(Dr Syarif - Kiri) Bersama dokter David Saputro. (FT/IST)
“Dengan raut wajah tegang, dr. David, berkata: “Maaf Pak Syarif, ayo kita waspadai lagi satu-persatu jemaah haji resiko tinggi, berpotensi meninggal sebelum pulang ke tanah air. Saya malu, kalau sampai ada jemaah meninggal lagi. Cukup dua, jangan sampai bertambah.”
Oleh Syarif Thayib*

PERSEPSI petugas Kloter dari Medis (dokter dan perawat) dengan pembimbing ibadah dan ketua Kloter tentang kematian Jemaah haji berbeda. Jika ada Jemaah meninggal di Kloter, maka tim Medis Kloter pasti akan mendapat “teguran keras” dari atasan mereka di KKHI (klinik kesehatan haji Indonesia) hingga Kementerian Kesehatan RI, karena salah satu “indikator sukses” mereka adalah nol kematian di setiap Kloter.

Berbeda dengan petugas haji dari unsur pembimbing ibadah dan Ketua Kloter, kematian adalah takdir yang tidak bisa dilawan dengan (ikhtiar) apapun. Ia adalah keniscayaan dari rahasia Tuhan. Maka ketika ada Jemaah haji meninggal, pembimbing ibadah maupun ketua Kloter hanya bisa pasrah (tawakkal), kemudian menuntaskan tugas pendampingan memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan ikut mengantarnya ke pemakaman, tanpa diliputi rasa takut berlebihan ditegur senior atau atasan.

Suatu ketika dokter Kloter 95 Surabaya yang penulis pimpin bertanya tentang berapa jumlah Jemaah haji meninggal pada saat penulis bertugas Haji 2017 lalu. Maka penulis pun memberi tahu bahwa ketika itu jumlah yang meninggal ada 3 jemaah. Satu meninggal di KKHI, satu di Hotel Makkah, satu lagi saat di tenda Arofah. Semuanya karena sakit.

Dengan raut wajah tegang, dr. David, demikian nama dokter Kloter kami berkata pada penulis: “Maaf pak Syarif, ayo kita waspadai lagi satu-persatu Jemaah haji Resti (resiko tinggi) yang berpotensi meninggal sebelum pulang ke tanah air. Saya malu, kalau sampai Jemaah haji Kloter kita ada yang meninggal lagi. Cukup dua saja yang sudah terlanjur meninggal, jangan sampai bertambah.”

Penulis tercengang mendengarnya. Tanpa ragu penulis sampaikan pada dokter asal Nganjuk itu, bahwa penulis siap mendampingi room visit (kunjungan ke kamar-kamar Jemaah Resti dan Lansia) yang sehari bisa tiga sampai lima kali kunjungan bersama Tim medis. Bahkan penulis berjanji lebih intens lagi memberikan layanan terapi SEFT (spiritual emotional freedom technique) yang penulis kuasai untuk melengkapi ikhtiar penyembuhan medis.

SEFT sendiri merupakan metode terapi mirip akupunktur. Bedanya, akupunktur menstimulasi “kerja” meridian tubuh dengan jarum, sedangkan SEFT dengan jari. Plus doa dan spiritual yang terbukti efektif dalam ikhtiar penyembuhan.

Kemudian dr. David berbisik kepada penulis, bahwa ada satu Jemaah haji yang potensi meninggalnya (secara medis) tinggal hitungan hari. Artinya, Jemaah tersebut bakal meninggal sebelum tanggal pulang ke tanah air. Indikasinya sangat kuat. Makin hari, kondisinya terus memburuk. Awalnya bisa berjalan sendiri ke toilet, namun sekarang, ia hanya bisa telentang di atas ranjang. Nyaris tidak bisa duduk normal sama sekali. Sayangnya, dr. David merahasiakan nama penyakit yang bersangkutan kepada penulis.

Prediksinya kemudian menjadi kenyataan. H-1 jadwal kepulangan ke tanah air, Jemaah tersebut dinyatakan tidak laik terbang oleh KKHI, dan disarankan untuk pulang bersama Kloter terakhir (21 Juli 2024).

Maka suasana batin Jemaah pun menjadi “rumit”. Mayoritas dari mereka tidak berani menampakkan keceriaan menyambut jadwal kepulangan, karena empati pada satu Jemaah haji yang ditunda kepulangannya dengan alasan kesehatan.

Namun bertepatan adzan Maghrib, atau 7 (tujuh) jam sebelum check out dari hotel Madinah (18 Juli 2024) ada kabar mengejutkan, bahwa Jemaah yang tidak laik terbang tersebut dinyatakan “boleh” pulang sesuai jadwal kepulangan Kloter 95. Sontak ucapan Alhamdulillah bersahutan di WhatsApp Group Kloter 95.

Penulis terus memperhatikan raut wajah dr. David yang tetap dingin. Baginya, ini adalah tantangan, bagaimana menjaga kondisi (pasien) yang baru saja membaik untuk kemudian menjalani perjalanan panjang 10 jam di atas pesawat.

“Tolong, sering dibantu taping (totok) pakai SEFT ya pak Syarif. Jujur, saya nervous.” Bisiknya pelan pada penulis.

Dr Syarif saat melakukan terapi SEFT di ruang KKHI Madinah. (FT.IST)

Kejutan Pasien Baru Full Infus

Saat semua Jemaah haji sudah duduk di dalam pesawat yang terbang dari Bandara Internasional Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA) baru berjalan 30 menit, tiba-tiba dr. David memberitahu penulis, bahwa ada Jemaah haji yang duduk di kursi bagian belakang mendadak muntah-muntah. Tensinya drop 70/40. Solusinya harus diinfus supaya kondisinya tidak makin memburuk.

Beruntung dr. David dan dua perawat Kloter masih menyimpan 3 kantong infus. Satu ukuran besar (500 cc) dan empat ukuran kecil (250 cc). Berarti total ada 1500 cc.

Kalau sepanjang penerbangan kurang lebihnya 10 (sepuluh) jam, maka setidaknya dibutuhkan persediaan total 2000 cc cairan infus (intravenous fluid). Lalu dari mana mendapatkan infus sisanya?

Inilah yang menjadi awal ketegangan tim medis Kloter. Apalagi kalau kondisi udara dalam pesawat pas naik turun tidak stabil, tetesan cairan infus bakal mandeg, darah pun mengalir dari selang infus pasien.

Penulis juga ikut tegang. Bayangan detik-detik kematian almarhum Ayah tahun 2005 silam kembali muncul. Biasanya awal kematian seseorang salah satunya ditandai dengan tensi darahnya yang sangat rendah (drop). Pasien sudah tidak mau makan dan minum sama sekali. Maka tanpa bantuan infus, pastilah kondisi pasien akan makin melemah, sebelum kemudian meninggal.

Segera dan sebisanya penulis membangun semangat optimisme pada Tim Medis Kloter. Sisa ikhtiar kita tinggal doa, semoga tidak sampai 1500 cc habis, pasien (Jemaah haji) tersebut sudah mau makan – minum, sehingga kondisi tubuh dan tensinya kembali normal.

Untuk memudahkan penanganan, maka pasien tersebut langsung penulis papah pindah ke kursi depan atau di Business Class kumpul pasien Resti lainnya. Disini, mereka bisa tidur telentang nyaman. Kantong infus darurat pun bergelantung dengan tali rafia yang dijepitkan pada penutup laci kabin atas. Seorang pramugari senior sempat “risih” dan menanyakan banyak hal tentang mengapa ada Jemaah dikasih infus segala.

Setelah diberi penjelasan, sang pramugari akhirnya paham dan memaklumi. Sejurus kemudian, ia memberi stok (simpanan) 1 kantong infus kecil yang berisi 250 cc, sehingga total ada 1750 cc dari kebutuhan minimal 2000 cc cairan infus pasien tersebut.

Karena stok infus belum aman, maka semua petugas Kloter terus waspada. Nyaris sepanjang perjalanan dari bandara AMMA Madinah ke bandara Juanda Surabaya, kami berlima tidak ada yang tidur. Semuanya bergantian memantau pasien di kursi Business Class.

Dr. David terus melakukan “penghitungan ulang” terkait kebutuhan cairan infus, sambil mengawasi pasien pertama yang terkulai di kursi yang sebelumnya dinyatakan tidak laik terbang. Untungnya, pasien ini masih mau makan – minum, sehingga tidak membutuhkan infus.

Penulis sendiri terus melakukan ketukan ringan (metode SEFT) pada beberapa bagian tangan kiri pasien tensi rendah untuk menstimulasi energi meridiannya, karena tangan kanannya ada selang infus. Juga touch therapy (terapi sentuhan) sebagai perlindungan dan kenyamanan pasien, bahwa dia tidak sedang “sendiri”. Bagaimanapun, keberadaan sentuhan orang sehat yang dia kenal disampingnya menambah “kekuatan” mempercepat kesembuhan.

Pembimbing ibadah dan dua perawat Kloter pun mondar-mandir ke kursi depan dan belakang untuk memeriksa selang infus dan menyapa ramah, menyemangati Jemaah haji lain tetap sehat dan bahagia menjalani perjalanan panjang.

Begitu pesawat mendarat sempurna di Bandara Juanda, infus pun habis. Penulis melihat kesigapan Tim Medis Bandara yang langsung membantu penanganan paripurna kepada pasien di barisan depan (business class), menambah infus dan seterusnya, sebelum kemudian mengevakuasinya langsung dengan ambulance khusus yang siaga di pintu darurat pesawat.

Plong rasanya, meski total jumlah Jemaah haji Lansia, Disabel, dan Resti Kloter 95 SUB 2024 ini lebih banyak dibandingkan Kloter 6 SUB 2017 yang sama-sama penulis pimpin, tetapi angka kematian Jemaah 2024 lebih rendah, hanya 2 jemaah. Padahal di Kloter 6 SUB 2017 sebelumnya, ada 3 jemaah.

Bahkan secara nasional pun tingkat kematian Jemaah 2024 berhasil ditekan. Tahun ini, Jemaah haji yang meninggal ada 455 dari total 213.320 jemaah, padahal di tahun sebelumnya ada 764 dari total 203.320 jemaah. Angka ini berdasarkan data yang diunggah di laman Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Kementerian Agama RI, seperti dikutip pada Sabtu (20 Juli 2024) pukul 13.00 WIB atau 09.00 WAS, sehari setelah penulis tiba di Surabaya. (*)

*Syarif Thayib adalah Dosen UINSA, Co-Founder SEFT, PPIH Kloter 95 Surabaya

 

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry