oktober kemarin. Dia simbol perlawanan atas Israel dan peletak skenario serangan 7 Oktober. Figur Yahya Sinwar yang lahir di bulan Oktober, keluar penjara pada Oktober, menyerang Israel pada Oktober dan wafat juga pada Oktober, memiliki karisma lebih dari pemimpin Hamas yang lain. Setelah rekan sesama petinggi, Ismail Haniyeh, wafat di Teheran, Yahya Sinwar merangkap jabatan sebagai pemimpin politik dan militer Hamas. Di atas pundaknya kata putus perang dan komando perlawanan berada.
Mantan wakil presiden Jusuf Kalla pernah berkata bahwa yang bisa menghentikan perang Hamas-Israel hanya 3 orang: Yahya Sinwar, Benjamin Netanyahu, dan Joe Biden, presiden Amerika. Selain mereka, seruan gencatan senjata tidak berguna.
Hingga lebih setahun perang terus berkecamuk dan memangsa nyawa lebih 42 ribu warga Palestina. Perang yang meluluhlantakkan Gaza ini pun masih belum tampak akan berakhir. Pasca wafatnya Yahya Sinwar, kelanjutan perang dan tidaknya tetap kabur. Netanyahu berpidato pasca kematiannya, bahwa perang bisa diakhiri segera kalau Hamas mau. Tapi respons Hamas justru menjadikannya momentum persatuan untuk melawan Israel.
Hamas masih menyembunyikan 110 tawanan Israel dan belum melepas semua sesuai tuntutan Israel.
Israel menuduh Sinwar berada di antara tawanan dan menjadikan mereka tameng hidup. Tapi yang terjadi ternyata tidak demikian. Sinwar tewas tanpa ada tawanan di sekitarnya. Israel mengancam kalau sampai kematian Sinwar membuat Hamas membunuh para tawanan, maka akan diserang habis-habisan melebihi yang sudah-sudah. Bagi Hamas, dia tidak akan berhenti melawan jika Israel tidak menarik diri dari Gaza. Bagi Israel, lepaskan dulu tawanan baru kita mundur. Keduanya sama-sama bersikukuh dengan tuntutannya dan perang terus berlanjut.
Merasa di atas angin, Netanyahu menginginkan kemenangan mutlak atas Hamas seperti halnya kemenangan tentara sekutu atas Jepang pada Perang Dunia II. Saat itu Jepang pada akhirnya angkat tangan menyerah kalah kepada Sekutu setelah bom atom dijatuhkan ke Nagasaki-Heroshima. Netanyahu ingin perang berakhir dengan Hamas babak belur dan menyatakan menyerah kalah. Mungkinkah ini terjadi? Dengan total korban nyawa sedemikian besar dari kalangan sipil dan Hamas terus melawan, ini menunjukkan bahwa dia tidak akan menyerah. Absolute victory atau an-nashr al-mutlaq yang diinginkan Netanyahu sulit terwujud bahkan jika korban nyawa terus bertambah.
Jika berkaca pada perang dunia II, Jepang menyerah setelah kawannya: Jerman di bawah Hitler dan Italia di bawah Mussolini terlebih dahulu kalah. Hitler berakhir dengan bunuh diri dan Mussolini berakhir dengan digantung oleh rakyatnya sendiri. Baru setelah itu Jepang berakhir dengan bom atom yang membunuh seratus ribu warga Nagasaki dan Hiroshima seketika.
Berbeda dengan perang Hamas-Israel, Perang Dunia II dengan aktor negara sekutu lawan negara poros adalah perang simetris yang awal dan ujungnya jelas akibat kehancuran yang luar biasa yang diderita yang kalah. Sementara perang Hamas-Israel sekarang tergolong asimetris antara tentara Israel (IDF: Israel Defense Force) melawan milisi Hamas, Hizbullah dan tentara Hautsi Yaman. Kekuatan milisi tidak sama dengan angkatan bersenjata negara. Meskipun senjata milisi Hizbullah lebih besar daripada senjata angkatan bersenjata Libanon, tapi dia hanya kelompok bukan negara. Sementara Hautsi Yaman, meskipun dia angkatan bersenjata, tapi kekuatan persenjataannya seperti milisi. Dengan sifat yang asimetris, maka akhir perang tidaklah pasti sebab ia menyerupai perlawanan rakyat atas penjajah yang tidak kunjung tuntas hingga kelompok terjajah terpenuhi tuntutannya. Upaya Netanyahu menghabisi Hamas, andaikan berhasil, tidak menjamin sel-sel perlawanan habis sepenuhnya. Dia tidak akan angkat tangan dan menyerah karena sifatnya yang informal dan liar. Dia akan lari dan bersembunyi untuk suatu saat akan bermutasi dalam bentuk yang baru.
Perang simetris dalam memperebutkan Yerusalem telah lama terjadi dalam perang Salib. Perang serupa terjadi pasca deklarasi negara Israel pada 1948, 1967, dan 1973 yang dipimpin oleh Mesir dengan sebutan perang Arab-Israel. Ujung dari perang ini jelas, 1948 aliansi Arab kalah, 1967, Arab Kalah, 1973 Mesir menang dan merebut Sinai dan Suriah kalah tidak berhasil merebut dataran tinggi Golan dari caplokan Israel.
Jika perang simetris ini terjadi pada saat ini, maka yang level adalah Israel vs. Iran. Negara yang sama-sama kuat yang akan beradu senjata dengan rudal balistik yang terbang di atas langit Iraq dan Jordan atau dengan cukup menyerang pangkalan militer Iran di Libanon Selatan yang dikuasai Hizbullah. Inilah mengapa Israel tidak menyerang Iran secara langsung karena dianggap cukup dengan menyerang Hizbullah yang berujung dengan kematian Hasan Nasrallah. Selain terlalu jauh, menyerang Iran dengan mengirim rudal balistik akan melewati wilayah udara Yordania yang sudah ada perjanjian damai dengannya. Memberikan izin lalu-lalang rudal sama dengan menjerumuskan diri dalam bahaya kecuali jika Yordania terlibat mendukung salah satu.
Apakah kelak akan terjadi perang baratayuda antara Israel dan Iran sehingga masing-
masing akan saling kirim nuklir yang akan memangsa ratusan ribu bahkan jutaan nyawa manusia? Baik petinggi Israel maupun Iran saya yakin menghindari hal itu. (*)
*Dr Achmad Murtafi Haris adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya