SURABAYA | duta.co – Nalar waras pasti protes menyaksikan kasus penyiksaan yang menimpa Novel Baswedan –aktivis anti korupsi yang juga penyidik senior KPK – di mana sudah 2 tahun tak terkuak. Muncul pertanyaan: Siapa, melindungi siapa?

Solidaritas Penegakkan Hukum untuk Novel Baswedan terus bergerak. Kamis, (11/4/2019) adalah tepat 2 tahun Novel Baswedan mengalami penyiraman air keras ke wajahnya oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.

“Upaya berbagai kalangan termasuk KPK sendiri telah dilakukan. KPK sudah meminta Presiden Joko Widodo membentuk Tim Gabungan/Independen Pencari Fakta untuk mengusut perkara tersebut. Namun, alih-alih ada upaya pencarian keadilan atas hukum terus dilakukan, hingga kini, dua tahun berjalan, belum juga ada political will pemerintah untuk menuntaskan kasus tersebut. Ada apa?,” demikian Agus Salim, salah satu Panitia Gerakan Nasional Subuh Berjamaah, Solidariotas Penegakkan Hukum untuk Novel Baswedan, Senin (8/4/2019).

Maka, tambah Agus, dalam rangka memohon petunjuk Allah SWT dan menggugah kesadaran akan pentingnya  penegakkan dan keadilan hukum, mereka mengajak masyarakat luas khususnya umat Islam untuk bersama-sama melakukan ‘Gerakan Nasional Shalat Subuh Berjamaah secara serentak di seluruh Indonesia’.

“Dengan partisipasi masyarakat luas harapannya bisa menjadi bagian dari do’a kesembuhan Novel Baswedan serta tuntutan penegakan hukum untuk menguak para pelaku dan aktor intelektual serta kekuasaan di baliknya,” jelasnya.

Novel Bawesdan sendiri mengaku heran dengan aparat penegak hukum. Menurutnya, sudah dua tahun dirinya menunggu keadailan, dan seperti tak ada lagi harapan. “Sekarang begini, kira-kira kalau sudah menunggu dua tahun, Presiden (Jokowi) mau apa lagi? Bukankah semakin lama, akan semakin sulit untuk terungkap,” kata Novel kepada Republika saat ditemui di acara Amnesty Internasional di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan (Jaksel).

Sebab menurut dia, Tim Gabungan bentukan Kapolri Jenderal Tito Karnavian sudah terbukti tanpa hasil. “Jadi setelah dua tahun (tidak terungkap), tidak ada alasan lagi bagi Presiden untuk menunggu, untuk segera membentuk TGPF,” sambung dia.

Masih menurut Novel, pembentukan TGPF satu-satunya jalan mengungkap fakta hukum tentang tragedi penyiraman air keras yang menimpanya. Penyidik 41 tahun itu menjelaskan, pembentukan TGPF akan lebih objektif menguak siapa pelaku, bahkan aktor intelektual aksi kejahatan tersebut.

Novel menerangkan, pembentukan TGPF bukan desakan subjektif darinya sebagai korban. Namun lebih dari itu, kata dia, TGPF bentukan Presiden memberikan jaminan adanya perlindungan bagi pemberantasan korupsi.

“Dan (TGPF) ini bukan persoalan saya. Ini masalah pemberantasan korupsi yang diganjal, diganggu, dan digagalkan,” kata Novel.

Ia pun bertanya-tanya sikap Presiden Jokowi mengapa tampak berat membentuk tim yang objektif demi pengungkapan skandal kejahatan sistematis terhadap dirinya. “Terus apakah Presiden hanya mau diam? Kalau Presiden tetap diam, saya hanya mau menyampaikan: Terlalulah sudah,” kata Novel.

Seperti diberitakan, Kamis 11 April 2017, Novel menjadi korban penyiraman air keras yang dilakukan oleh dua orang tak dikenal di sekitaran kediamannya, di Penganggsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara (Jakut). Kejadian itu terjadi saat Novel di jalan pulang usai shalat Subuh di Masjid Jami Al-Ihsan. Siraman air keras tersebut membuat Novel harus kehilangan mata sebelah kirinya, setelah perawatan intensif di Indonesia, dan Singapura selama lebih dari 10 bulan.

Desakan kalangan sipil agar kejahatan yang menimpa Novel diungkap sampai hari ini terus dilakukan. Sejak Februari 2018, Novel yang didukung kalangan aktivis dan sipil, meminta kepada Presiden Jokowi agar dibentuk TGPF. Sebab, aksi kejahatan sistematis yang menimpa Novel, bukan serangan pertama. Pun bukan cuma menimpa Novel.

Gerakan Nasional Subuh Berjamaah ini menjadi bagian dari usaha untuk mengetuk pintu langit, agar ada keadilan di bumi pertiwi, dan sekaligus menjadi ‘tamparan’ keras buat pemerintahan Jokowi. (rls,rep)