Oleh Imam  Shamsi Ali*

NEW YORK | duta.co –  Pada bagian terdahulu disebutkan bahwa salah satu tujuan penting dari pernikahan adalah agar generasi manusia berkesinambungan. Manusia itu sendiri memang digelari “khalifah”. Dan salah satu arti dari kata khalifah adalah “pergantian” atau “khalf”.
Kata itu misalnya didapatkan pada salah satunya: “fa khalafa min ba’dihim khalfun adho’us sholaah wat taba’us syahawat”. (Lalu mereka digantikan dengan generasi pengganti yang meninggalkan sholat dan mengikut kepada hawa nafsu merek).
Karenanya untuk kelanggengan generasi (generation continuity) Allah menetapkan pernikahan sebagai jalannya. Karena semua makhluk hidup memerlukan proses alami ini (keberlangsungan generasi) maka manusia sebagai makhluk khusus dan mulia memerlukan cara “elegan” dan terhormat dalam prosesnya.
Di sinilah kemudian pernikahan menjadi jalan elegan dan terhormat dalam upaya menjaga generasi manusia. Jika pernikahan tidak lagi menjadi penting maka manusia boleh jadi terjatuh kembali ke dalam jalan “hewani” yang rendah.
Kegagalan manusia dalam melihat kesakralan pernikahan dan elegansi menjaga turunan dengan nikah menjadikan hidup menusia berada dalam lembah kehinaan yang sangat. Hidup serumah alias kumpul kebo, di dunia Barat misalnya, menjadi sesuatu yang tidak lagi dianggap tabu. Bahkan pada tingkatan tertentu oleh mereka dianggap normal dan memiliki nilainya sendiri. Minimal bagi sebagian hidup tanpa ikatan nikah memiliki nilai “kebebasan” (freedom of expression).
Belum lagi jika memasuki dunia hubungan seksual yang tidak alami. Homoseksualitas dan lesbianism menjadi marak, bahkan dianggap life style yang merepresentasi modernitas dan kemajuan. Seolah dengan tumbuhnya dan menguatnya dukungan kepada perkawinan sejenis mmenjadi tanda kemajuan dan modernitas.
Karenanya Islam dengan tegas menjaga nilai-nilai alami pernikahan manusia. Bahwa dalam tabiat (alami) dan sejarah manusia, pernikahan itu akan selamanya terjadi antara Adam dan Hawa. Dengan kata lain, pernikahan itu sejatinya hanya akan terjadi antara pria dan wanita. Dan ini menjadi “konsensus” semua agama dunia.
Dan hanya dengan perkawinan antara Adam dan Hawa (laki dan wanita) inilah yang menjamin tujuan pernikahan bahwa dengannya manusia dapat menjaga keturunannya (preserving human generation).
Tapi bagaimanakah langkah-langkah yang ditunjukkan oleh Islam dalam rangka menjaga keturunan? Tentu kata “menjaga” keturunan bukan sekedar agar tidak punah secara fisik. Sebab jika penjagaan itu hanya dalam hal fisik, hewan juga bisa melakukannya.
Oleh Karenanya menjaga keturunan atau dalam bahasa Al-Quran “wiqaayah” yang berasal dari kata “quu” dalam ayat “quu anfusakum” berarti menjaga keturunan manusia agar tetap lestari sebagai manusia. Yaitu makhluk Allah yang tidak saja sehat secara fisik. Tapi juga tajam secara akal dan sehat secara ruhani (hati).
Lalu langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan dalam upaya menjaga keturunan manusia? Berikut beberapa hal yang mesti menjadi perhatian:
Pertama, carilah lahan yang baik bagi benih pohon itu.
Proses menjaga keturunan itu sejatinya mulai terjadi ketika kedua calon (suami-isteri) mencari calon pasangan hidupnya. Salah memilih akan berakibat fatal dalam proses menjaga keturunan itu.
Dalam sebuah hadits digambarkan bagaimana wanita itu bagaikan lahan bagi benih-benih pohon kehidupan. Artinya sesehat apapun benihnya jika memang lahannya tidak subur maka pohon yang diidamkan itu tidak akan tumbuh sehat, bahkan tidak tumbuh sama sekali.
Tentu sebaliknya sesubur apapun lahannya jika benihnya (calon ayahnya) memang rusak maka pohon itu akan menjadi gersang, bahkan mati awal.
Di sinilah kemudian beberapa hadits menyatukan persyaratan-persyaratan bagi seorang calon isteri dan calon suami. Persyaratan itu ada pada satu kesimpulan. Bahwa persyaratan terutama dalam menentukan “calon” suami atau isteri ada pada “religiousitas” (agama).
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW tegaskan: “wanita itu dinikahi karena empat pertimbangan: kecantikan, harta, keturunan dan agama. Tapi jadikan agama sebagai prioritas niscaya pernikahanmu solid”.
Pada hadits lain disebutkan: “jika datang kepadamu (melamar anakmu) seorang yang engkau ridho dengan agamanya dan akhlaknya maka nikahkanlah. Jika tidak maka akan terjadi kerusakan di atas bumi ini”.
Intinya bahwa proses awal dari persiapan untuk menjaga atau mempersiapkan generasi manusia yang solid (kuat), bukan generasi lembah (dhi’aaf) itu terjadi sejak langkah awal mencari pasangan masing-masing.
Orang tua adalah “madrasah” (sekolah) pertama hidup manusia. Dan pasangan yang tidak peduli agama sangat berat untuk diharapkan menjadi madrasah bagi anak-anaknya. Apalagi kalau memang pasangan itu beda agama.
Di sinilah kemudian basis rasionalnya Kenapa Islam mengingatkan dengan tegas bahwa pernikahan beda agama itu dilarang. “Hamba sahaya yang beriman itu lebih baik dari seorang yang musyrik walau mengagumkanmu”.
Bahkan walaupun Al-Quran membolehkan menikahi wanita-wanita dari kalangan Ahlu Kitab (Nasrani dan Yahudi), Islam memberikan catatan-catatan yang sangat ketat. Semuanya tentu keturunanlah yang menjadi pertimbangan utama.
Perlu digaris bawahi bahwa mencari pasangan yang baik bukan berarti mencari pasangan yang sempurna. Karena mencari kesempurnaan pada manusia pastikan mendekati kemustahilan. Tapi yang dimaksud mencari pasangan terbaik adalah mencari yang “the best among the good” (terbaik dari yang baik-baik). Minimal “the least among the evil” (yang paling kecil keburukannya).
Tapi hal yang paling penting dalam hal ini adalah kemauan kedua calon untuk membangun komtimen “perbaikan” (ishlaah) dalam beragama. Bahwa jika proses mencari pasangan tidak menemukan yang ideal, maka harus ada komitmen untuk memproses diri menjadi lebih baik.
Dengan itu pada masanya ketika Allah mengaruniakan mereka keturunan mereka telah siap menerima “amanah” keturunan itu dari Allah SWT.
Kesimpulannya proses mempersiapkan generasi itu bukan setelah memiliki anak saja. Tidak dimulai ketika anak telah lahir. Tapi justeru dimulai sejak langkah pertama dalam proses membangun keluarga. Yaitu sejak masing-masing mencari calon pasangannya untuk menjalani perjalanan hidup (life journey) itu.
Kedua, persiapkan proses pendidikan itu secara menyeluruh dan sedini mungkin. Pendidikan itu bukan “magic”. Tapi sebuah proses hidup. (Bersambung)
* Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation dan pendiri pesantren pertama di Amerika.
“Saudaraku, ambillah bagian dalam perjalanan dakwah di Amerika dengan berdonasi untuk pembangunan pondok pesantren pertama di bumi Amerika. Boleh melalui website (klik support): https://nusantaraboardingschool.com/
Atau transfer ke:
Bank Mandiri
Rek rupiah : 1240000018185
An. inka nusantara madani”

IMAM SHAMSI ALI

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry