Pemberlakuan barcode untuk pembelian BBM subsidi oleh Pertamina Patra Niaga tidak membuat sebagian masyarakat panik. Karena mereka adalah konsumen Pertamax series yang tak butuh barcode untuk membeli BBM.
—
Jumat, 11 Oktober 2024, pukul 06.00 WB kami sudah berkumpul di halte Trans Jatim, Terminal Bungurasih, Kecamatan Waru, Sidoarjo. Sesuai dengan yang direncanakan, kami akan pergi silaturahim ke teman kuliah yang asli Kebumen, Jawa Tengah.
Kami bertujuh. Saya dan suami, Masdarul, Lukman Hakim dan istrinya Handayani, Sumaidah dan suaminya Mohammad Alim serta Rini Wulandari yang kali ini tidak bersama suaminya Daniel.
Tiga pasangan adalah teman kuliah di kampus kawasan Semolowaru Surabaya. Hanya saya dan suami yang bukan teman kuliah.
Kami adalah tim yang suka traveling, terutama ke tempat-tempat di mana ada teman kuliah kami di situ. Healing sekaligus silaturahim. Sesuatu yang tidak kami lakukan saat kuliah dulu. Di usia 50 tahunan ini kami diberikan sehat dan rejeki untuk bisa melakukannya..
Pergi ke Kebumen adalah perjalanan ketiga kami untuk ‘proyek anjang sana’ ini. Sebelumnya kami mendatangi teman yang tinggal di daerah perbatasan Nganjuk Bojonegoro, Juni 2024. Ke Lamongan pada September 2024 dan Kebumen yang ketiga di tahun ini.
Kami menamai geng ini Wani Lungo, Weddi Luwe (Berani Berangkat, Takut Lapar). Tidak paham mengapa nama ini yang tercetus. Mungkin kami ini pasukan yang ‘hayu-hayu’ saja ketika diajak pergi.
Seperti perjalanan sebelumnya, perjalanan kali ini menggunakan Innova Reborn 2017 warna hitam. Mobil ini punya pasangan Lukman dan Handayani. Mereka membelinya second pada 2020 lalu.
Reborn bagi kami cukup nyaman untuk ditumpangi, karena di usia tua ini kenyamanan berkendara juga perlu dipikirkan. Apalagi kami berombongan dan hingga baris ketiga pasti terisi orang dan barang. Walau duduk di belakang tapi tetap nyaman dan aman.
Berangkat dari Surabaya via tol Trans Jawa. “Si Hitam” begitu kita menyebut Innova Reborn andalan ini, sudah diisi BBM full tank. “Beli Rp500 ribu tadi,” kata Lukman. Kapasitas tangki Si Hitam ini 55 liter. Jika isi Rp 500 ribu berarti masih ada sisa sebelumnya di tangki Si Hitam.
Perjalanan aman dan lancar. Dan pukul 11.00 WIB kami sudah sampai di Kopi Klotok, Kaliurang, Yogyakarta. Kopi Klotok adalah tempat makan dengan suasana pedesaan yang menyediakan menu tradisional seperti lodeh, sayur asem dengan lauk telor dadar krispi dan ayam serta tempe goreng.
Kami makan sesantai mungkin karena sambil menunggu para lelaki selesai sholat Jumat sekaligus menunggu jam check in penginapan pukul 15.00 WIB.
Cukup menikmati makan siang, kami beranjak dari Kopi Klotok pukul 14.30 WIB, dan seperti biasa lalu lintas cukup padat. Tidak mau ambil risiko, sang sopir, Lukman memutuskan untuk kembali mengisi BBM. “Ben sesok nek Kebumen ndak usah isi lagi (biar besok ke Kebumen tidak perlu isi lagi),” kata Lukman.
Sampailah kami di SPBU, entah namanya apa. “Ada barcode pak?” kata petugas. “Kalau pakai Pertalite harus pakai barcode Pak,” tambahnya tanpa kami sempat nanya siapa namanya.
“Oh ndak, saya pake Pertamax. Gak pake barcode-barcode-an (Oh tidak, saya pakai Pertamax, tidak pakai barcode),” kata Lukman sambil buka kaca kiri depan dan mematikan mesin kendaraan.
“Aku ra tau tuku pertalite, montorku tak tukokno Pertamax terus (saya tidak pernah beli Pertalite, mobilku tak belikan. Pertamax terus),” tegasnya seakan mengajak bicara semua orang yang ada di dalam mobilnya. Â “Penuh ya Pak,” kata Handayani, istri Lukman yang duduk di kursi kiri depan.
Petugas pun mengisi tangki. “Harga berapa Pak, Pertamax di sini?,” tanya Handayani pada petugas. “Rp 12.100 per liter Bu,” sahut petugas sambil mengisi BBM.
“Alah gak kacek adoh, selisih Rp 2 ribu. Wes mudun iku regane (alah tidak terlalu beda jauh harganya, selisih Rp 2 ribu. Sudah turun itu harganya),” sahur Lukman.
Petugas mengisi full tank dan hanya habis Rp 400 ribu-an. “Alhamdulillah full, siap berangkat berpetualang,” kata Lukman sambil menghidupkan mesin mobil.
Kami pun menuju penginapan di daerah Jalan Letjen Sutoyo, Kota Yogyakarta untuk istirahat dan bersih-bersih diri. Malam hari, kami kembali mencari makan malam dengan menu khas Jogja, bukan Gudeg melainkan Bakmi Godog Pak Pele. Kami tak lagi bertujuh melainkan ber-13 karena ada teman lain yang menyusul kami dengan kendaraan berbeda.
Usai makan malam, kami putar-putar Kota Yogyakarta di malam hari. Itu yang membuat kami lelah, dan pukul 23.00 WIb kami kembali ke penginapan untuk istirahat.
Menuju Kebumen
Pagi pukul 09.00 WIB, kami keluar penginapan di sebuah townhouse usai sarapan menu khas Yogjayarta , gudeq di Pasar Ngasem. Walau bukan gudeq yang terkenal namun sudah mengobati kepuasan kami menikmati gudeq di daerah asalnya. Perjalanan kami lanjutkan menuju Kebumen, tepatnya ke Desa Sidoharjo, Kecamatan Sruweng.
Perjalanan membutuhkan waktu sekitar tiga jam, melewati Kulonprogo. Kemacetan biasa terjadi di jalur ini dan kami menikmatinya. Apalagi jalan yang mulus dan tanpa ada goncangan sedikit pun. Kami takjub. Jalan nasional ini sungguh membuat kami nyaman melintasinya.
Tidak hanya jalan mulis, namun pemandangan alam di sepanjang yang kami lintasi juga sangat indah. Kami melintasi jalur lintas selatan (JLS) Pantai Selatan dengan jejeran pohon kelapa yang melambai tertiup angin. Jalur ini tidak hanya untuk ke Kebumen tapi juga untuk akses menuju Cilacap dan sekitarnya. Tidak hanya aspal, juga banyak jalan juga sudah ada yang dicor.
Sampai di rumah teman sekitar pukul 12.00 WIB. Teman kami bernama Miharso, kami memanggilnya Ook. Dia ternyata Kepala Desa Sidoharjo. Sudah lima tahun menjabat. Masih ada tiga tahun lagi, masa jabatan di periode pertamanya. Karena kepala desa seluruh Indonesia mendapatkan perpanjangan masa jabatan hingga delapan tahun untuk satu periode.
Setelah cukup istirahat di rumah Ook, kami diajak untuk makan siang di luar rumah. Kali ini pilihannya menu khas Kebumen, Soto Kored. Seperti umumnya soto di daerah Jawa Tengah, soto dengan daging ayam kampung dan toge itu dimakan dengan lontong bukan nasi. Kuah sotonya tidak kuning atau putih bening melainkan cokelat.
Karena lapar, sotopun habis tak tersisa walau ada sebagian dari kami yang mengatakan rasanya agak manis. Karena kami orang Jawa Timur yang terbiasa dengan rasa asin.
Usai makan, Ook pun mengajak kami berwisata. Kali ini ke kawasan Kebumen Geopark. Kawasan wisata dengan keindahan alam pantai Laut Selatan yang dinikmati dari atas tebing. Jarak dari rumah Ook ke tempat wisata ini sekitar satu jam. Tapi satu jam itu tidak terasa karena perjalanan yang menyenangkan dengan pemandangan alam yang indah. Kebumen Geopark baru setahun berdiri. Saat kami ke sana, bertepatan dengan perayaan satu tahun berdirinya kawasan wisata alam itu.
Selain menikmati deburan ombak, kawasan ini juga dilengkapi dengan beberapa vila dan arena permainan anak. Bisa juga untuk tempat ngopi dan bersantai.
Puas dengan angin pantai yang menyegarkan, kami kembali ke rumah Ook untuk menikmati air kepala muda yang baru dipetik dari pohon yang ada di samping rumahnya.
Karena sudah sore, kami memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta. Perjalanan tiga jam membuat kami berpikir untuk tidak terlalu lama di Kebumen. Kami pamit dengan membawa bekal nasi, kering tempe, mie goreng dan rica mentok. Kami akan makan sesampainya di penginapan di kawasan Kaliurang yang sudah kami booking sebelumnya.
Perjalanan tiga jam dimulai pukul 17.00 WIB dari rumah Ook, kami jalani. Kami melintasi Jalan Daendels, yang dulu dibangun di zaman Hindia Belanda yang dikomandani Herman Willem Daendels. Jalan ini sebagian besar sudah dibeton. “Tanahe gerak, lek ra dibeton, mengko gampang rusak (tanahnya gerak, kalau tidak dibeton akan gampang rusak),” kata Ook dengan logat Kebumen yang khas, medok dan ngapak. Sampai di penginapan, sekitar pukul 20.30 WIB Kami lelah dan istirahat untuk memulihkan tenaga.
Lebih Irit
Minggu (13/10/2024), pukul 09.00 WIB, kami check out dari penginapan menuju Pasar Beringharjo di kawasan Malioboro. Kalau dilihat di google map jarak dari penginapan ke Beringharjo sekitar 7,7 kilometer.
Di Minggu siang, cukup panas dan sudah banyak wisatawan lain di kawasan Malioboro walau tidak sepenuh ketika sore dan malam hari. Tapi Malioboro tetap jujukan wisata yang tidak boleh ditinggalkan ketika ke Yogyakarta.
Puas belanja dan ‘njajan’, kami pun harus segera meninggalkan Kota Yogyakarta yang selalu istimewa itu. Karena kami masih harus mampir ke Desa Brebek di Kabupaten Nganjuk.
Kota Yogyakarta menuju pintu masuk tol Klaten agak padat karena banyak orang yang harus ‘turun’ setelah menikmati weekend di kota itu. Beruntung, tol Yogyakarta ke Solo sudah nyambung walau kami harus masuk tol Klaten karena di situlah pintu masuk tol-nya dari Yogyakarta menuju ke Soli.
Itu sudah memangkas banyak waktu perjalanan karena Yogyakarta – Solo termasuk jalur ‘neraka’ karena selalu macet total. Bisa tiga jam jika weekend atau liburan sekolah. Dengan jalan tol hanya butuh waktu sekitar 20 menit.
Walau BBM masih cukup hingga Nganjuk namun Lukman tidak mau mengambil risiko. Dia merasa harus mengisi BBM lagi. Di SPBU 4457417, Jebugan, Klaten, Jawa Tengah, Lukman mengisi BBM. Kali ini bapak empat anak itu, turun dari mobilnya. “Pertamax full,” kata Lukman.
Petugas SPBU bernama Puguh, sesuai yang tertulis di name text di dada kiri atas membenarkan harga Pertamax saat ini sudah mengalami penurunan. “Sekarang lebih murah, lebih bagus buat kendaraan kalau pakainya Pertamax,” katanya.
Kali ini Si Hitam hanya membutuhkan 39,170 liter dengan harga Rp 473. 957, untuk bisa penuh kembali. Untuk bisa melaju kencang, menuju Nganjuk dan kembali ke Surabaya dengan nyaman dan aman.
Sore sekitar pukul 17.00 WIB, kami tiba di Nganjuk. Sholat dan makan agendanya. Lalu selepas Isya’ kami beranjak menuju Surabaya.
Di tengah perjalanan, Lukman bercerita mengapa dia pakai Pertamax. Dia mengaku menggunakan Pertamax ke luar kota justru lebih nyaman. Mobil jauh lebih enteng tarikannya dan tentu saja membuat sopir tidak terlalu membutuhkan tenaga kuat untuk injak gas dan rem.
“Kalaupun di dalam kota juga tidak masalah. Mobil bisa disetel berkendara dengan ecomode dengan konsumsi sekitar 9-10 kilometer per liter. Kalau di jalan tol bisa kita setel di mode power dengan konsumsi BBM sekitar 13 kilometer per liter,” jelasnya.
Bagi Lukman, Pertamax adalah BBM minimal yang harus dia konsumsi untuk kendaraannya. Pemilik usaha produk laundry ini mengaku Pertamax bisa menjaga kendaraannya hingga bisa awet dan panjang penggunaannya.
“Karena saya ini tipe orang yang tidak suka gonta-ganti kendaraan. Satu tapi dipakai panjang. Saya ganti kendaraan karena memang butuh yang lebih besar. Karena anak-anak sudah besar, mobil yang lama sudah tidak muat. Dan Insya Alloh Innova ini akan bertahan lama di garasi saya,” katanya tertawa.
Pukul 20.30 WIB, kami tiba di Surabaya dengan selamat. Kami berpisah sesuai dengan tujuan atau rumah masing-masing. Sampai di rumahnya di kawasan Wonorejo, Lukman mengabarkan lewat WA (WhatsApp) jika BBM-nya masih separuh. “Ya masih sisa 25 literan. Alhamdulillah. Liburan murah meriah,” ungkapnya
Subsidi Tepat Sasaran
Pertamina Patra Niaga berharap, semakin banyak masyarakat yang menggunakan BBM non subsidi. Karena dengan begitu, subsidi yang digelontorkan pemerintah untuk BBM tidak terus membengkak.
Karena setiap tahun anggaran untuk subsidi energi baik untuk BBM dan listrik selalu meningkat. Tercatat, Januari hingga Mei 2024, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menggelontorkan Rp56,9 triliun untuk subsidi energi termasuk di dalamnya BBM.
Area Manager Comm Rel & CSR Pertamina Patra Niaga Jatim, Bali dan Nusa Tenggara (Jatimbalinus), Ahad Rahedi mengatakan pemberlakuan barcode untuk pembelian pertalite ini pada dasarnya adalah upaya Pertamina Patra Niaga untuk membantu pemerintah agar subsidi BBM bisa tepat sasaran.
“Dari data yang masuk itu kami akan sampaikan ke pemerintah, seberapa banyak masyarakat yang membutuhkan subsidi BBM itu baik itu Pertalite maupun Biosolar,” ungkap Ahad.
Hingga akhir Agustus 2024 atau batas terakhir pendaftaran BBM subsidi khususnya Pertalite, ada 457.445 kendaraan yang mendaftar di seluruh Jawa Timur. *endang lismari