Keterangan foto TEMPO.CO (Perwakilan korban eksploitasi oleh pemilik Oriental Circus Indonesia (OCI) dan Taman Safari Indonesia (TSI) berdialog dengan Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Mugiyanto, di kantor Kementerian HAM, Jakarta Selatan/FT/TEMPO/Nabiila Azzahra A.

SURABAYA | duta.co – Gila! Kalau benar kisah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) Taman Safari Indonesia, ada eksploitasi anak-anak, penyiksaan para pemain, dan itu sudah dilaporkan tahun 1997, justru di SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), ini benar-benar gila.

“Ya! Tahun 1997 sudah dilaporkan, tetapi justru terbit SP3. Ini manusia, Komnas HAM harus bentuk tim investigasi, harus turun lokasi. Buka identitas mereka, konon ada bunker untuk menyiksa mereka,” tegas Muhammad Sholeh, SH kuasa hukumnya kepada duta.co, Senin (21/4/25).

Diakui oleh Founder OCI dan Komisaris Taman Safari Indonesia, Tony Sumampau, bahwa pihaknya sudah pernah berurusan dengan masalah yang sama, tahun 1997. Tetapi, ia membantah ada eksploitasi dan penyiksaan. Menurutnya, proses pelatihan sirkus memerlukan disiplin yang tinggi, namun tidak melibatkan kekerasan seperti yang dituduhkan.

“Betul, pendisiplinan itu kan dalam pelatihan ya, pasti ada. Saya harus akui. Cuma kalau sampai dipukul pakai besi, itu nggak mungkin,” ujar Tony dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/4/2025).

Tony menilai tudingan penyiksaan sebagai hal yang sensasional dan tidak logis. Ia juga menyatakan bahwa ada sosok provokator yang memanfaatkan situasi ini untuk memprovokasi mantan pemain sirkus. “Kita sedang mengupayakan langkah hukum terhadap pihak yang memanfaatkan mereka,” tambahnya.

Ia mengungkapkan bahwa sebagian mantan pemain sirkus OCI merupakan anak-anak yang sejak kecil dibesarkan di panti asuhan. Mereka mulai mengenal dunia sirkus ketika memasuki usia 6 hingga 7 tahun.

Tahun 1997, para mantan pemain sirkus OCI sempat melaporkan dugaan kekerasan yang mereka alami kepada Komnas HAM. Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan tim investigasi, salah satu tugasnya adalah menelusuri latar belakang keluarga para pelapor.

“Waktu dicari orang tua mereka, saya nggak ikut, yang ikut Pak Hamdan Zoelva dengan Pak Poltak Hutajulu dengan staf dari Komnas HAM yang dulu (era 1997-1998),” katanya.

“Malah Pak Hamdan ini yang mengingatkan saya ‘itu kan dulu kita yang ke Kalijodo’. Memang di situ kan ada penampungan anak-anak, saya nggak enak ngomongnya, istilahnya anak-anak yang orang tuanya tidak diketahui. Nah saat itu kan anak-anak itu diselamatkan ke panti-panti,” lengkap Tony.

Tony juga nama almarhum Baharuddin Lopa, salah satu anggota Komnas HAM saat itu. Baharuddin dan timnya, katanya, turut menelusuri asal-usul anak-anak tersebut. Setelahnya, anak-anak itu justru diberi nasihat agar tidak terpengaruh oleh pihak ketiga dan tetap menghargai orang-orang yang telah merawat dan membesarkan mereka.

Kisahnya Mengerikan

Kisah mantan pemain sirkus OCI Taman Safari Indonesia sungguh mengerikan.  Selain tidak dibayar, mereka mengalami penyiksaan. Bahkan ada yang dipisahkan dari anaknya. Ada yang dipaksa makan kotoran onta.  Dan itu sudah berjalan lama, bertahun-tahun.

Melalui kuasa hukumnya,  Muhammad Sholeh, mereka mengajukan empat tuntutan kepada Taman Safari Indonesia terkait dugaan eksploitasi dan penyiksaan yang dialami mereka selama bekerja di sirkus tersebut. Bukan sekedar dipukul dengan balok, bahkan mereka dipaksa makan kotoran onta.

Tuntutan itu: Pertama, buka identitas mereka (pemain sirkus OCI Taman Safari Indonesia). Pihak Taman Safari harus mau membuka asal-usul identitas 60 mantan pemain sirkus. Beri mereka kebebasan untuk bicara. Karena mereka itu tidak mengetahui identitas asli dan silsilah keluarganya, sejak kecil telah bekerja di sirkus tanpa akses ke dunia luar.

“Satu, buka asal-usul 60 mantan pemain sirkus ini. Ini tidak bisa TIDAK,” kata Sholeh dikutip dari YouTube Kompas TV, Sabtu (19/4/2025).

Kedua, lanjutnya, bentuk tim investigasi untuk meneliti lokasi Taman Safari.Ia mendengar kabar bahwa berdasarkan kesaksian korban, terdapat bunker yang diduga digunakan untuk penyiksaan.

“Bentuk tim investigasi supaya bisa mendatangi lokasi Taman Safari. Menurut teman-teman di sana itu ada bunker. Rumahnya itu ada di bawah tanah, tempat mereka tinggal dan di situ lah tempat penyiksaan. Itu berdasarkan pengakuan (korban),” katanya.

Cak Sholeh, panggilan akrabnya  juga meminta agar pemerintah proaktif berkomunikasi dengan para pemain sirkus yang masih berada di Taman Safari Cisarua Bogor, Prigen Jawa Timur dan Gianyar Bali.

“Dan ketiga harus digelar Pengadilan Hak Asasi Manusia. Para korban menuntut dibentuknya pengadilan HAM untuk mengadili kasus penyiksaan yang terjadi pada tahun 1997,” tegasnya.

Ini bisa menjadi tamparan keras buat APH (Aparat Penegak Hukum). Kalau benar, bagaimana bisa terbit SP3, sementara para pemain sirkus terus dalam posisi teraniaya. “Ini manusia. Dan, keempat baru kita bicara ganti rugi. Tetapi tiga itu harus dilalui dulu. Kenapa harus ada ganti rugi? karena sejak kecil dieksploitasi sampai dia dewasa, tidak pernah digaji. Ini manusia. Wajar menuntut ganti rugi,” tegasnya. (mky,net)