“Dan saya menyaksikan sang resi memang tidak melenggak-lenggokkan bodinya, tetapi tepukannya adalah restu yang pastinya mengusik umat yang selama ini memohon ‘berkahnya’”.

Oleh:  Suparto Wijoyo*

NEGERI itu terekam dalam benak zaman beribu tahun sebagai zamrud khatulistiwa. Tanahnya gembur subur dalam petakan sawah, ladang, pekarangan, dan hutan yang menghijaukan bumi.

Setiap jengkal ladangnya menyimpan berlaksa harta yang membuat dunia ngiler menatap keelokannya.  Laut dan sungai-sungai selalu bercumbu untuk memuncaki tanda syukur atas kolam kehidupan yang diajangkan  Tuhan.

Surga diyakini termanifestasi dalam benak dan rahang-rahang wilayahnya. Degup kagum dan gentar yang menerawang pun membentuk labirin tanpa mampu dibaca arahnya. Semua terkadang menjadi sangat aneh nan ganjil tampilnya.

Gemah ripah loh jinawi  dibisikkan dari generasi ke generasi seolah sebuah nyanyian yang kehilangan nada dasarnya hingga panggung negara sangat berisik penuh celoteh teka-teki silang.

Rakyatnya tetap tegar karena sudah terbiasa mengalami derita berabad-abad. Penjajahan, bukan. Itu adalah tahapan sejarah yang menguatkan jiwanya agar tetap sumringah menghadapi segala kesulitan.

Hidup yang nelongso setiap hari itu dikira sego-jangan alias lalapan  yang tidak pernah digugat. Kelaparan, kekeringan, kebanjiran atau kehausan dianggap ujian  untuk meningkatkan kualitas iman. Nilai tukar uang yang terjungkal bukan halangan untuk mengumbar senyuman.

Bahkan kalaulah pemimpinnya sibuk berkepanjangan tidaklah apa. Penduduknya  membiarkannya dan mempersilahkan untuk bekerja sebagai lambang prestasinya. Meksi harga tidak stabil, keamanan batin terus diirisi dan ketidakadilan dengan pameran  persekusi telah diterima:  itulah pekerjaan hariannya yang siang dan malam dikukuhi.

Itulah panggung kampung yang harga diri warganya diteladung oleh orang-orang asing yang datang dari “mulut ular” dengan gegap gempita dan sangat perkasa. Mereka  kontrak di  perumahan yang lengang dengan mempekerjakan anak-anak sekolahan. Nomor-momor kartu perdana diperjualbelikan dengan sembunyi seperti  kunci  pintu misteri bagi warga “ulo abang”.

Anehnya, penguasanya dihujat dengan acungan telunjuk sebagai “gedibalnya”,  pun tidak merasa terhina. Tetapi kaum bersorban dikala mencoba untuk menyuarakan niatnya saja, sudah dibombardir melalui aparat yang sedang “mabuk undang-undang” dengan memboyongnya ke penjara. Pengadilan adalah cara hukum untuk menistakan harga diri lawan dengan satu ketukan palu. Praktis dan  sempurna.

Sampai akhirnya urusan sepak bola. Permainan ini di “tanah emas” itu  sangat mengancam nyawa pecintanya. Berpuluh kejadian selama tahun 2018 ini mencatat banyak suporter tewas mengenaskan dari “akrobat sepak bola”.

Kematian yang dipandang lebih ekspresif dari orang yang tersengal tarik nafasnya akibat daya belinya yang terampas. Alat pembayaran negara itu sedang limbung, sementara punggawanya gandrung melanjutkan kekuasaannya. Soal  janji yang tidak mampu dipenuhi bukan masalah lagi sebab, penting,  tambah maneh.

Itu tentu sangat sah dalam ukuran demokrasi apalagi diberi justifikasi oleh penyokong yang lahannya tergoyang gempa bahwa sangatlah logis seorang  pemimpin itu manuntaskan janjinya dalam dua periode.

Begitulah yang tersiar dan para pecinta warkop dapat saja bersuara sambil metingkrang bahwa andai saja sistemnya menghendaki  panca periode, tentu dia akan ingin berkuasa lima periode. Itu logis karena setiap periodenya janji boleh dilanjutkan tanpa henti.

Apa Lagi yang Mesti Dicari Sang Resi?

Kali ini  untuk menunggangi “kursi kelurahan”, dia tidak segan menarik brahmana, sang guru, resi dari segala resi yang berderajat tidak sembarang kiai. Pandom martabatnya selama ini terus moncer dan tidak sanggup dibayangkan betapa dekatnya dia dengan Pangeran.

Berposisi sebagai “wali senior”, penggenggam “estafet pesan kenabian” tertingginya dalam sebuah “rapat raksasa” di “alun-alun keagamaan”. Saya sangat kagum dan melongo, tidak tergoyahkan. Rasa cekat dan tegar hadir dalam jiwanya yang matang untuk tidak mengatakan lansia. Kasepuhan yang sangat bernas sebagai tokoh sentral “tetua adat bumi padi” yang diserbu kerumun “burung manyar”.

Langkah sang resi, saya ikuti dengan menghayati pandangan Lincoln Child, seorang novelis Thriller yang berkomentar apik atas novel Angelologi karya Danielle Trussoni (2010/2014):  “… membuka pintu keemasan menuju suatu dunia yang berbeda, dan yang lebih memukau, ke langit yang lebih tinggi”.

Angelologi adalah salah satu cabang asli teologi dan siapa yang menguasainya beribaratkan mampu menjamah malaikat maupun perwujudan nubuat mereka sepanjang sejarah manusia.

Sang resi akhirnya memang memasuki dunia yang berbeda dan berikhtiar menerobos ke langit. Tampaknya akan semakin “merapatkan diri dalam cela gua-gua kuasa”. Sang resi ikut kontestasi mengerubungi “kursi desa” yang mestinya dia basuh agar tidak sempat dinajisi oleh siapapun penguasanya.

Menjaga kesucian kursi kekuasaan merupakan tugas resi mengingat dunia ini memang tidak selamanya diisi oleh pemimpin yang amanah. Apabila brahmana ikut menjadi pandai keris, lantas siapa lagi yang akan mencegah agar “keris tidak menusuk diri”? Apalagi waktu-waktu berlalu untuk menyelanggarakan tahapan pemilihan ini, jejogetan disuguhkan dan semua mata kawula dapat menyimaknya.

Dan saya menyaksikan sang resi memang tidak melenggak-lenggokkan bodinya, tetapi tepukannya adalah restu yang pastinya mengusik umat yang selama ini memohon “berkahnya”.

Saya hanya mampu menoleh membaca ulang  novel Halo karya Alexandra Adornetto (2015): banyak yang tidak bisa kuutarakan dengan kata-kata. Itulah hal yang paling menyedihkan tentang manusia. Pikiran dan perasaannya terpenting mereka sering kali tidak terutarakan dan tak dipahami.

Mengikuti Gao Xingjian, sastrawan kelahiran Ganzhou, 1940 dan pemenang Hadiah Nobel Sastra 2000, dalam cerpennya One Man’s Bible, saya pun ikut bertanya: Apa lagi yang mesti dicari sang resi?

*Suparto Wijoyo adalah Kolomnis dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry