DIPROTES KPK: Prof Romli Atmasasmita (kiri) salah satu dari tiga ahli yang dihadirkan Setnov dalam sidang praperadilan penetapan dirinya sebagai tersangka e-KTP, di PN Jaksel, Selasa (26/9). (ist)

JAKARTA | duta.co – Kesaksian pakar hukum Prof Romli Atmasasmita di sidang praperadilan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) menguntungkan tersangka e-KTP tersebut. Romli melihat alasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lemah saat menetapkan Setnov sebagai tersangka dalam kasus korupsi KTP elektronik.

Romli dimintai pendapatnya sebagai ahli dalam sidang praperadilan yang diajukan Setnov. Romli menjelaskan teori keahliannya sekitar empat jam sejak pukul 11.00 WIB di hadapan Majelis Hakim tunggal Cepi Iskandar.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) itu dianggap memiliki kapasitas lantaran terlibat sebagai perancang UU KPK. “Kalau saya baca inti dakwaan dari KPK dalam 141 halaman itu, (keakurasiannya) masih jauh,” kata Romli persidangan praperadilan Setnov di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (26/9).

Dia menyebut penetapan tersangka Novanto oleh KPK terburu-buru. Menurut dia, meski dalam dakwaan  terdapat poin Setnov telah memengaruhi dan menggerakkan proyek, poin itu tak tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun UU Tipikor.

“Bahasa memengaruhi dan mengerakkan tidak ada di KUHAP dan UU Tipikor. Adanya di konvensi PBB antikorupsi tentang Trading in Influence (memperdagangkan pengaruh),” ujar Romli.

Menurut Romli, pemberian status tersangka terhadap Novanto didasarkan pada dugaan atau asumsi yang belum menjadi fakta. “Rangkaian keterangan saksi dijadikan terhubung satu sama lain lalu disimpulkan,” paparnya.

Romli melanjutkan, KPK seharusnya bisa memberi bukti bahwa terdapat aliran dana kepada Novanto bila memang terdapat kerugian negara. Sebab, Novanto didakwa pada Pasal 2 subsieder Pasal 3 UU Tipikor.

“Berarti ada uang yang berceceran kepada pak Novanto. Tapi tak ada. Itu masalahnya. Di dalam surat dakwaan nggak ada ‎laporan PPATK walaupun BPK mengatakan ada kerugian negara. Buat siapa kerugian negara? Makanya, menurut saya KPK tergesa-gesa (menersangkakan Novanto),” kata Romli.

Sikap kritis Romli terhadap KPK bukan kali ini saja. Saat diundang di sidang Panitia Khusus Angket KPK bentukan DPR, Romli juga ‘menyerang’ KPK. Dia menyebut KPK sudah gagal melakukan koordinasi dan supervisi.”Belum lagi ditemukan kalau ada 36 orang yang jadi tersangka di KPK tapi belum dalam bukti yang cukup,” kata Romli saat itu.

KPK Sempat Protes Kehadiran Romli

KPK sebelumnya mempersoalkan dihadirkannya Prof Romli sebagai salah satu ahli dalam sidang praperadilan. KPK khawatir adanya konflik kepentingan. Hal itu disampaikan anggota Biro Hukum KPK Efi Laila dalam persidangan.

Alasan Evi Lailia, Prof Romli pernah menjadi ahli yang dihadirkan dalam rapat dengan panitia khusus hak angket DPR terhadap KPK. “Romli pernah jadi saksi di Pansus. Kami mempertanyakan apakah ada konflik kepentingan di sini?” ujar Efi dalam persidangan.

Namun, Ketut Mulya Arsana selaku kuasa hukum Setnov memastikan tak ada konflik kepentingan pada kesaksian Romli dalam sidang praperadilan. Ia mengatakan, praperadilan Novanto tidak ada kaitannya dengan aktivitas Pansus. “Kita tidak ada kaitannya dengan pansus. Tidak ada konflik kepentingan sama sekali,” kata Ketut.

Pernyataan Ketut disanggah oleh Efi. Novanto, kata Efi, merupakan ketua DPR RI, yang berkaitan dengan Pansus. Ia meminta hakim mempertimbangkan kapasitas Romli untuk dijadikan ahli dalam praperadilan.

Kemudian, Romli menanggapi keberatan KPK itu. Ia mengatakan, kapasitasnya memberikan keterangan di hadapan Pansus hak angket dan di praperadilan merupakan hal yang berbeda. “Di sana (Pansus hak angket) proses politik. Di sini (praperadilan), proses hukum. Yang undang saya Pansus Angket DPR, bukan ketua DPR,” ujarnya.

Namun, biro hukum KPK masih tidak puas dengan jawaban Romli. Hakim Cepi Iskandar kemudian menengahi perdebatan itu. Ia meminta pihak KPK menerima alasan Romli bahwa ranah praperadilan dan ranah politik di Pansus merupakan hal yang berbeda.

“Keilmuan seseorang tidak bisa dibatasi. Dia ahli dalam hukum pidana, saya rasa dia ingin didengarkan apa pendapat beliau atas pandangan beliau untuk didengarkan bersama,” ujar hakim.

Romli dihadirkan sebagai ahli oleh Pansus karena termasuk penggagas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sebab, Pansus menduga KPK banyak melanggar SOP penyidikan dan tidak mengindahkan aturan hukum yang berlaku.

Pansus mempertanyakan, apakah karena KPK merupakan lembaga superbody kemudian pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dapat ditoleransi. Persoalan lainnya soal tata kelola anggaran dan tata kelola lainnya.

Selain Prof Romli, pengacara Setnov juga menghadirkan Guru Besar Hukum Adminisitrasi Negara Universitas Padjajaran I Gde Panca Astawa dan Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda.

Protes Bukti LHP BPK Jadi Bukti

Pada bagian lain, KPK juga kembali memprotes bukti-bukti yang diajukan kubu Setnov dalam sidang praperadilan. Laporan hasil pemeriksaan (LHP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap KPK pada tahun 2016 diajukan sebagai bukti tambahan oleh pihak Setnov.

LHP itu terkait pengangkatan penyidik di KPK. Namun KPK keberatan dengan bukti itu karena didapatkan dari Pansus Angket terhadap KPK di DPR.

“Atas laporan BPK dari Pansus Angket hanya adalah register masuk pemohon bukan jawaban Ketua DPR. DPR bukan lembaga yang mengeluarkan laporan BPK. Kami harap majelis hakim menolak bukti tambahan tersebut,” ujar anggota Biro Hukum KPK Indah dalam persidangan.

Namun kuasa hukum Setnov, Ketut Mulya Arsana, menyatakan pihaknya meminta LHP dari BPK tersebut dari DPR yang sudah disampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP). Untuk pembuktian sah atau tidak, Ketut menyerahkan kepada hakim tunggal Cepi Iskandar.

“Kami memohon alat bukti RDP, kami minta kan. Bagaimana proses internal proses dokumen itu internal yang tahu, sah atau tidak kami serahkan kepada Yang Mulia,” ujar Ketut.

Meski begitu, KPK mengaku keberatan LHP dari BPK itu pernah diperuntukkan kepada Pansus Angket. Namun saat ini LHP tersebut menjadi alat bukti dalam sidang praperadilan. “Akhirnya menanyakan ketika laporan diperuntukkan Pansus, hari ini (kemarin-red) penyampaian BPK kepada hakim. Ini BPK kepada Pansus bergeser ke praperadilan,” ujar Kabiro Hukum KPK Setiadi.

Lantas, Ketut mengaku sudah mengirimkan surat kepada Ketua DPR Setya Novanto dan Ketua Pansus Angket DPR Agun Gunandjar untuk meminta LHP dari BPK itu. Apalagi LHP dari BPK itu sudah dipublikasi oleh media.

“Yang Mulia, itu surat sudah kirim ke ketua DPR dan ketua Pansus Angket KPK karena saya lihat di RDP di publikasi media, langsung saya minta. Kalau dipertanyakan masalah BPK ke Pansus, mohon dibuktikan BPK serahkan ke Pansus. Mana surat BPK ke Pansus kami sendiri tidak tahu,” jawab Ketut.

Sementara itu, hakim tunggal Cepi Iskandar menyatakan alat bukti tambahan akan menjadi penilaian majelis hakim. Hakim juga akan menilai nota keberatan yang diajukan oleh termohon KPK terhadap alat bukti tambahan tersebut.

“Pendapat saya keberatan termohon sudah ditulis dalam berita acara nanti diputuskan dan dinilai majelis hakim,” kata Cepi.

 

Dihadiri Pimpinan KPK

Sidang praperadilan di PN Jaksel juga dihadiri  pimpinan KPK Saut Situmorang. Kehadirannya untuk memberi semangat pada tim biro hukum KPK yang sedang melawan Novanto. “Biar roh-nya ada pimpinan di roh-nya teman-teman yang lagi berjuang di sini,” kata Saut di PN Jaksel.

Dia juga yakin, tim biro hukum KPK akan memenangkan perkara praperadilan ini. Mengingat yang dilawan oleh KPK saat ini adalah Ketua DPR Setya Novanto. “Kita yakin aja,” ucapnya.

Sebelumnya, KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto (SN) sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2012. Peran Setya Novanto terlacak mulai proses perencanaan hingga pembahasan anggaran di DPR hingga pengadaan barang dan jasa.

“SN melalui AA (Andi Agustinus) diduga telah mengondisikan peserta dan pemenang pengadaan barang dan jasa KTP-e,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo dalam keterangan kepada wartawan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (17/7/2017).

Setya Novanto diduga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya, sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp 5,9 triliun. Namun, Setnov mengajukan gugatan atas penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus itu. hud, dit, tri

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry