Oleh Ahmad Ubaidillah

 

Beberapa waktu yang lalu, saya “dicurhati” oleh perempuan muda yang sudah menikah tentang persoalan hidupnya. Kami berbicara panjang lebar, yang kalau saya diringkas, menjadi begini: Dia termasuk manusia yang beruntung. Di tengah banyak orang hidup di bawah garis kemiskinan, dia berada di atas garis kemiskinan. Namun demikian, ia merasa bahwa limpahan kemewahan material yang dimiliki tidak membuatnya bahagia. Hidupnya terasa hampar. Tidak punya makna. Uang tidak membuatnya tersenyum. Murung senantiasa bersarang di relung. Ada “kemewahan immaterial” yang hilang dalam dirinya. Hingga akhirnya, dia punya pikiran untuk pergi ke suatu tempat, atau seseorang yang diharapkan mampu mengobati kehausan spiritualnya. Pendek kalimat, kalau boleh saya menyimpulkan, dia sedang mengalami krisis spiritual. Keadaan teman saya barangkali juga terjadi pada kebanyakan orang. Kaya material, tetapi miskin spiritual.

Terkait krisis spiritual ini, saya jadi ingat dengan buku yang ditulis oleh Ali A. Allawi, “Krisis Peradaban Islam (The Crisis of Islamic Civilization)”.  Dalam buku tersebut, Profesor asal Irak itu mengatakan bahwa Islam sebagai agama sampai sekarang menduduki posisi sentral dalam kehidupan miliaran manusia di seluruh dunia, dan terbukti tangguh menghadapi gempuran, baik ateisme maupun sekularisme. Namun, perwujudannya sebagai sebuah peradaban tengah mengalami krisis monumental. Bertubi-tubi peradaban menerima pukulan yang menggoyahkan, terutama dari ekspansi Barat, modernitas, dan terakhir adalah globalisasi. Dan saat ini, menurutnya, Islam mengalami krisis terakhir yang menentukan antara bangkit kembali atau lenyap seutuhnya. Ia pun menunjukkan upaya berbagai kelompok Islam mengatasi kemunduran peradaban Islam, mulai dari kaum modernis, revivalis, tradisionalis, sekularis, liberalis, hingga fundamentalis dan Islam politik. Penulis membongkar sebab-sebab kegagalan setiap kelompok dan tiba pada kesimpulan bahwa peradaban Islam tidak bisa bangkit tanpa aspek spiritualitasnya yang menjadi porosnya di masa lalu.

 

Tantangan Spiritualitas

Spiritualitas di dalam masyarakat Islam modern sekarang ini pun mendapat tantangan. Kita melihat masuknya budaya populer, budaya komoditas, gaya hidup konsumerisme dan permainan citra, yang pada tingkat kedalaman tertentu telah menyeret berbagai realitas ritual keagamaan ke dalam ruang-ruang pengaruhnya. Kita menyaksikan masyarakat Islam modern menganggap jalan spiritualitas sebagai gaya hidup (durasi, intensitas, kuantitas), penggunaan waktu, ruang, uang, dan barang di dalam kehidupan sosial. Maka, lahirlah apa yang disebut post-spiritualitas atau hiper spiritualitas.

Post-spiritualitas akan melahirkan post-ritualitas, yaitu aktivitas ritual keagamaan yang dilakukan yang menjadikan dirinya sendiri sebagai referensi, bukan mengikuti model, contoh atau rujukan yang ada sebelumnya, khususnya contoh Nabi dan Rasul. Pada akhirnya, ritualitas yang dilakukan masyarakat Islam modern dengan sifat komsumtifnya akan mengacaukan tujuan utama spritualitas itu sendiri, yaitu penyujian jiwa. Inilah yang terjadi pada masyarakat Islam kita saat ini.

Fenomena acara berbuka puasa yang dilakukan di hotel-hotel berbintang dengan mengundanng artis kondang, sehingga ada semacam citra, ilusi-ilusi,  gaya hidup dan gengsi tertentu yang dibangun di baliknya adalah tantangan spiritualitas umat Islam modern. Di dalamnya, orang tidak lagi sekedar berbuka puasa dengan makanan, akan tetapi dengan image, dengan gaya hidup, dengan gengsi, dengan ilusi-ilusi gaya makanan yang disajikan atau suasana tempat yang diciptakan.

Begitu juga dengan haji plus misalnya, yang menawarkan paket haji yang serba “wah” dan serba istimewa dengan berbagai bentuk fasilitas yang menyertainya. Pemilihan hotel berbintang, makanan khusus (enak), penerbangan khusus, apartemen yang mewah, ziarah transportasi lokal dengan bus AC dan kemewahan dan kukhususan lainnya. Di dalamnya, orang tidak sekedar melakukan ibadah haji saja, melainkan mengejar image , gaya hidup, dan gengsi.

Sebenarnya, tanpa itu semua (mengundang artis, tempat yang mewah, penerbangan khusus, dan sebagainya), seseorang sudah bisa melakukan ritualitas (berbuka puasa atau berhaji) secara sederhana. Pada saat itulah ritual keagamaan kehilangan makna hakikinya. Perilaku-perilaku spiritualitas seperti ini hanya akan mereduksi ritual ibadah menjadi fenomeno permukaan, penampakan, dan tanda-tanda dan pastinya menjauhkan seseorang dari makna yang mendalam dan nilai-nilai spiritualnya. Akibatnya, tujuan utamanya (penyujian jiwa) menjadi terganggu, kacau dan tidak bisa optimal.

 

Keikhlasan Beribadah 

Kita semua seharusnya tidak membiarkan nilai-nilai spiritualitas kita ternodai hanya karena citra, materi, hasrat, dan gaya hidup. Kita seharusnya mengedepankan tujuan utama spiritualitas itu sendiri, yaitu penyujian jiwa.

Memang, kita tidak bisa memungkiri  bahwa  dunia materi, hasrat, konsumsi, citra tidak bisa dileyapkan dari kehidupan manusia. Hasrat tidak bisa dibunuh, materi tidak bisa dihilangkan karena itu merupakan anugerah Tuhan. Jalan spiritualitas yang kita lakukan bukan untuk membunuh hasrat, menentang materi, menghentikan konsumsi atau melenyapkan gemerlap citra, melainkan mengendalikan atau meminimalisasi efek, dampak atau ekses-ekses yang merusak dengan cara penyucian jiwa dari berbagai pengaruh dualistik, kontradiksi, ketidakpastian, kekaburan dan ekstiminitas.

Sejarah mengajarkan kita bahwa segala suatu yang bertumbuh ke arah titik ekstrem pada akhirnya hanya akan menyebabkan penghancuran diri kita sendiri. Jalan spiritualitas adalah jalan untuk mencegah kehancuran yang diakibatkan oleh mesin hasrat yang melampaui spiriitualitas itu sendiri.

Jalan spiritualitas yang kita tempuh diharapkan mampu menjadi mesin pengendali terhadap mesin hasrat kapitalisme dan konsumerisme yang kini sedang dipuja,disanjung,dan digandrungi masyarakat Islam modern. Di sini dibutuhkan keikhlasan dalam menjalankan ibadah (spiriitualitas). Kita perlu menata niat untuk ikhlas dalam menjalankan spiritualitas. Pelepasan dari segala sesuatu yang bisa menggagalkan proses penyujian jiwa perlu kita lakukan.

Sudah saatnya, kita sebagai manusia beragama, meminimalisasi atau bahkan menghentikan segala bentuk jalan spiritualitas yang diembel-embeli mencari identitas, gengsi, citra dan  gaya hidup yang hanya akan merusak hakikat spiritualitas itu sendiri.

Ketulusan dan keikhlasan hati dalam menjalankan ibadah sangat diperlukan untuk mencapai tujuan spiritualilitas secara total. Dunia, dengan segala bentuk gemerlapnya hanya akan membawa kita menjadi rusak kalau kita tidak mampu mengendalikannya. Menapaki jalan  spiritualitas dengan rasa ikhlas, tulus dan sederhana akan mengantarkan kita pada kemuliaan dan kebaikan hidup,  baik di dunia maupun akhirat.

 

Penulis adalah Dosen Ekonomi Syariah  pada Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Lamongan (UNISLA), Jawa Timur.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry