“Keberhasilan dalam mengkonkretkan ide imajiner tentang perang dan musuh menjadi sesuatu yang nyata adalah kunci sukses penyebaran ideologi ini.”

Oleh: Achmad Murtafi Haris*

MENGAWALI Ramadlan 1439 umat Islam Indonesia dikejutkan dengan aksi teror di tiga gereja di Surabaya. Hingga tulisan ini dibuat, telah jatuh korban 10 nyawa dan 38 korban luka yang sedang dirawat di rumah sakit. Aksi bom bunuh diri ini bukan yang pertama kali terjadi. Ia telah berulang kali terjadi di negara kita Indonesia dan di beberapa negara Islam lainnya khususnya di Timur Tengah dan Asia Selatan. Ia terjadi di Mesir, Iraq, Syria, Saudi Arabia, Palestina, Afghanistan, Pakistan dan di negara kita Indonesia.

Aksi bunuh diri di negara-negara tadi dilakukan dengan meledakkan diri di kerumunan massa atau di lokasi target. Aksi yang serupa dengan bunuh diri karena sang pelaku sangat kecil kemungkinan bisa lolos dari tangkapan polisi adalah dengan mengendarai mobil dan menubrukkannya ke warga sipil yang sedang berjalan kaki di lokasi ramai.

Aksi serangan teroris semacam ini banyak terjadi di beberapa negara Eropa dan telah menjatuhkan korban nyawa ratusan seperti yang terjadi di Paris.

Hampir mayoritas aksi serangan bunuh diri di beberapa dekade terakhir ini dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan Islam. Memang ada kejadian penyerangan brutal  terhadap warga sipil seperti yang terjadi beberapa kali di Amerika yang rata-rata dilakukan oleh individu yang sedang depresi seperti yang terjadi di Las Vegas Amerika di mana seorang warga sipil memberondongkan peluru dari kamar hotel ke arah kerumunan penonoton konser music Country yang memakan korban 50-an orang.

Atau kasus penembakan brutal yang dilakukan oleh pelajar atau mahasiswa di salah satu sekolah atau kampus di Amerika yang memakan banyak korban nyawa. Motif dari serangan brutal ini kebanyakan adalah masalah kejiwaan yang diidap oleh pelaku yang membuatnya melakukan aksi yang mematikan itu. Masih dalam serangan yang diakibatkan masalah kejiwaan adalah terbunuhnya banyak penonton bioskop pada launching film Batman di mana sang pelaku terobsesi menjadi musuh Batman, Joker, dan beraksi menunjukkan kehebatannya dengan menembak para penonton dan menakuti mereka. Sebuah petualangan gila yang menjadikan aksi pembunuhan sebagai sebuah hiburan untuk memuaskan hati pelaku.

Jika contoh di atas adalah aksi mematikan yang dilatarbelakangi oleh sakit jiwa, aksi yang lain dengan motif patriotisme dilakukan oleh tantara Jepang pada perang dunia kedua. Salah satu pilot Jepang mengendarai pesawat tempur dan memasukkan pesawatnya ke cerobong asap kapal induk Amerika yang serta merta membuat kapal meledak dan sang pilot pun mati di tempat.

Aksi yang dilakukan oleh tentara Jepang dikenal oleh banyak orang dengan aksi Kamikaze. Hal serupa terjadi dalam salah satu peperangan antara tantara Islam dan musuh pada era awal Islam di mana seorang tantara dengan keberaniannya menerabas barikade musuh yang secara pasti menjemput maut demi membuka jalan bagi masuknya tantara Islam berikutnya. Aksi ini menjadi dalih diperbolehkannya aksi nekat bunuh di

ri dalam perang. Jika itu terjadi pada waktu perang, baik dalam kasus kamikaze tentara Jepang maupun aksi serupa oleh tentara Islam, aksi bunuh diri yang kerap terjadi belakangan di negara Islam bukanlah pada waktu perang berlangsung. Ia terjadi dalam kondisi damai. Di sini menjadi tidak mengherankan kalau aksi-aksi tersebut tidak menuai respon positif tapi kutukan dari pelbagai pihak khususnya para ulama dan pemerintah.

Dalih yang digunakan untuk menghalalkan aksi tersebut tidak bisa diterima oleh akal sehat atau common sense. Hal ini jelas berbeda dengan contoh di atas yang terjadi pada waktu perang di mana semua kalangan umat Islam memberikan penghargaan yang tinggi atas pengorbanan pelaku.

Pelaku bom bunuh diri dan kelompoknya berbeda pandangan terkait kondisi yang ada yang membuat mereka menghalalkan aksi militer yaitu aksi yang menghalalkan membunuh ‘lawan’. Di sini terdapat dua kamuflase terhadap yang ada, yaitu kehidupan normal dipandang sebagai kondisi perang sehingga menghalalkan membunuh lawan. Yang kedua, pihak yang dijadikan target serangan diposisikan sebagai musuh perang laksana kelompok bersentaja yang sah untuk dibunuh.

Dua kamuflase ini benar-benar berhasil diciptakan sehingga situasi damai benar-benar berhasil diubah menjadi situasi perang biarpun itu hanya imajiner. Ia disebut imajiner karena memang tidak sedang perang militer di sini. Dalam konteks Indonesia perang yang sebenarnya bisa dicontohkan seperti perang 10 November 1945 di mana tentara Belanda dan tentara sekutu melakukan serangan dari laut, darat dan udara terhadap laskar arek-arek Surabaya dan rakyat Indonesia pada umumnya. Ini adalah kondisi perang yang sebenarnya yang menjadikan fatwa jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari yang mewajibkan semua umat Islam dalam jarak shalat qashar untuk ikut perang mengusir penjajah menjadi sesuatu yang relevan dan sah tanpa keraguan hokum.

Sementara untuk kasus terorisme saat ini, serangan dari musuh tidak terjadi. Tidak ada aksi militer yang harus dibalas dengan militer pula. Jika bukan aksi militer maka secara hukum Islam tidak bisa dilawan dengan aksi militer selain tidak sepadan hal itu tidak cukup beralasan untuk dilakukan perlawanan militer.

Hegemoni kelompok tertentu terhadap perekonomian negara, seumpama, tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan aksi militer. Ekonomi dilawan dengan ekonomi, politik dilawan dengan cara politik. Pendek kata, perang adalah kondisi khusus yang tidak bisa diberlakukan secara umum. Ia dibatasi oleh syarat seperti adanya serangan bersenjata oleh musuh. Karena serangan fisik itu tidak ada, maka kelompok garis keras meng-creat dari dalam fikiran mereka akan telah, sedang dan akan adanya serangan-serangan dari musuh yang bahayanya sangat besar dan karenanya harus dilawan secara militer.

Perang imaginer ini sejatinya telah eksis dan merasuk di benak pemimpin agama dan akademisi Islam dan bukan saja para penganut aliran keras. Hal ini lazim disebut dengan teori al-Ghazw al-Fikriy atau perang pemikiran. Sebuah perang modern yang tidak lagi menjadikan peperangan secara berhadap-hadapan dengan angkat senjata tapi dengan melalui penaklukan pemikiran sehingga musuh tunduk dan mengikuti pemikiran atau ideologi musuh. Dalam istilah mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo ia kerap disebut dengan Proxy War atau perang jarak jauh. Perang melalui penguasaan aset-aset lawan tanpa angkat senjata.

Karena musuh yang angkat senjata menyerang tidak ada, maka kamuflase intelektual dibuat dengan menjadikan lawan ideologis sebagai musuh yang sah untuk diserang secara militer. Di antara lawan ideologis itu adalah para aparat (terutama yang militer) yang menghalangi tujuan cita-cita, kelompok masyarakat sipil yang dominan yang memiliki posisi di atas mereka baik secara politis mau pun ekonomi, di samping mereka yang jelas berseberangan serangan ideologis.

Perekayasaan perang dan musuh artifisial ini sedemikian rupa dibangun oleh kelompok aksi kekerasan hingga mampu meyakinkan anggotanya untuk ikut memperjuangkan misi kelompok dengan pengorbanan nyawa sekalipun. Melalui proses indoktrinisasi yang mantap bahwa apa yang mereka perjuangkan adalah benar para anggotanya rela menjadi pengantin bom bunuh diri dan menjemput maut.

Keberhasilan dalam mengkonkretkan ide imajiner tentang perang dan musuh menjadi sesuatu yang nyata adalah kunci sukses penyebaran ideologi ini. Para anggota baru atau mereka yang menjadi target perekrutan digiring dan ditumbuhkan kesadaran kritis dan disampaikan bahwa mereka sampai pada posisi itu telah sampai pada derajat yang lebih tinggi secara intelektual dibandingkan masyarakat pada umumnya yang pasrah bongkokan dengan apa yang ada atau mereka yang memiliki kesadaran kritis tapi tidak bergerak apa-apa.

Meminjam teori Paulo Freire, mereka yang telah berhasil didoktrin diposisikan sebagai kelompok yang telah sampai pada tingkat kesadaran kritis sementara yang lain masih pada tingkat kesadaran naif apalagi magis. Posisi tersebut cukup membanggakan sehingga mereka rela mempertaruhkan nyawa demi sesuatu yang sebenarnya hanya artifisial semata. Terjadilah apa yang terjadi ratusan nyawa melayang oleh kesadaran kritis yang dipraktekkan secara salah. (*)

*Achmad Murtafi Haris adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry