“Ini jelas bukan kerja setahun, bukan pula hasil seremoni, tapi buah dari komitmen jangka panjang dan kepemimpinan yang hadir, mendengar, dan bekerja bersama rakyatnya.”
Oleh: Dr H ROMADLON, MM*

LANGKAH Gubernur Khofifah mendampingi Wapres Gibran dalam panen dan tanam tebu di Banyuwangi bukan semata agenda protokoler, melainkan strategi politik pangan yang terukur dan penuh visi kenegaraan.

Di tengah meningkatnya volatilitas harga komoditas global dan tekanan geopolitik yang mengganggu rantai pasok, Jawa Timur justru menawarkan stabilitas dan kemandirian melalui kekuatan agrikultur rakyatnya.

Ini bukan hanya tentang keberhasilan produksi, tapi juga tentang kedaulatan ekonomi yang bertumpu pada tanah sendiri dan tangan petani sendiri—sebuah tafsir nyata dari sila kelima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lebih jauh, jika dibaca dalam kerangka spiritualitas kebangsaan, peristiwa ini adalah ijtihad kolektif untuk menghidupkan barokah tanah air. Dalam Islam, tanah yang ditanami dan hasilnya memberi manfaat bagi umat disebut sebagai sadaqah jariyah.

Maka ketika Jawa Timur menanam tebu, sesungguhnya ia tengah menanam keberkahan untuk bangsa. Swasembada gula bukan hanya agenda ekonomi, tapi ikhtiar moral untuk berdikari dan memuliakan hasil bumi sendiri. Dan dalam perspektif ilmiah populer, inilah bukti bahwa pertanian bukan warisan masa lalu, melainkan teknologi masa depan—di mana bioteknologi, sistem keuangan mikro, dan energi terbarukan berpadu dalam satu ekosistem yang strategis dan berkelanjutan.

Oleh karenanya, di tengah hamparan kebun tebu Jolondoro, Banyuwangi, pagi itu matahari belum tinggi ketika Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menancapkan bibit tebu ke tanah.

Gerakan sederhana itu menyimpan pesan monumental: swasembada gula bukan lagi sekadar impian, tapi keniscayaan yang sedang dikerjakan dengan sungguh-sungguh—dan Jawa Timur berada di garis depan perjuangan ini. Dengan kontribusi 51,87 persen dari total produksi gula nasional, sejatinya Jawa Timur telah menjadi tulang punggung ketahanan pangan negeri. Kini, babak baru telah dimulai: dari kebun rakyat menuju lumbung energi dan masa depan bangsa.

Di tengah krisis pangan global dan ketergantungan Indonesia pada impor gula selama bertahun-tahun, satu provinsi tampil sebagai pengecualian sekaligus harapan: Jawa Timur. Tak banyak yang menyadari bahwa lebih dari separuh gula yang dikonsumsi masyarakat Indonesia berasal dari kebun-kebun rakyat di tanah Jawa Timur. Dengan kontribusi mencengangkan sebesar 51,87 persen dari total produksi gula nasional, provinsi ini bukan hanya penyangga utama, tapi sesungguhnya telah menjadi jantung produksi gula Indonesia.

Senin pagi, 23 Juni 2025, di hamparan hijau Kebun Tebu Jolondoro, Banyuwangi, momen bersejarah terjadi. Di sana, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menanam sekaligus memanen tebu, bukan sekadar simbol seremoni, tapi pernyataan sikap: bahwa swasembada gula nasional bukan angan-angan, melainkan proses nyata yang sedang dituntaskan dari Jawa Timur. Di hadapan para petani, menteri, dan pemangku kepentingan, lahir komitmen kolektif untuk mengakhiri ketergantungan impor dan berdiri di atas kekuatan pangan bangsa sendiri.

Apa yang terjadi di Jolondoro bukan peristiwa biasa. Ini adalah babak baru dalam sejarah ketahanan pangan Indonesia. Dari produktivitas yang terus meningkat, inovasi pembiayaan yang berpihak pada petani, hingga hilirisasi menuju energi bersih—semua bertemu di satu titik simpul: Jawa Timur telah memimpin jalan menuju kemandirian dan kedaulatan pangan nasional. Dan ketika negara hadir langsung di lahan pertanian, bukan dari balik meja rapat, maka jelas: ini bukan lagi soal produksi gula, ini adalah soal masa depan bangsa.

Tebu: Jejak Manis dalam Sejarah, Harapan dalam Tantangan

Gula bukan sekadar komoditas; ia adalah denyut ekonomi rumah tangga, bahan baku industri, sekaligus simbol kemandirian pangan. Namun selama bertahun-tahun, Indonesia masih menggantungkan pasokan gulanya dari luar negeri. Ironis, mengingat kita memiliki tanah tropis yang subur dan tradisi pertanian yang kuat.

Tapi di Jawa Timur, narasi itu mulai dibalik. Data dari Kementerian Pertanian tahun 2024 mencatat bahwa provinsi ini menghasilkan 1.278.923 ton gula kristal putih dari 16,69 juta ton tebu yang digiling, atau 51,87 persen dari total produksi gula nasional. Bukan sekadar dominan, ini adalah tonggak nyata dalam peta pangan nasional.

“Kami tidak lagi bicara mimpi swasembada. Kami sedang menuliskannya,” tegas Khofifah dalam acara panen dan tanam tebu di Jolondoro, Banyuwangi.

Lahan Jolondoro seluas 405 hektare yang menjadi lokasi acara hari itu menggunakan dua varietas tebu unggulan: BL dan HMW. Keduanya terkenal adaptif dan memiliki produktivitas tinggi, dengan target 106 ton per hektare. Dan ini bukan pengecualian. Pada 2025, Jatim menargetkan panen tebu mencapai 18,77 juta ton dengan rendemen 7,76%, menghasilkan tak kurang dari 1.457.900 ton gula—lonjakan signifikan dari tahun sebelumnya.

Dari Ladang ke Laboratorium

Apa rahasia lonjakan ini? Jawabannya terletak pada ekosistem yang dibangun dengan keseriusan negara dan daerah. Pemprov Jatim tak hanya mengandalkan produktivitas alam, tetapi juga ekosistem finansial dan teknologi yang menopang pertanian modern.

Melalui program KURsus Tebu Rakyat yang diluncurkan bersama Bank Jatim dan SGN (Sinergi Gula Nusantara), petani mendapatkan akses pembiayaan dengan bunga tetap 6%. Program ini menyasar peremajaan lahan tebu yang sudah berusia lebih dari 25 tahun dan mendorong adopsi varietas unggul. Targetnya jelas: menaikkan rendemen dari 7% menjadi 8-9%. Di balik angka-angka itu, ada perubahan besar: dari petani sebagai pekerja menjadi pelaku usaha pangan yang mandiri dan bermartabat.

“Petani tebu harus naik kelas,” ujar Khofifah. “Bukan hanya sebagai penyuplai bahan baku, tapi bagian dari pelaku ekonomi strategis bangsa.”

Langkah lebih lanjut adalah hilirisasi. Di sinilah Jawa Timur mulai memainkan peran global. Komoditas tebu tidak hanya menghasilkan gula, tapi juga membuka jalan bagi bioetanol—energi terbarukan yang sejalan dengan agenda net zero emission dan ekonomi hijau. Hilirisasi ini bukan hanya soal efisiensi industri, tetapi juga transformasi peran petani dan desa dalam peta energi masa depan.

Energi Kebijakan dan Kesaksian Negara

Berikut adalah pengembangan narasi tersebut agar lebih jelas, tegas, menarik perhatian, dan komprehensif, dengan memperkuat sudut pandang politis, strategis, dan emosional:

Kehadiran Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam panen dan tanam tebu di Jolondoro bukan sekadar seremonial atau basa-basi kekuasaan. Ini adalah bentuk political will tertinggi—sebuah pengakuan langsung dari negara terhadap keberhasilan ekosistem pangan yang dibangun oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Di hadapan ribuan petani dan pelaku usaha tani, Wapres menyaksikan langsung bagaimana kerja-kerja konkrit di level daerah bisa menjawab problem struktural nasional: ketergantungan pada impor gula. “Tolong segera atasi semua persoalan mekanisasi di lapangan,” tegas Gibran. “Swasembada pangan tidak bisa ditunda. Tahun 2026 harus tercapai.”

Pernyataan itu bukan sekadar target administratif, tetapi mandat sejarah. Dan Jawa Timur membuktikan diri sebagai provinsi yang tidak hanya siap, tapi telah menjalankan peran itu dengan presisi. Dengan 29 pabrik gula yang aktif di 16 kabupaten/kota—dari Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso di kawasan Tapal Kuda, hingga Madiun, Kediri, Blitar dan Tulungagung di wilayah Mataraman—Jawa Timur bukan hanya center of production, tetapi juga epicentrum inovasi dan regenerasi sektor pangan nasional. Inilah alasan mengapa Jawa Timur patut menyandang predikat Gerbang Baru Nusantara: karena dari sinilah *masa depan pangan Indonesia dirancang, ditanam, dan dipanen bersama rakyat.

Refleksi: Swasembada Dimulai dari Kepercayaan

Di bawah langit Banyuwangi yang membakar semangat, tanam dan panen tebu tak lagi sekadar aktivitas agraris—ia menjelma menjadi ritual kebangsaan. Di sanalah, harapan ditanam di atas tanah subur, dan hasil panen menjadi penegas bahwa *kemerdekaan pangan bukanlah utopia, melainkan keniscayaan yang bisa dicapai jika negara mempercayai rakyatnya*. Di tengah perubahan iklim, tekanan geopolitik, dan fluktuasi global, petani Indonesia membuktikan bahwa mereka bukan beban pembangunan, melainkan penjaga martabat negeri.

Jawa Timur telah membuktikan bahwa kepercayaan yang dibangun di atas strategi, sinergi, dan kepemimpinan yang hadir di lapangan mampu menghasilkan capaian luar biasa. Dengan kontribusi lebih dari 51,87% produksi gula nasional, komitmen pada hilirisasi bioetanol, dan dukungan pembiayaan berbasis klaster, provinsi ini telah menanam lebih dari tebu— ia menanam kepercayaan, menumbuhkan kemandirian, dan memanen harga diri bangsa.

Maka meski secara administratif swasembada gula nasional mungkin belum disahkan, secara substansi Jawa Timur telah mewujudkannya lebih awal. Dan ketika Wakil Presiden serta Menteri Pertanian menyaksikan itu dari dekat, sesungguhnya mereka sedang mencatat satu bab penting dalam sejarah pangan Indonesia: bahwa kekuatan sejati bangsa ini bukan terletak pada impor dan retorika, melainkan pada tanahnya sendiri dan rakyat yang dipercaya untuk mengelolanya.

Penutup dan Kesimpulan

Jika sejarah agraria Indonesia ditulis ulang, maka momentum di Jolondoro, Banyuwangi, akan tercatat sebagai satu bab emas yang sarat makna: tentang seorang pemimpin perempuan yang memelopori ketahanan pangan berbasis rakyat, tentang petani yang tak lagi diposisikan di pinggiran, dan tentang negara yang kembali ke akar kekuatannya—tanah dan manusia Indonesia. Dari ladang yang dulu dianggap biasa, kini tumbuh narasi luar biasa: bahwa ketahanan pangan dimulai bukan dari gudang penyimpanan atau jalur impor, tapi dari kepercayaan negara kepada petaninya sendiri.

Lebih dari sekadar produksi gula, Jawa Timur di bawah kepemimpinan Khofifah Indar Parawansa telah menjadikan ekosistem tebu sebagai pilar ekonomi strategis yang berkelanjutan—dengan integrasi sektor hulu hingga hilir, inovasi teknologi, skema pembiayaan yang berpihak, dan visi transisi energi melalui bioetanol. Ini bukan kerja setahun, bukan pula hasil seremoni, tapi buah dari komitmen jangka panjang dan kepemimpinan yang hadir, mendengar, dan bekerja bersama rakyatnya. Dan ketika kesaksian Wakil Presiden serta Menteri Pertanian hadir di tengah ladang, itu adalah bentuk legitimasi nasional terhadap arah perubahan yang nyata.

Karena sejatinya, setiap batang tebu yang tumbuh di tanah Jawa Timur adalah simbol perlawanan terhadap ketergantungan dan ketidakadilan struktural. Ia tumbuh membawa pesan: bangsa ini bisa mandiri jika diberi ruang untuk bertani dengan bermartabat, berdaulat atas tanahnya, dan percaya pada dirinya sendiri. Dari Jolondoro untuk Nusantara, Jawa Timur tidak hanya menanam tebu—ia sedang menanam fondasi peradaban pangan Indonesia yang kuat, adil, dan berkelanjutan. Dan jika masa depan dimulai hari ini, maka dari ladang inilah Indonesia menapakkan langkah pertamanya.(*)

*Dr H ROMADLON, MM adalah Pemerhati Lingkungan dan Pemberdaya SDM Insan Kamila Nusantara.

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry