SURABAYA | duta.co – Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Timur akan mengupayakan modifikasi kebijakan untuk mencari jalan tengah polemik aturan baru yang dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

“Dalam waktu dekat, kami segera berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan untuk mengupayakan modifikasi kebijakan pengurangan tiga jaminan kesehatan sesuai kebutuhan layanan kesehatan di Jawa Timur. Prinsipnya, pengobatan yang efektif kepada masyarakat harus tetap diberikan, baru bicara efisiensi pembiayaan,” kata Kepala Dinkes Provinsi Jawa Timur, Kohar Hari Santoso, Rabu, (8/8).

Ia mencontohkan soal kebijakan pemisahan jaminan kelahiran bayi dan bayi yang mengalami gangguan kesehatan, hal tersebut perlu hati-hati dalam penerapannya. Ada bayi yang lahir tidak perlu pertolongan ada pula yang lahir normal tiba-tiba perlu pertolongan.

“Kalau dibatasi, ini akan membuat orang tua enggan untuk datang. Ini juga akan menimbulkan risiko. Karenanya kami akan memantau terus, sampai sejauh mana dampaknya,” terang Kohar.

Angka Kematian Bayi Masih Tinggi

Lebih lanjut, ia mengungkapkan angka kematian bayi di Jawa Timur, berdasarkan data BPS 2016 lalu, relatif masih tinggi yaitu mencapai 23,6 bayi dari 1.000 kelahiran hidup. Menurutnya, pembatasan rehabilitasi medik BPJS yang menerapkan maksimal 2 kali seminggu juga perlu ada pemilahan sesuai kasus yang dialami oleh penerima layanan.

Lebih lanjut, Kohar menyebut layanan penyakit katarak di fasilitas kesehatan masuk dalam tiga aturan pembatasan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan. Untuk itu, Dinkes Jatim berkoordinasi dengan pihak pemberi pelayanan, rumah sakit-rumah sakit, Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami), dan pihak terkait lainnya soal penanganan katarak pascaberlakunya kebijakan BPJS Kesehatan.

“Kami perlu mengukur kapasitas kemampuan pelayanan ini seberapa, jangan sampai menyebabkan gangguan. Kalau laporannya, sih, sejauh ini masih bisa dilakukan dengan baik,” terangnya.

Secara khusus, Kohar menyoroti beberapa kriteria pengurangan jaminan kesehatan BPJS. Dia menganggap, kriteria visus sebagai penilaian perlu tidaknya operasi katarak terlalu relatif. “Visus itu relatif. Karena orang-orang tertentu, kabur sedikit saja harus dioperasi. Tapi ada orang yang pekerjaannya tidak terlalu detail menggunakan mata, bisa dimaklumi,” tandasnya.

Sebagai infotmasi, BPJS Kesehatan mengeluarkan Perdirjampelkes Nomor 2, 3, dan 5 Tahun 2018 yang membatasi layanan penyakit katarak, persalinan bayi lahir sehat dan rehabilitasi medik. Pemangkasan tiga jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan ini dilakukan karena BPJS menyebutkan badannya mengalami defisit anggaran mencapai Rp7 triliun. (zal)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry