“Kasus Frist Travel bukanlah pampasan perang. Bukan ghonimah yang mesti dibagi-bagi untuk membangun kekuatan. Jamaah Frist Travel adalah rakyat biasa yang, harus dilindungi, harus dijunjung tinggi hak-haknya.”
Oleh : Dr Moh Mukhrojin, SPdI, SH, MSi*

INI namanya ‘Sudah Jatuh Ditimpa Tangga’. Bukan tertimpa tangga. Kasihan. Itulah nasib jamaah umroh Frist Travel. Dan mereka ini kebanyakan orang desa, berasal dari lorong lorong kampung, mereka menyisihkan rupiah demi rupiah untuk bisa berangkat umroh. Hasil akhirnya sungguh mengenaskan. Usai persidangan uang dirampas negara.

Padahal, negara yang dalam hal ini tidak mengalami kerugian sepeserpun. Sungguh aneh dunia ini. Paradigma berfikir penegak hukum negeri ini, sulit dinalar. Seperti dilansir Warta kota, majelis hakim berpandangan untuk mencegah terjadinya ketidakpastian hukum terhadap barang bukti tersebut, maka adil dan patut apabila barang bukti 1-529 dirampas negara.

Majelis Hakim tampak tidak mau repot, sehingga pekerjaanya cepat selesai. Disisi lain ada 72.682 orang yang menjadi korban ingin uang dari hasil sitaan kembali, syukur bisa pergi umroh melalui travel lain.

Mestinya negara melindungi rakyatnya yang menjadi korban, bukan malah menjadi tambahan masalah. Dalam pandangan akhir Majelis Terhormat ini, mestinya menjadi angin segar bagi ribuan jamaah Frist Travel yang terdholimi.

Pandangan akhir dalam suatu persidangan dibuat untuk memastikan materi sidang yang akan disepakati sebagai keputusan yang mencerminkan visi-misi peserta sidang. Karenanya masyarakat sipil yang memperjuangkan hak haknya harus berikhtiar memilih beberapa orang yang dianggap mampu untuk menjadi anggota sidang, karenanya sedikit saja lengah, bisa terbalik alur berfikirnya.

Dalam sejarah Islam diceritakan, usai perang badar Nabi bersidang untuk menentukan perlakuan yang tepat bagi tahanan perang. Kemudian beliau menampung pandangan akhir dari peserta sidang yang diikuti antara lain Abu Bakar Ashidiq ra dan Umar bin Khothob ra.

Pandangan akhir Abu Bakar ra adalah memetakan kapasitas pribadi masing masing tahanan, bagi yang kaya diminta membayar tebusan, supaya dana yang terkumpul bisa membantu likuiditas Negara.

Bagi yang berilmu diminta untuk mengajar dan bagi yang hanya punya tenaga diperintahkan untuk menyumbangkan tenaganya, membangun infra struktur Negara. Pandangan ini rasional namun, memerlukan waktu yang agak lama.

Bukan Ghonimah

Berbeda dengan pandangan akhir Umar bin Khothob ra yang menyatakan bahwa semua tahanan dieksekusi karena sudah menimbulkan pertumpahan darah, pandangan ini cepat selesai dan tidak membutuhkan banyak waktu.

Dari kedua pandangan akhir di atas Nabi saw lebih memilih pandangan Abu Bakar, karena lebih rasional dan lebih manusiawi, menjunjung tinggi nilai-nilai Agama Islam yaitu Rahmatal Lil Alamin.

Kembali pada Kasus Frist Travel, sepertinya Majelis Hakim mengikuti Pandangan Umar Bin Khothob ra yang ingin cepat cepat selesai pekerjaanya, namun di balik itu semua akan panjang urusanya, karena ingat, pekerjaan kita tidak di dunia saja, tetapi, dituntut di Alam Akhirat Kelak.

Apalagi, kasus Frist Travel bukanlah pampasan perang. Bukan ghonimah yang mesti dibagi-bagi untuk membangun kekuatan. Jamaah Frist Travel adalah rakyat biasa yang, harus dilindungi, harus dijunjung tinggi hak-haknya. Kalau pengadilan sudah tidak peduli, lalu kepada siapa mereka mengadu? Astaghfirullah! Semoga pemutus keadilan ini masih punya urat takut kepada Allah swt. Amin.

*Pengasuh Pondok Pesantren Bismar Almustaqim