Keterangan Foto (IST)

“Yang menuding bendera tauhid identik dengan ISIS, radikalisme dan terorisme, sudah harus sujud tersungkur tak punya lagi muslihat seperti dukun-dukun Firaun tersungkur di depan Musa.”

Oleh :  Anwar Hudijono*

PERHELATAN Reuni Akbar Alumni 212 di Monas, Minggu (2/12/2018) sudah usai. Sejak awal hingga akhir acara, berlangsung aman dan damai. Ibarat acara selamatan yang sukses, pesertanya pulang dengan senang hati sambil nenteng berkat.

Tuan rumah senang. Tetangga senang. Petugas keamanan senang. Tukang taman senang karena tidak ada sehelaipun rumput yang rusak. Tukang kebersihan juga senang karena peserta sendiri yang memunguti sampah. Yang menikah di Gereja Katedral juga senang, karena tidak terganggu. Pedagang senang karena tidak ada yang ngemplang.

Pokoknya semua senang. Itulah Islam. Karena hakikatnya Islam itu menyenangkan orang lain. Bayangkan, senyum untuk membuat orang lain senang, itu saja sedekah. Zakat, infaq, sodaqoh itu juga untuk menyenangkan orang. Menyantuni fakir miskin, mengasihi anak yatim, itu juga untuk menyenangkan. Menghormati tamu, tetangga itu juga untuk menyenangkan.

Banyak kejuatan di acara ini. Salah satunya adalah jumlah peserta yang lebih banyak dari perhelatan Aksi Bela Islam  212 tahun 2017. Jika tahun lalu diperkirakan jumlah massa sekitar 7 juta orang, kali ini 8-10 juta orang.

Jumlah massa ini jauh dari perkiraan banya pihak. Wapres JK memprediksi tidak akan sebanyak Aksi Bela Islam. Polisi memprediksi hanya puluhan ribu. Prediksi semacam itu wajarlah. Galibnya  reuni tidak bisa dihadiri semua. Tarohlah reuni SMA. Tidak semua murid SMA bisa hadir. Ada yang sudah mati. Ada yang tidak punya sangu. Ada yang malu kumpul karena kondisi sosial ekonominya kapiran. Ada yang tidak menerima undangan karena sudah putus kontak. Ada yang sakit dan sebagainya.

Apalagi seperti kata KH Ma’ruf Amin, bahwa gerakan 212 sudah selesai setelah Ahok dipenjara. Keberadaan Aksi Bela Islam itu untuk menekan agar Ahok yang menghina Alquran Surah Al Maidah ayat 51, sudah dihukum. Bahkan Cawapres nomor 01 melihat reuni ini suatu kegiatan yang tidak jelas. Ulama siapa yang dibela, juga tidak jelas.

Lantas apa yang menggerakkan mereka? Penggerak utama adalah “kalimah tauhid”. Mereka bertekad untuk mengibarkan bendera tauhid di jantung Jakarta. Mereka siap membela bendera itu jika sampai ada yang membakar, mencabuti atau melarang. Maka, hampir tidak ada kafilah mujahid yang tidak membawa atribut kalimah tauhid seperti topi, bendera dengan pelbagai ukuran. Jangan heran kalau kemudian ada ribuan atau bahkan jutaan bendera pelbagai ukuran berkibar di Jakarta.

Dengan perhelatan Reuni Mujahid 212, maka, kini sah bahwa Bendera Tauhid adalah simbol umat Islam, khususnya Indonesia. Bendera yang menyatukan pelbagai kelompok umat Islam. Inilah bendera ”innamal mu’minuna ikhwatun fa ashlihu baina akhawaikum” – Sesungguhnya orang-orang  beriman itu bersaudara. Maka damaikanlah antara saudaramu itu.(QS Alhujurat 10).

Tidak lagi punya tempat mereka yang menganggap bendera tauhid adalah milik HTI yang dilarang pemerintah. Yang menuding bendera tauhid identik dengan ISIS, radikalisme dan terorisme, sudah harus sujud tersungkur tak punya lagi muslihat seperti dukun-dukun Firaun yang tersungkur bersujud kepada Musa (Faulkiyas-saharatu sajidin). Gerak para pembenci kalimah tauhid baik ketika disuarakan, ditulis, diamalkan semakin tersudut.

Sejak 15 abad yang lalu Allah sudah memberi tahu bahwa ada tiga golongan yang membenci kalimah tauhid. Siapa mereka? La ilaha illahu walana’budu illa iyyahu muhlishina lahuddina walau karihal kafirun, walau karihal musyrikun, walau karihal munafiqun. Tiada Tuhan selain Allah dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya dengan memurnikan agama Islam meskipun orang kafir, musyrik dan munafiq membencinya.

Rahmat tauhid itu untuk siapa? Untuk seluruh alam, termasuk untuk Indonesia. Di Reuni Mujahid 212 sudah tercermin pancaran rahmat itu. Pelbagai lintas agama hadir di acara itu tanpa takut, tanpa curiga dan mereka merasakan kedamaian. Acara pernikahan di Gereja Katedral yang dekat dengan Monas juga berlangsung aman damai tanpa terganggu. Tidak ada yang merasa terganggu dengan kegiatan ini kecuali orang-orang yang di dalam hatinya terjangkit penyakit hati seperti iri, dengki, suka bermusuhan.

Rahmat tauhid untuk Indonesia ini niscayanya hanya merajut kembali sejarah yang terkoyak dan terlupakan. Sejak start pertama  perjuangan membangun Indonesia ini dilandasi, dimotivasi tauhid. Pemerintah Samudra Pasai yang memerangi perompak-perompak di Selat Malaka di abad 16 jelas dilandasi dan didorong tauhid. Disusul pengiriman tentara kerajaan Islam Demak dipimpin Adipati Unus untuk mengusir perompak Portugas yang hendak menguasai Indonesia. Sambung menyambung perlawanan Sultan Agung Mataram, Hasanudin Makasar, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol.

Perlawanan-perlawanan sekala lebih kecil seperti Kiai Kasan Mukmin Sidoarjo tahun 1914, Jasmani dan Amat Mukiar di Blitar Selatan 1888, perlawanan Jumadilkubro di Jawa Tengah, perlawanan Imam Suhadak di Ponorogo 1887, Pak Jebrak di Brangkal, Mojokerto tahun 1935, sampai Fatwa Jihad KH Hasyim Asy’ari, Oktober 1945, tentara Sabilillah dan Hisbullah untuk mempertahankan Indonesia dari nafsu Belanda ingin menjajah lagi, tauhid pula yang merajut Indonesia dari kehancuran akibat pemberontakan Muso 1948 dan G30S/PKI 1965.

Namun dalam penulisan sejarah didistorsi sebegitu rupa untuk menafikan peran rahmat tauhid. Misalnya, Perang Diponegoro didistorsi hanya karena persoalan kuburan Tegalrejo dilalui rel kereta api. Perang Bonjol didistorsi konflik kalangan paderi dengan bangsawan Minangkabau. Perlawanan Imam Suhadak didostorsi hanya persoalan pajak. Para pejuangan Hizbullah dan Sabilillah didistorsi sebagai ekstremis. Perlawanan terhadap PKI 1965 mau didistorsi persoalan agraria di desa antara elite kiai dengan rakyat.

Jadi tauhid adalah jantung NKRI itu adalah historis bingit. Sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa itu tauhid banget. Kalimat ”Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa” pada pembukaan UUD 1945, itu sangat tauhid. Maka, kalau mau menghacurkan NKRI harus dipisah dari tauhid, ibarat badan dipisah dengan jantungnya. Buat rakyatnya takut terhadap kalimah tauhid, baik diucapkan atau di tulisan. Buat kalimah tauhid itu masuk dalam ranah radikalisme, terorisme dan ancaman NKRI.

Dengan bendera tauhid ”sah”  menjadi bendera umat Islam tanpa dicurigai HTI, radikalisme dan terorisme, anti Pancasila, anti NKRI maka sebenarnya energi untuk memperkokoh NKRI semakin kuat.  Yakinlah bahwa semua umat Islam Indonesia ini benteng NKRI. Tidak perlu ada kelompok yang mengklaim paling NKRI. Klaim itu bebal dan usang. Namun ingat, ketika NKRI semakin kuat oleh rahmat tauhid maka pasti ada benci. Siapa mereka? Allahu a’lam bisshawab. Gusti Allah ora dhahar ora sare. (*)

*Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo.

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry