KETERANGAN FOTO UMROH.COM
“Peristiwa yang menusuk batin yang menggelisahkan dimanapun, yang ditambahi dengan “pengajuan hak-hak pengoplosan” yang dipertengkarkan, sejurus waktu usai kalkulasi kepala daerah retret 2025, harus dipungkasi.”

Oleh Suparto Wijoyo*

RAMADAN selalu menyuguhkan keindahan. Warna dan suara bersahutan. Kumandang azan semakin memenuhi angkasa. Pujian dan suara mengaji di masjid-masjid tetap setia dengan tradisinya: menyuarakan pengeras suara menebarkan gelora tadarus yang kian tidak terbendung. Hayatilah realitas ini sebagai bagian buncahan kerinduan atas nama Tuhan. Bukan soal berisiknya suasana. Rakyat telah memiliki tangga kearifan yang spesial. Toleransi telah melekat dalam hatinya dan memaknai sambung-menyambungnya suara-suara dari langgar-langgar kampung saat Ramadan ini, adalah keindahan. Nyanyian bukan sembarang lagu melainkan lantunan khas pembacaan ayat-ayat illahiyah.

Pada lingkup ini terdengarkan kalimat paling eksklusif seruan berpuasa Ramadan. Terdapat ketentuan bahwa puasa itu memang diperuntukkan bagi manusia yang beriman – “yaaa ayyuhalladziina aamanuu kutiba ‘alaikumsh-shiyaamu kamaa kutiba ‘alalladziina ming qoblikum la’allakum tattaquun” (Q.S. Al-Baqarah, 183), bukan kepada semua manusia. Ini pasti sangat istimewa, password khusus guna meraih derajat tertinggi yang dibilang “takwa”. Kata “iman” senantiasa bergandeng setia dengan kata “takwa” yang biasa diketemukan menjadi ajakan meningkatkan “iman dan takwa”. Iman merupakan esensi pengakuan yang terucap dan terlakukan dengan keseluruhan energi jasadi dan ruhani para hamba. Akan ada fluktuasi dalam ritme peneguhan ketertundukan hamba kepada Rabbnya berikut seluruh ajaran-ajaran-Nya, hingga puasa dihadirkan sebagai media “perkuliahan orang-orang beriman” dalam menduduki titik koordinat takwa secara sempurna.

Adapun takwa adalah “petikan buah” ketertundukan dan alas ketaatan yang paling fundamental atas semua “norma Illahi” agar orang-orang itu tersemati atribut “beriman” demi pencapaian lencana “hamba yang membanggakan Rabbnya”. Setiap gerak puasamu melambangkan kobaran anggunnya api imanmu dalam memendarkan cahaya takwamu. Inilah yang terus-menerus saya ikhtiari bersama-sama pembaca semua yang berpuasa Ramadan. Setiap pemuasa bercita dasar utama membentuk formasi kaum beriman di hadapan Rabbnya. Gelayut pemikiran ini tertuju pada situasi indahnya barisan yang dibangun para malaikat dengan segala kekhusukannya di sisi Rabbnya, sehingga hati para nabi dan rasul tertambat menembus mahkota “iman-takwa” para malaikat. Kisah-kisah yang terceritakan dari setiap segmen jejak puasa Rasulullah adalah perlambang yang mampu menuntun agar para pengiman-Nya berusaha tanpa jeda memanggul kehormatan “iman-takwanya”. Tadarus adalah irama yang dicontohkan dalam membentuk “episode pemalaikatan diri di depan Rabbnya.

Oleh karena iman dan takwa itu menentukan derajat kemanusiaan secara integral, maka puasa dinormakan memiliki tatanan prosedural maupun hakikiyah. Totalitas puasa akhirnya menyajikan ujian untuk sampai pada kebijakan. Semua harus mampu dikontrol agar puasa sungguh-sungguh beredar dalam poros pemanggilan yaaa ayyuhalladziina aamanuu yang akan bertengger pada posisi “tattaquun”. Tentu rentang ruas jalan dari kosmologi yaaa ayyuhalladziina aamanuu sampai pada finish la’allakum tattaquun, tidaklah imun dari godaan, dari gedang godogan lan gorengan.

Terdapatlah asumsi bahwa kegaduhan yang membanjiri cakrawala jarak penetapan tersangka korupsi di Pertamina, dapat dipungkasi apabila memasuki bulan Ramadan. Ternyata justru di Ramadan. Dengan daya kewarasan yang paling sederhana sejatinya banyak kaum muslimin wal muslimat yang merasakan keteradukan batinnya atas apa yang terjadi di negeri ini, khususnya yang tidak sehaluan dengan pemegang otoritas hukum, arahnya selalu ada yang menuding ada yang hendak merebut kewenangan, pun tidak menghargai keragaman alias diversifikasi fungsional penyidikan. Bangsa ini tidak hanya terdiri dari penghuni penegak hukum yang sewarna, tetapi beraneka warna, maka hidup menoleransi semuanya, asal maslahat buat negara, adalah panggilan kebangsaan.

Peristiwa yang menusuk batin yang menggelisahkan dimanapun, yang ditambahi dengan “pengajuan hak-hak pengoplosan” yang dipertengkarkan, sejurus waktu usai kalkulasi kepala daerah retret 2025, harus dipungkasi. Kini yang kian penting dikendalikan adalah harga beras dan cabe yang tidak boleh melangit, cukuplah membumi saja. Kemudian mari merajut persaudaraan dalam tadarus yang memperindah kehidupan dengan sapaan teduh yang mewarnai setiap gang dan geng. Biarlah tadarus itu tumbuh subur untuk merayakan gelombang yang merekatkan diantara yang membeda: mana kegaduhan dan mana keteduhan? Rakyat disorong membaurkan pesan tanpa curiga. Bertadaruslah senyampang bisa. Karena dalam tadarus berarti ada ikhtiar membaca diri. Barokallah.

*SUPARTO WIJOYO adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan Guru Besar serta Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry