*Ribut Baidi Advokat PERADI dan Direktur LBH Sahabat Keadilan Nasional dan Mendapatkan Gelar Magister Hukum dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) (dok/duta.co)

Oleh: Ribut Baidi*

Teori hukum dan penegakan hukum merupakan entitas yang tidak bisa dipisah. Keduanya, ibarat dua sisi mata uang logam yang sama-sama memiliki nilai berharga dalam kehidupan masyarakat. jika, sisi tersebut dipisah, hampir pasti uang logam tersebut nilainya menjadi rusak, tidak bisa difungsikan, dan tidak bisa memberikan manfaat. Begitu juga, teori hukum sudah pasti menjadi dasar bagi setiap orang yang berprofesi sebagai praktisi (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) maupun akademisi ketika hendak mempraktikkan dalam dunia praksis.

Bagi praktisi, peranan teori hukum akan selalu menuntun kiprah dan kinerjanya di tataran empiris sebagai perisai manakala ingin merumuskan produk hukum yang dibutuhkan. Tentu, memahami teori hukum tersebut harus benar-benar secara utuh agar apa yang diperjuangkan dalam dunia praksis benar-benar memiliki dasar yang kuat, selain pembuktian dari fakta hukum yang terjadi. Dengan demikian, teori hukum difungsikan agar kualitas penegakan hukum menjadi lebih baik, terarah, dan bermartabat.

Disisi lain, penegakan hukum selain harus didasarkan pada teori yang benar, juga harus dilandasi dengan moral yang jujur karena ketiganya akan menuntun hukum menjadi alat keadaban manusia maupun simbol keadilan bernegara. Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya (Moralitas Hukum, 2014) mengatakan bahwa hukum memerlukan moralitas sebagai alat keadaban manusia dalam rangka mewujudkan refleksi secara proporsional tentang sifat dan tugas hukum sebenarnya. Dengan demikian, peranan aparat penegak hukum (APH) menjadi penentu apakah hukum tersebut hadir secara benar dan bermoral yang tidak hanya mencerminkan kepastian dan kemanfaatan, tetapi juga menciptakan keadilan bagi semua orang.

Hukum adalah alat untuk mencari dan menegakkan kebenaran dari setiap persoalan yang diinginkan oleh semua orang terhadap perlindungan hak asasinya. Penegakan hukum tidak boleh dijalankan sewenang-wenang, tanpa dasar dan moralitas karena hal tersebut akan melukai nilai-nilai keadilan dan menutup kebenaran dari hukum yang sebenarnya.

John Rawls (Teori Keadilan, 2019) mengatakan bahwa keadilan memiliki dua prinsip yang penting dalam kehidupan ini. Pertama, setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa agar dapat diharapkan memberikan keuntungan bagi setiap orang dan juga semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.

Bertitik tolak dari pemikiran John Rawls tersebut, maka dua prinsip keadilan akan dicapai manakala hukum benar-benar ditegakkan dengan benar dan menjadikan moral sebagai perisai dari semua aparat penegak hukum (APH) nya, disamping juga landasan teorinya dipahami dengan baik dan benar. Oleh karenanya, setiap orang bebas menikmati hukum yang adil tanpa adanya diskriminasi serta bisa menikmati kehidupan yang baik tanpa harus tersekat dengan ketimpangan sosial dan ekonomi yang justru menutup ruang akselerasi terhadap jabatan-jabatan publik yang dimonopoli oleh segelintir orang yang dapat membeli semuanya, termasuk “penegakan hukum” yang dijalankan secara tidak benar oleh oknum-oknum aparat penegak hukum (APH) yang mencoreng nama baik instansi penegak hukum dan mereduksi nilai-nilai kebenaran dan keadilan hukum.

Satjipto Rahardjo (Membedah Hukum Progresif, 2008) membangun sebuah teori yang sebenarnya menjadi inspirasi bagi semua praktisi hukum di negeri ini. Dia menyatakan bahwa hukum bukan sekedar sebatas urusan (a business of rules), melainkan juga sebagai perilaku (matter of behavior). Jika hukum hanya dijalankan sebatas urusan (a business of rules), maka hukum akan hadir sebagai senjata yang menakutkan dan mematikan bagi orang-orang kecil yang tidak mampu memiliki akses kepada kekuasaan. Hukum akan mudah disalahgunakan oleh oknum-oknum aparat penegak hukum (APH) yang menjadikan hukum untuk ladang bisnis (profit oriented), bukan untuk menegakkan hukum yang berkeadilan (supremacy of law). Dari sini, kita bisa membayangkan betapa “mengerikan” penegakan hukum tanpa teori yang dijalankan dengan benar serta tanpa moral sebagai benteng kejujuran.

Teori hukum, praktik penegakan hukum, dan moralitas aparat penegak hukum merupakan tiga kunci utama untuk menghadirkan sebuah hukum yang benar-benar berkeadilan untuk semua orang. Jika, penegakan hukum dipraktikkan dengan baik dan berkeadilan, terutama bagi orang-orang lemah, maka hukum tersebut tidak hanya hadir dalam bentuk teori (konsep) yang dirumuskan dengan baik, tetapi juga bisa dijalankan dengan arif dan bijaksana.

Alhasil, ke depan kita tidak akan merasa ragu-ragu, tidak pesimis, bahkan tidak apriori terhadap model penegakan hukum di negeri ini karena semua dijalankan dengan baik. Teori hukumnya dipahami secara utuh dan benar dan tidak diselewengkan substansinya dengan berbagai macam penafsiran “pesanan” oknum tertentu yang berakibat hukum tersebut menjadi “misleading”, penegakan hukum dijalankan secara berintegritas dan jujur, dan moral aparat penegak hukum (APH) menjadi kunci utama didalam menjalankan dan memutuskan hukum melalui berbagai instansi penegak hukum dari proses awal sampai akhir ketukan palu sidang.Wallahu A’lam !

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry