Supangat, Ph.D., ITIL., COBIT., CLA., CISA  Wakil Rektor II Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
JIKA pada seri pertama Society 5.0 dipertanyakan sebagai janji utopis atau sekadar reality show tentang nasib manusia, maka pada titik ini pertanyaan menjadi lebih konkret.

Pertanyaannya adalah apakah teknologi benar-benar membebaskan manusia, atau justru membangun bentuk penjajahan baru yang lebih halus dan sistematis?

Society 5.0 menempatkan Artificial Intelligence (AI), big data, dan Internet of Things sebagai instrumen utama untuk meningkatkan kualitas hidup. Teknologi dijanjikan mampu mempercepat layanan publik, meningkatkan efisiensi ekonomi, serta membantu pengambilan keputusan berbasis data.

Namun, berbagai kajian menunjukkan bahwa teknologi tidak pernah sepenuhnya netral. Cara ia dirancang, diterapkan, dan dikendalikan sangat menentukan apakah ia menjadi alat pembebasan atau justru alat dominasi.

Ketika Algoritma Mengambil Alih Peran Manusia

Dalam praktiknya, teknologi kini tidak lagi sekadar membantu manusia bekerja, tetapi mulai mengatur cara manusia hidup dan diperlakukan. Algoritma digunakan untuk menilai kelayakan bantuan sosial, menentukan akses layanan, hingga menyaring peluang kerja.

Sejumlah kajian tentang penerapan AI dalam sistem informasi menunjukkan bahwa keputusan berbasis algoritma kerap mengabaikan konteks sosial dan kemanusiaan yang tidak dapat direduksi menjadi data semata.

Efisiensi memang meningkat, tetapi ada harga yang harus dibayar, yaitu manusia perlahan direduksi menjadi profil data, skor, dan prediksi. Dalam kondisi seperti ini, Society 5.0 menghadapi paradoks serius. Teknologi yang dijanjikan memanusiakan justru berpotensi mengikis empati, diskresi, dan keadilan substantif.

Ketimpangan Digital yang Tak Bisa Disangkal

Janji bahwa teknologi akan membuka akses yang setara bagi semua masih berhadapan dengan realitas ketimpangan digital. Berbagai studi tentang transformasi digital di Indonesia menunjukkan bahwa akses internet dan literasi teknologi masih sangat bervariasi antarwilayah dan kelompok sosial. Mereka yang memiliki infrastruktur, pendidikan, dan modal digital akan melaju lebih cepat, sementara kelompok lain tertinggal di belakang.

Dalam konteks ini, teknologi tidak otomatis memperkecil kesenjangan. Tanpa kebijakan yang inklusif, ia justru memperlebar jurang sosial. Society 5.0 berisiko menjadi proyek yang menguntungkan mereka yang sudah siap secara digital, sementara kelompok rentan hanya menjadi penonton dari narasi kemajuan yang tidak sepenuhnya mereka rasakan.

Efisiensi yang Mengorbankan Kemanusiaan

Etika teknologi menegaskan bahwa orientasi berlebihan pada efisiensi dapat menggeser nilai-nilai kemanusiaan. Ketika kecepatan dan akurasi algoritma dijadikan ukuran utama, pertimbangan moral, keadilan, dan empati sering kali dikesampingkan. Padahal, teknologi seharusnya memperkuat nilai-nilai tersebut, bukan menggantikannya.

Di sinilah risiko Society 5.0 menjadi nyata. Kita mungkin menciptakan masyarakat yang semakin “pintar” secara teknis, tetapi kehilangan kepekaan sosial. Masyarakat yang serba terhubung, tetapi relasi antar manusianya semakin impersonal.

Jika ini terjadi, maka teknologi tidak lagi berperan sebagai penyelamat, melainkan penjajah dalam bentuk baru, menguasai ruang keputusan manusia melalui sistem yang tidak selalu transparan dan akuntabel.

Menjaga Teknologi Tetap Berpihak pada Manusia

Teknologi pada dasarnya bukan ancaman. Ia memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan, memperluas akses pendidikan, dan memperbaiki layanan publik. Namun potensi ini hanya akan terwujud jika manusia tetap menjadi pusat kendali, bukan sekadar objek dari sistem digital.

Di sinilah peran pendidikan dan perguruan tinggi menjadi krusial. Kampus tidak cukup hanya mencetak talenta digital yang mahir secara teknis, tetapi juga harus melahirkan insan yang kritis terhadap implikasi sosial dan etika teknologi.

Masyarakat sipil pun perlu terlibat aktif dalam mengawasi arah digitalisasi agar teknologi benar-benar berpihak pada kepentingan publik.

Society 5.0 akan menjadi penyelamat jika teknologi dijalankan dengan kesadaran etis dan keadilan sosial. Namun tanpa refleksi kritis, ia berpotensi berubah menjadi penjajahan baru, bukan melalui kekerasan fisik, melainkan melalui data, algoritma, dan sistem yang perlahan mengambil alih otonomi manusia.

Pada akhirnya, pertanyaan terpenting bukanlah seberapa canggih teknologi yang kita miliki, melainkan seberapa bijak kita menggunakannya untuk menjaga martabat dan kemanusiaan manusia itu sendiri. *

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry