Rusuh antarpendukung, saling bakar terjadi di Bangkalan, Madura. Dan masih banyak lagi daerah yang mencekam. (FT/Tribunnews.com)

“SEBELAS tahun silam, tepatnya Kamis, 30 Oktober 2008, catatan Abdul Mun’im DZ diunggah nu.or.id. Judulnya ‘Pilkada Langsung Harus Segera Dihentikan. Menurutnya, seliberal apapun negara, tidak ada yang segegabah Indonesia dalam membuat kebijakan pemilu seperti ini.” Berikut tulisan lengkapnya:

Pilkada Langsung Harus Segera Dihentikan
Keterangan foto jagatngopi.com
Oleh : Abdul Mun’im DZ.

SEJAK pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung dilaksanakan, pihak PBNU telah menyaksikan berbagai kenaifan dan ironi yang bertolak belakang dari tujuan semula, baik untuk meningkatkan kadar demokrasi maupun untuk memperluas keadilan dan kesejahteraan sosial.

Pilkada langsung belum memberikan berkat apa-apa, malah menciptakan friksi sosial. Itu pun dengan biaya yang sangat besar. Pilkada Jawa Timur (2008), misalnya, menelan biaya APBD sebesar Rp 500 miliar untuk putaran pertama dan Rp 200 miliar untuk putaran kedua. Pun partisipasi masyarakat hanya mencapai 55 persen dari total pemilih di Jawa Timur, sedangkan sisanya sekitar 40 persen adalah golongan putih (golput). Demikian juga di daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Sementara pimpinan yang dihasilkan tidak bekerja untuk pemerintahan dan rakyatnya, tetapi sibuk memikirkan diri sendiri dan mitra politiknya. Seliberal apapun negara, tidak ada yang segegabah Indonesia dalam membuat kebijakan pemilu seperti ini.

Sebenarnya persoalan terjadi sejak ditetapkannya otonomi daerah di tingkat dua. Ternyata otonomi sebagai bentuk desentralisasi yang dianggap sebagai pematangan demokrasi itu tidak berkaitan apapun dengan demokrasi.

Sebab otonomi daerah itu tidak disertai dengan perubahan power relation (relasi kuasa) antara pemerintah dengan rakyat. Penguasa pusat diganti penguasa daerah yang sama otoriter, menolak partisipasi rakyat kecuali sebagai pemilih, bukan penentu kebijakan.

Hal itu bisa dimengerti karena otonomi tidak dimaksudkan untuk menegakkan kesejahteraan sosial, tetapi sebagai agenda neoliberal yang mendalangi reformasi untuk melakukan devide et impera (pecah belah dan kuasai).

Ketika ide federasi ditolak maka dibuat otonomi, apalagi kalau ada otonomi khusus yang sangat bebas sehingga hampir dilepas seperti Aceh dan Irian Barat. Dalam otonomi semacam itulah pilkada dilakukan secara langsung, maka yang terjadi adalah disintegrasi sosial, karena masyarakat konflik, pimpinan pendidikan konflik, pimpinan agama retak, termasuk komunitas sosial bubar, termasuk keluarga juga mengalami berantakan.

Menurut data yang dilansir oleh Departemen Agama, sejak dilangsungkannya pilkada langsung ini terbukti telah meningkatkan perceraian hingga 500 persen dari 2 juta orang pertahun yang menikah maka pada tahun 2007 ini yang bercerai sebanyak 200 ribu. Ini suatu angka yang spektakuler, padahal sebelumnya hanya berkisar antara 30 hingga 40 ribu.

Hal itu terjadi karena beda pilihan politik antara suami dengan isteri. Kalau hal itu diteruskan, maka negeri ini kan mengalami pengeroposan dari dalam sejak mulai dari keluarga, masyarakat hingga bangsa.

Karena itu sejak awal PBNU mengusulkan pada pemerintah dan publik termasuk pada DPR agar Pilkada langsung ini dihentikan untuk menyelamatkan negara dan bangsa ini dari kelumpuhan.

Pilkada ini tidak hanya biayanya yang mahal, tetapi juga mengakibatkan konflik sosial.

Tetapi sayang, presiden merasa tidak berkuasa menghentikan proses ini karena telah ditetapkan dalam Undang-undang. Bagi NU tidak. Demi menyelamatkan bangsa dari kehancuran, undang-undang yang menyengsarakan harus diubah dan presiden punya wewenang untuk itu.

Sebenarnya secara politik NU cukup diuntungkan dengan adanya pilkada langsung itu, sebab banyak kader NU yang menjadi kepala daerah mulai dari gubernur, walikota atau bupati yang tersebar sejak dari Irian Barat hingga Aceh. Tetapi keuntungan sesaat ini tidaklah lebih penting dibanding dengan keselamatan seluruh rakyat, bangsa dan negara.

Langkah itu pun sama sekali tidak mencederai demokrasi sebab sebagaimana sebelumnya pilkada bisa dilakukan oleh apara wakil rakyat di setiap level. Kalau pilkada langsung terus menerus biaya pembangunan akan habis dan tenaga rakyat juga akan habis, sehingga mereka cenderung apatis dan golput.

Bayangkan, kita disibukkan dengan pemilu, mulai dari pemilu DPR, pemilu presiden, gubernur, walikota, bupati dan pemilihan kepala desa sampai pemilihan RT RW langsung. Itu pun masing-masing sering dilaksanakan dua kali. Akhirnya masyarakat kita hanya sibuk dengan ritual demokrasi padahal ritus politik itu tidak mencerminkan demokrasi sebenarnya itu. Kerukunan nasional dan integrasi sosial merupakan kondisi yang sangat penting untuk melaksanakan pembangunan dan menciptakan berbagai agenda kesejahteraan rakyat.

Pilkada yang disemangati oleh nafsu berkuasa untuk diri sendiri dan kelompoknya telah menyengsarakan rakyat dan mencelakakan para pimpinan daerah sendiri. Hampir seluruh bekas kepala daerah atau bahkan yang sedang menjabat masuk penjara atau sedang berurusan dengan pengadilan karena menyelewengkan uang daerah.

Para pimpinan terpaksa korupsi karena biaya politik menjadi kepala daerah memang sangat mahal, baik untuk membeli suara maupun untuk mengkonsolidasi para elit lokal. Apalagi dalam pilkada yang liberal ini orang timur yang biasanaya rendah hati itu menjadi suka pamer, memampang foto di setiap sudut jalan, memamerkan berbagai gelar dan prestasinya.

Hal itu termasuk dilakukan oleh para calon dari para kiai, ustadz atau budayawan. Padahal apa yang diiklankan itu sering kali tidak sesuai dengan kenyataan. Apalagi dalam sistem ini semua orang merasa berhak menjadi calon tanpa melihat peran dan prestasinya selama ini, maka sering muncul pemimpin yang tidak memiliki kapasitas kepemimpinan dan tidak memiliki watak seorang pemimpin yang mampu mengayomi melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.

Melihat kenyataan seperti itu maka himbauan NU untuk menghentikan proses pilkada langsung itu sangat bisa dipahami. Karena itu semua pihak perlu memperhatikan himbauan itu dan segera mencari langkah bagaimana cara menghentikan pilkada langsung itu, agar negeri kita yang sedang krisis ini tidak semakin parah, agar semua masalah bisa dicari solusinya setelah semuanya bisa berpikir tenang dan berhati dingin. (Abdul Mun’im DZ, Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/14507/pilkada-langsung-harus-segera-dihentikan)

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry