“….wajar mengkritisi, tapi hindari mencaci maki dan bagi pembelanya juga jangan membabi-buta dalam membelanya. Kita semua harus terukur dan proporsional dalam menyikapi hal ini.”

           Drs Mukhlas Syarkun (FT/rilis.id)

Oleh: Drs Mukhlas Syarkun, MA*

KUNJUNGAN Gus Yahya Staquf datang ke Israel menuai protes dari yang halus sampai yang kasar dan banyak yang berkomentar di luar batas dengan ujaran kebencian. Sebaliknya dipihak Gus Yahya Staquf terdapat pembela dan bahkan sampai emosional, berbagai argumentasi cenderung dipaksakan, berunsur permusuhan dan pembenturan.

Ini terjadi karena semua bermula pada asumsi, pinjam istilah Gus Dur, seolah olah.

Pertama, Israel  menilai ‘seolah olah’ Gus Yahya Staquf  sebagai Katib Am PBNU, itu pimpinan tertinggi di NU, sebab Katib Am dibahasakan Inggris itu general secertary, atau Sekjen dipahami seperti Sekjen PBB. Padahal yang tertinggi adalah Rais Am dan Ketua Umum.

Kedua, Pernyataan Gus Yahya Staquf sebelum berangkat, bahwa dirinya berada di pihak Palestina, ‘seolah olah’ dengan penegasan itu bisa meyakinkan publik dan Palestina bahwa kepergian ke Israel bukan pro israil, tetapi (nyatanya) justru Palestina tersinggung dan bahkan OKI mencelanya yang dinilai mulukai rakyat Palestina dan tidak tepat waktu dan situasinya.

Ketiga, Ketika pidato Gus Yahya mengupas tentang Rahmah ‘seolah olah’ merasa berhasil memberikan khutbah pada Yahudi dan penggede Israel, namun realitanya tidak dianggap sebagai khutbah, justru dianggap sebagai bentuk dukungan dari pengurus NU, dan ini NU keseret seret, seolah olah pro Israel.

Keempat, Israel dan publik menduga ‘Seolah olah’ Gus Yahya Staquf mewakili PBNU, tapi kenyataannya tidak, sebab Rais Am dan Kiai Said dengan jelas menegaskan, itu urusan pribadi. Juga ‘seolah olah’ itu utusan Istana, sebagai Wantimpres, tetapi Pak Jokowi menegaskan juga, itu urusan pribadi.

Kelima, Ketika ada orang yang mengkritisi tindakan Gus Yahya Staquf langsung diopinikan ‘seolah olah’ NU  sedang jadi sasaran dan NU mau dihabisi,  padahal hakikatnya tidak ada kaitan dengan NU, justru tindakan Gus Yahya Staquf dinilai oleh sebagian  elit di PBNU telah merugikan NU itu sendiri, sebab di mata publik NU dianggap main mata dengan Israel.

Keenam, Publik semula beranggapan ‘seolah olah’ Gus Yahya Staquf itu penerus ideologis Gus Dur dan memiliki kepedulian tentang pluralisme seperti Gus dur, padahal dalam rekam jejak digitalnya tergambar tidak demikian, sebab selalu melontarkan narasi rasis dan primordial seperti ia mengatakan Islam Arab itu penjajah, dan juga membully Habib Ja’far dari Yaman yang bertamu di Indonesia.

Ketujuh, Publik menilai ‘Seolah olah’ kunjungan itu meneruskan missi Gus Dur, namun publik dan bahkan putri Gus Dur menepis anggap seperti itu, karena beda jauh, sebab Gus Dur ketika itu adalah juru damai yang mendapat mandat dari Palestina dan juga Israel, sedangkan kunjungan Gus Yahya kali ini menimbulkan  paradoks,  dikritik oleh Palestina dan dielu-ekukan oleh Israel.

Kedelapan, Di depan kaum Yahudi Gus Yahya bilang Alquran adalah dokumen sejarah, ‘seolah olah’ benar, padahal tanpa disadari pernyataan itu sudah diucapkan orang kafir yang berniat merendahkan Alquran, dan ketika itu orang kafir bilang, Alquran hanyalah sebagai Asatirul awwalin (dokumen sejarah)

Kesembilan, Pendukung Gus Yahya berusaha meyakinkan bahwa Gus Yahya sedang melakukan ijtihad diplomasi yang harus dihormati, tetapi publik menilai bahwa sosok Gus Yahya baik secara akademis, maupun jam terbang serta kapasitas belum meyakinkan sebagai sosok yang jago dalam diplomasi. Publik melihat Gus Yahya  baru pemula bergelut tentang ilmu dan aktivitas diplomasi. Ibarat belum menjadi pawang, tapi sudah main sirkus dengan singa, sungguh berbahaya sekali.

Kesepuluh, Pendukung dan pembela Gus Yahya Staquf mencoba meyakinkan bahwa kedatangan ke Israel adalah niat baik untuk perdamaian, tapi publik tak bisa yakin itu sebagai misi perdamaian, karena serangkaian acara  yang terlihat jelas adalah misi perkenalan. Karena realitanya terjadi paradoks di pihak Israel mengklaim mendapat dukungan dan sebaliknya Palestina merasa ditinggalkan, padahal missi damai, jika kedua belah ada kesepahaman, Karena itu lebih tepatnya hal ini disebut sebagai diplomasi ‘seolah olah’.

Maka, jika timbul pro-kontra adalah wajar sebab Gus Yahya berada di permainan abu abu, karena itu wajar mengkritisi, tapi hindari mencaci maki dan bagi pembelanya juga jangan membabi-buta dalam membelanya. Kita semua harus terukur dan proporsional dalam mensikapi hal ini.

Karena semua telah terjebak pada asumsi seolah olah, maka  yang paling penting adalah bagaimana menjaga marwah NU, sebab NU telah terseret seret, selain itu ada kekuatan yang berupaya menarik narik NU dan akan dijadikan tameng untuk kepentingan pribadi dan sekaligus akan dibenturkan dengan kelompok lain. Oleh karena itu, kuatkan dalam pegang prinsip Aswajah annahdhiyah, tawazun, i’tidal, moderat dan berakhlak. (*)

Mukhlas Syarkun adalah Mantan Pengurus Pusat GP Ansor dan Pengurus Pusat Studi KH Hasyim Asyari PP Tebuireng, Jombang. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry