Oleh: Suparto Wijoyo*

DEMOKRASI tengah memanggil kerumunan yang disemati kedaulatan hingga tampak gagah perkasa. Suaranya dinyatakan sebagai kesetaraan dengan harga yang sama. Kaum ningrat dan rakyat kebanyakan memiliki  atribut sejajar, tidak ada yang lebih menonjol dari barisan yang harus rapi. Bobot-bibit-bebet dinegasikan oleh demokrasi demi menghormati setiap desah nafas. Seluruh anak manusia ditimang sama kedudukannya dalam ruang demokrasi. Kekuasaan diberi pengertian dari mana dia berasal dan akan kembali. Rakyat dijelmakan dalam serbuk biji-bijian yang harganya tanpa mengenal kondisi yang fluktuatif. Rakyat berdaulat dan atas nama itulah demokrasi dikukuhi tanpa ada alibi atau demokrasi memang dijadikan instrumen  menghipnotis rakyat dengan sebutan pemegang kedaulatan yang tidak terperikan harkatnya.

Relasi yang selama ini dikonstruksi dalam figur-figur sesuai dengan tatanan sosial masyarakat diburamkan agar tidak ada jarak di antara mereka meski secara maknawi tampak terang perbedaannya. Tokoh masyarakat hanya dianggap sebagai julukan yang ditampilkan sesuai dengan skenario sang sutradara. Tokoh kampus pun hanya menjadi tokoh karena di mata demokrasi suaranya tidak dapat mewakili seribu pemilih. Dalam lingkup ini antara kesatria dan maling berada pada bilik uji yang berbobot sama di temali timbangan suara. Pada saat coblosan dilakukan secara rahasia sesungguhnya suara pimpinan dan staf tidaklah berbeda. Kuantitas demokrasinya berada pada takaran yang terukur dengan sangat presisif sehingga “guru-murid” itu hanyalah jejak yang hinggap di lubuk moral, bukan pada bejana legalitas demokrasi yang digondeli.

Hari-hari ini semua pemangku demokrasi sedang sibuk mempersiapkan peserta kontestasi untuk diadu dalam gelanggang Pileg yang tengah difasilitasi negara. KPU dibentuk untuk menyelenggarakan pertandingan yang layak tonton dengan pemain yang pilih tanding. Demokrasi pastilah sudah mengalkulasi bahwa semua pemainnya telah siap berlaga dengan aturan yang disepakati bersama. Hiruk-pikuk pekik janji dan doa dukungan diucapkan penuh khusuk yang memendarkan jiwa. Para Caleg berebut untuk memenangkan perlombaan politik yang disediakan regulasinya secara birokratik sangat argumentatif. Tempat bertarung yang sengaja diciptakan atas nama demokrasi yang menghendaki agar suara rakyat, apa pun statusnya adalah sangat penting artinya, berapa pun harganya, harga eceran ataukah harga partai terus diintip.

Semua Caleg pastilah menyiapkan strategi sambil merumuskan visi-misi untuk dapat dihidangkan dengan hangat. Gelegak lanjutan  perpolitikan ini akan terus gemuruh dan betapa ramainya. Genderang Pemilu semakin bergenta-genta untuk menyentakkan hasrat publik. Pemilihan calon anggota legislatif yang acapkali disingkat Caleg sudah mewarnai ruang-ruang komunitas dalam skala yang menggairahkan meski semakin meresahkan. Kesumpekan masyarakat dengan beragam kebutuhan hidup yang tidak terjangkau bertambah berat dengan beban batin melihat banyak baliho dan poster-poter partai yang kibarannya mengingatkan harga sembako, BBM, TDL, dan lainnya yang kian berkibar. Para Caleg dengan enteng memamer dan memajang diri dengan kisaran yang bagaikan air bah untuk mengenang banjir bandang ala Nabi Nuh. Kita dikepung banjir poster dan baliho. Bersiap-siaplah tarik nafas dalam-dalam agar tidak tersedak.

Republik ini sedemikian dahsyatnya menderita gulungan karton dan  kain sablonan dari Sabang sampai Merauke, kelak. Dari Barat ke Timur berjajar-jajar lambang partai dan gambar Caleg. Wajah-wajah mereka menghiasi atau tepatnya menyilaukan panggung perkotaan maupun perdesaan untuk tidak mengatakan menambah beban lingkungan. Tidak ada secela geografis di seluruh nusantara yang luput dari pajangan gambar partai dengan Calegnya. Para pendekar partai dengan segala punokawannya menjadi peminta-minta untuk mendapatkan recehan suara rakyat.

Ya …  saat ini biarkanlah rakyat belajar menentukan pilihannya atas para Caleg yang asyik meminta-minta dukungan dengan cara apa pun dan dimana pun tanpa angpau atau dengan sedekah. Inilah demokrasi itu. Ada pemberi dan ada pula peminta. Hukum ekonomi bukan? Dan para Caleg yang mampu tampil cantik dan ganteng dalam gambar berwarna yang non-sketsatis seyogianya memang tampil elegan dengan beragam “mantra suci” yang diusungnya. Para Caleg mesti dapat tampil perfeksionis dengan ekspektasi yang menjanjikan. Dalam bahasa tertentu para Caleg harus terlihat berbudi luhur lan bowo leksono yang anggun dengan kilatan kerling mata yang menandakan bahwa harapan masa depan akan lebih baik dengan memilihnya.

Simaklah tulisan yang menonjol itu: “Mohon Doa Restu dan Dukungannya”. Para Caleg telah memohon, dan rakyat jualah yang akan mengabulkan atau tidak permohonan itu. Siap-siaplah mendengarkan dendang mantra yang esok waktu akan kian kencang bunyinya. Kini saatnya Caleg-Caleg merancang siasat untuk menjinakkan rakyat. Berhasilkah? Tunggulah.

* Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry