
“Dahnil pun ke Istana, datang melapor ke Presiden. Jawaban Prabowo singkat, khas militer yang bosan dengan basa-basi. Babat!”
Catatan Cak AT*
KONON, di dunia ini hanya ada dua hal yang benar-benar konsisten sejak zaman Nabi Adam sampai era kecerdasan buatan: kematian dan bisnis. Bedanya, kematian masih mau menunggu takdir, sementara bisnis selalu berusaha menyergap lebih dulu.
Di mana-mana, bisnis tak punya agama. Kalau pun ia rajin beribadah, agamanya satu: uang. Maka jangan heran jika urusan yang katanya paling sakral, paling suci, dan paling dekat ke langit justru lama sekali berputar-putar di lorong gelap bernama rente.
Ibadah haji, yang oleh ajaran Islam disebut puncak perjalanan spiritual seorang muslim, ternyata sejak lama juga menjadi puncak perjalanan ekonomi segelintir orang. Ia bukan sekadar rukun Islam kelima, tapi juga “rukun kas” bagi para penguasa layanan.
Di balik niat tulus jutaan jemaah yang menabung belasan hingga puluhan tahun, ada ekosistem bisnis yang dipelihara rapi seperti taman pribadi. Hotel, transportasi, katering, tenda, kuota, hingga jarak bus dari hotel ke Masjidil Haram —semuanya punya harga.
Dan harga itu lama sekali naik dan terus naik tanpa pernah benar-benar dipertanyakan. Publik yang tak berurusan dengan haji membiarkannya. Sementara jamaah juga tak peduli, menerima apa adanya, seperti biaya pendidikan di kampus elit, mahalnya dianggap takdir.
Dalam ilmu ekonomi, ekosistem bisnis semacam ini punya nama yang sopan: kartel. Dalam bahasa warung kopi, orang menyebutnya mafia. Di antara mereka, delapan syarikah besar di Arab Saudi, selama bertahun-tahun, menguasai layanan haji Indonesia nyaris tanpa kompetisi.
Mereka menentukan biaya semaunya. Tidak ada lelang terbuka yang benar-benar terbuka. Tidak ada transparansi yang bisa diaudit publik. Harga akomodasi bisa naik 40–50 persen per tahun tanpa merasa bersalah.
Jemaah tentu saja mengeluh, negara menghela napas, lalu semuanya kembali berjalan seperti biasa. Dijalani saja, mau bagaimana lagi. Seperti ritual tahunan: bukan hanya thawaf, tapi juga “thawaf anggaran”.
Lalu datanglah disrupsi bernama teknologi, makhluk paling tidak sopan dalam sejarah peradaban. Ia tak peduli senioritas, tak menghormati kebiasaan lama, dan punya hobi membongkar lemari yang selama puluhan tahun dikunci rapat.
Pemerintah Arab Saudi, dengan segala kepentingan geopolitik dan ekonominya, pelan-pelan berubah. Transparansi menjadi tuntutan global. Platform digital seperti Nusuk lahir, memaksa semua pihak menyesuaikan diri. Semua harus terdaftar. Semua transaksi harus tercatat.
Saudi pun berubah drastis. Di sana tidak ada lagi ruang gelap yang nyaman untuk bermain petak umpet dengan angka. Indonesia, di era Prabowo Subianto, kebetulan —atau mungkin tepat— masuk pada momen sejarah perubahan itu.
Dan untuk pertama kalinya pula, ada pejabat negara yang berani menyebut kata “kartel” secara terbuka, tanpa berbisik, tanpa kode-kode. Namanya Dahnil Anzar Simanjuntak, Wakil Menteri Haji dan Umrah.
Ia mengungkapnya bukan di ruang rapat tertutup, bukan di forum akademik ber-AC dingin, tapi di embarkasi Padang, pada Mei 2025, di depan kamera dan jemaah yang hendak berangkat ke Baitullah. Sebuah bom politik yang dilemparkan di tengah suasana ihram.
Dahnil bercerita, dengan gaya blak-blakan khas aktivis yang belum sepenuhnya jinak oleh birokrasi, bahwa selama tujuh bulan ia mendalami persoalan biaya haji. Kesimpulannya sederhana tapi mengerikan: kartel-kartel besar itu luar biasa.
Ia pun ke Istana, datang melapor ke Presiden. Jawaban Prabowo singkat, khas militer yang bosan dengan basa-basi: “Udah kamu babat saja.” Dalam satu kalimat “babat” itu, legitimasi politik diberikan oleh Prabowo kepada Dahnil. Dan sejarah pun bergerak.
Maka terjadilah perang terbuka. Kontrak syarikah dipangkas dari delapan menjadi dua: Rakeen Mashariq Al-Mutamaziyah dan Al-Bait Guest. Harga akomodasi yang biasanya naik kini justru turun drastis. Kue besar yang selama ini dinikmati ramai-ramai mendadak tinggal remah.
Seperti biasa, yang kehilangan rente tak pernah diam. Tuduhan korupsi bermunculan. Video-video fitnah diproduksi massal. Akun-akun anonim mendadak fasih bicara akhlak pejabat, seolah-olah baru saja lulus pesantren kilat satu malam.
Namun, senjata pamungkas sesungguhnya bukan sekadar pemangkasan kontrak. Itu hanya luka kecil. Pukulan telaknya datang ketika Prabowo memutuskan Indonesia tak mau lagi menjadi tamu yang terus ditagih mahal.
Maka lahirlah gagasan membangun Kampung Haji Indonesia di Mekah: pemondokan permanen milik republik. Hotel, rumah sakit, dapur umum, armada bus, tenda Mina —semuanya atas nama negara. Nilainya belasan triliun rupiah, memang.
Tapi angka besar itu sekali jadi. Setelah itu, Indonesia tak perlu lagi mengemis kamar, tak perlu lagi tunduk pada harga yang ditentukan sepihak. Seperti orang yang akhirnya berhenti ngontrak dan membangun rumah sendiri.
Secara ekonomi, langkah ini masuk akal. Biaya akomodasi yang selama ini bisa mencapai Rp60–70 juta per jemaah diperkirakan turun 20–30 persen. Secara politik, ini revolusioner. Dan secara simbolik, ini pernyataan kedaulatan: ibadah iya, tapi jangan diperas.
Maka tak heran, ketika Sekretaris Jenderal Liga Muslim Dunia, Syekh Muhammad bin Abdul Karim Al-Issa, diterima Prabowo di Istana Merdeka pada 4 Desember 2025, pertemuan itu terasa seperti deklarasi.
Dukungan terbuka Liga Muslim Dunia terhadap rencana Kampung Haji membuat peta pemain berubah total. Ini sinyal keras bagi syarikah lama: era bermain sendiri sudah selesai. Pada titik ini, isu haji bukan lagi soal logistik atau manajemen kerumunan.
Ini tentang peralihan kekuasaan. Dari jaringan usaha tertutup ke negara yang menuntut akuntabilitas. Dari sistem lama yang nyaman tapi mahal, ke sistem baru yang transparan tapi menyakitkan bagi para penikmat rente.
Teknologi membuka pintu, keberanian politik mendorongnya, dan publik akhirnya bisa melihat apa yang selama ini tersembunyi. Ironisnya, justru di sektor yang paling sering bicara surga, praktik duniawinya paling keras kepala.
Tapi mungkin memang begitu hukum sejarah: yang sakral sering kali butuh guncangan paling profan agar kembali ke tujuan awalnya. Dan kali ini, disrupsi bukan akhir ibadah. Ia justru menjadi awal pemurnian.
Angka-angka yang selama ini bikin pusing berubah menjadi bahan renungan dan pencarian hikmah. Tragedi rente menjelma hikmah tata kelola. Kehilangan kuasa bagi kartel menjadi kegembiraan bagi jutaan jemaah.
Ternyata, jalan menuju Baitullah bukan hanya soal niat dan doa, tapi juga soal keberanian membongkar sistem. Dan untuk pertama kalinya, kita menyaksikan bahwa akhir sebuah kartel bisa menjadi awal keadilan dalam ibadah.
*Cak AT adalah Ahmadie Thaha. Pengasuh Ma’had Tadabbur al-Qur’an.





































