“Trump telah menunjukkan kebijakan antiperang dan tampaknya dia mampu menekan Israel untuk tidak lagi menyerang Gaza.”
Oleh Achmad Murtafi Haris*

DONALD Trump terus mengundang perhatian dunia. Gebrakan yang dia lakukan mengubah banyak hal secara drastis. Gaya bicaranya yang ceplas-ceplos (mirip Gus Dur saat jadi presiden RI) membuat pesannya jelas ditangkap oleh khalayak. Penunjukan Karoline Leavitt yang berpenampilan menarik sebagai jubir Gedung Putih merepresentasikan gaya komunikasi Trump yang sebenarnya, lugas dan lepas. Pengalaman Trump sebagai pemilik TV NBC dan program Miss Universe mempengaruhinya dalam memilih jubir yang mesti berstandar beauty and brain. Karoline dengan enteng berujar bahwa dahulu konferensi pers diatur siapa dan apa yang ditanyakan sekarang tidak (spontan). Sesuatu yang belumtentu benar tapi diceploskan saja.

Perubahan drastis di tingkat global demgan naiknya Trump adalah gencatan senjata Israel-Hamas dan hal yang sama akan terjadi pada perang Ukraina-Rusia. Meskipun untuk yang pertama telah direncanakan sebelumnya namun di era Trump ia menjadi lebih pasti. Sementara untuk yang kedua, Ukraina menolak gencatan senjata dengan Rusia namun Trump memaksa Zelensky untuk menerima. Dengan keras Trump berkata ke Zelensky: “kamu tidak mempunyai ‘kartu’ (senjata) untuk melawan. Kartu ada di kami (Amerika). Kamu mempertaruhkan nyawa banyak orang dan menggiring ke perang dunia ketiga sesuatu yang keliru yang tidak boleh diteruskan. Kita (Amerika) sudah membantumu 300 milyar dolar dan tanpanya dalam 2 minggu kamu sudah habis oleh Rusia”. Pembicaraan kasar itu sempat dihentikan oleh protokoler agar dilakukan tertutup karena tidak pantas dilihat umum tapi oleh Trump ditolak.

Penolakan Trump mendukung Ukraina oleh sebagian pengamat dianggap kekalahan Amerika atas Rusia atau ketundukan Trump atas Putin. Tapi bagi Trump anggapan itu semua tidaklah penting. Yang penting adalah manfaatnya bagi rakyat Amerika. Dengan kondisi perekonomian Amerika yang lesu tidak mungkin mempertahankan gengsi mendanai perang melawan Rusia. Terserah Rusia mau menang dan jadi negara terkuat yang penting rakyat Amerika jangan dirugikan, “American First”. Joe Biden oleh Trump disebut tidak cerdas karena membuat kebijakan mendukung Ukraina yang merugikan diri sendiri.

Dunia dengan demikian telah memasuki era baru. Pasca perang dunia II (1945), dunia diwarnai perang dingin antara dua adidaya Amerika dan Uni Soviet yang berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet (1991) dan kemenangan blok Barat. Meski menjadi kekuatan tunggal, Amerika tidak bisa tenang meski tanpa musuh selevel. Pada edisi bulletin mahasiswa Mesir, Himmah (1992), diangkat isu utama “Era Multipolar” pasca kejatuhan Uni Soviet. Headline itu mengangkat kemungkinan munculnya kekuatan baru seperti Islam, Cina dan India. Dari sisi umat Islam, Turki dan Malaysia disebut akan menonjol di tingkat global. Keduanya hingga kini belum tampak dominan meski Turki sangat diperhitungkan dan memiliki industri militer yang kuat. Sementara Malaysia justru terus menurun semenjak Mahatir tidak lagi sebagai perdana menteri. Kekuatan baru justru muncul dari Uni Emirat Arab dan Qatar yang menjelma menjadi pusat bisnis dan perdagangan internasional seperti halnya Singapura di Asia. Belakangan, pasca naiknya Muhammed b. Salman (MBS) ke kekuasaan Saudi Arabia, negara itu dengan cepat mengejar kesuksesan Emirat dan Qatar dan membangun proyek raksasa Neom. Sejauh ini tampak MBS mampu menunjukkan kapasitasnya dan dipercaya menjadi mediator penyelesaian konflik Ukraina yang mempertemukan Trump dan Putin di istana Yamamah Riyadh. Selain beberapa negara Muslim yang sukses tadi, terdapat banyak negara Islam yang penuh konflik dan tidak stabil bahkan kelaparan.

China pasca kejatuhan Uni Soviet berhasil keluar dari jeratan ideologi komunisme yang terbukti gagal dan meruntuhkan Uni Soviet. Rekayasa ideologi dia lakukan dan sebaliknya, sistem terpusat komunis dan kepemimpinan otoriter diarahkan untuk mobilisasi sumber daya manusia dalam persaingan industri global. Dengan kewajiban rakyat berkorban untuk negara, rakyat harus tunduk pada rencana pusat tanpa protes apalagi demonstrasi menuntut kenaikan upah, seumpama. Hal ini menciptakan stabilitas dan iklim bisnis yang sangat mendukung hingga China benar-benar melesat menyalip Amerika. Efisiensi yang dihasilkan dari sistem dan budaya komunis mengantarkan Cina pada kemenangan tidak hanya dalam perdagangan retail tapi dalam teknologi canggih seperti kereta cepat yang lebih cepat dari pesawat udara (1000km/jam). Semua sektor perdagangan kebutuhan sehari-hari, komputer, otomotif dan multimedia didominasi oleh Cina hingga Amerika tidak kebagian apa-apa kecuali industri militer dan antariksa dan sebagian industri berat yang masih digdaya.

Uni Soviet yang berubah menjadi Federasi Rusia, pelan tapi pasti mampu bangkit dari keterpurukan komunisme. Di bawah kepemimpinan Vladimir Putin, Rusia menjadi kekuatan yang semakin diperhitungkan. Ukraina yang selalu menjadi bagian dari Rusia melepaskan diri dari blok Rusia dan ingin bergabung dengan blok Barat dan mendaftar sebagai anggota NATO. Posisinya yang berdekatan dengan Moskow menjadikan perpindahan itu sebagai ancaman bagi Moskow yang berujung pada penyerangan Rusia atas Ukraina. Perang berlangsung 3 tahun hingga kini.

Ketergantungan Ukraina pada bantuan Amerika membuat negeri Paman Sam kehabisan dana. Trump tidak ingin Amerika terus merugi dan ingin perang segera berakhir. Trump pun memutus semua pendanaan kepada lembaga kemanusian dunia seperti WHO dan menghentikan program USAID yang selama ini menjadi penyalur bantuan kemanusiaan Amerika ke seantero dunia.

Penarikan Trump dari keterlibatan di perang Ukraina-Rusia mengakhiri rivalitas pakta NATO dan Rusia. Yang oleh sebagian pengamat dimaknai sebagai kekalahan Amerika atas Rusia atau ketundukan Trump kepada Putin. Terlepas dari anggapan yang merendahkan Amerika itu, ada harapan lebih baik untuk perdamaian dunia ke depan. Kekuatan militer tidak lagi menjadi sumber hegemoni global. Ia lebih bersifat defensif bukan ekspansif. Setidaknya jika berhadapan dengan yang sama kuat, seperti Rusia, Amerika memilih untuk menghindar daripada rugi bandar. Tapi jika untuk negara yang lemah yang berani melawan Amerika dan kepentingan negara, akan dia habisi. Seperti pernyataan Trump jika Hamas tidak mau berdamai dengan Israel, maka akan dia bikin Gaza seperti neraka. Jika Hamas masih berpandangan Israel tidak berhak berdiri di atas tanah yang dahulunya bagian dari Palestina, maka Hamas harus dienyahkan. Trump telah menunjukkan kebijakan anti perang dan tampaknya dia mampu menekan Israel untuk tidak lagi menyerang Gaza. (*)

*Achmad Murtafi Haris  adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry