JENGUK IBUNDA ELANG: Prabowo menjenguk Hira Tety Yoga, ibunda Elang Mulia Lesmana, korban tragedi Trisakti, di RS Dharmais Jakarta. Pengunjung RS minta foto bersama Prabowo. Elang tewas ditembak peluru aparat keamanan saat aksi unjuk rasa menuntut Soeharto mundur pada Mei 1998. (twitter Gerindra)

JAKARTA | duta.co – Hasil survei Media Survei Nasional (Median) menunjukkan suara Joko Widodo dan Prabowo Subianto mengalami penurunan untuk maju dalam laga Pilpres 2019. Elektabilitas mereka lampu kuning dan jika terus merosot akan ke lampu merah.
Direktur eksekutif Median Rico Marbun mengatakan, suara Jokowi mengalami penurunan dari 36,9% di April 2017, 36,2% di Oktober 2017, dan terakhir merosot menjadi 35% di Februari 2018.
“Karena suara Pak Jokowi secara konsisten mengalami penurunan dari bulan ke bulan. Sehingga secara konsisten mengalami lampu kuning dan secara konsisten menurun,” kata Rico dalam acara rilis survei Nasional ‘lampu kuning untuk Jokowi dan pergerakan suara para penantang’ di Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (22/2).
Kemudian, dia juga mengatakan, terdapat 65% yang belum mau memilih Jokowi. Dan terdapat 35 persen yang memilih Jokowi. “Sebanyak 21% memilih Prabowo dan 16,1% tidak memilih siapa pun,” tambah Rico.
Hal tersebut, menurut Rico, ada beberapa faktor lantaran suara Jokowi terus merosot. Yaitu masalah kesenjangan ekonomi di Indonesia terdapat 15,6%. Kemudian harga kebutuhan pokok yang terus meningkat terdapat 13,1%, masalah korupsi 10,1%, tarif listrik yang tinggi 9,7%. Hal tersebut kata Rico yang jadi alasan suara Jokowi terus merosot. “Hal inilah yang jadi PR Jokowi yang menyebabkan suara Jokowi terus menurun,” kata Rico.
Tidak hanya suara Jokowi yang mengalami penurunan. Suara pesaingnya yaitu Prabowo Subianto juga terus menurun, yaitu sekitar 21,2%. Rico juga mengatakan jika suara mereka berdua terus merosot hal tersebut bisa jadi menjadi lampu merah. “Jika suara mereka terus menurun akan menjadi lampu merah untuk mereka berdua,” kata Rico.
Survei ini dilakukan dalam rentang waktu 1-9 Februari 2018, terhadap 1.000 responden yang telah memiliki hak pilih. Survei menggunakan metode multistage random sampling, dengan margin of error 3,1 persen, dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Khusus untuk Jokowi, Rico menjelaskan bahwa kondisi Indonesia akhir-akhir ini menjadi pertimbangan untuk tidak memilih Jokowi dan mencari sosok alternatif.
“Median juga mencatat ada kenaikan ketidakpuasan masyarakat atas kinerja Jokowi dalam menjalankan pemerintahan. Di bulan Oktober 2017 Median mencatat masyarakat merasa Indonesia belum menuju ke arah yang benar dan meningkat di bulan Februari 2018 dengan 32,6 persen,” beber Rico.
“Demikian juga dengan meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat kepada Jokowi untuk mengatasi masalah ekonomi bangsa, di mana Oktober 2017 36,2 persen masyarakat merasa Jokowi tak bisa mengatasi ekonomi bangsa dan meningkat di bulan Febuari 2018 dengan angka 37,9 persen,” tegas Rico Marbun.
 Gatot-Anies-AHY Meningkat
Karena adanya fakta itu menurut Median masyarakat mulai mencari sosok lain di luar kedua sosok tersebut. “Kalau Pak Jokowi tidak segera membenahi masalah ekonomi yang dinilai menjadi kelemahannya akan menjadi lampu merah.
Karena itu, dalam survei ini ada nama-nama lain yang mengalami peningkatan elektabilitas yaitu Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, dan Agus Harimurti Yudhoyono,” kata Rico.
“Terlihat Gatot di bulan Oktober 2017 2,8 % lalu meningkat di bulan Februari 2018 5,5 %. Gubernur Anies Baswedan 4,4 % kemudian meningkat jadi 4,5 %. Dan AHY yang sebelumnya hanya 1% meningkat jadi 3,3 %,” ujar Rico Marbun.
Mereka bertiga terlihat semakin menonjol lantaran beberapa hal. Salah satunya yaitu Gatot Nurmantyo yang dinilai oleh masyarakat merupakan sosok tegas, yaitu sekitar 21,4 %. Kemudian, Gatot dinilai sebagai sosok pembela umat islam sekitar 14,3 %. “Sementara Anies dinilai masyarakat karena memiliki kepribadian baik 18,5 % dan baik kepemimpinannya,” kata Rico.
Kemudian, lanjut Rico, AHY dipilih karena muda sekitar 17,9 % serta figur dari Ayahnya yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 7,1 %. Walaupun demikian suara Jokowi masih di atas mereka. Yaitu sekitar 35% dan Prabowo 21,2 %. “Merosotnya suara Jokowi dan Prabowo terdapat nama-nama baru yang muncul,” ujar Rico.
 

Pemilih Jokowi Pendidikan Rendah

Dalam survei juga terungkap, sebagian besar basis pemilih Jokowi memiliki tingkat pendidikan rendah.
Dari responden yang mengaku tidak tamat SD, 40,9 persen memilih Jokowi. Lalu, dari responden yang mengaku tamatan SD, sebanyak 39 persennya juga menjatuhkan pilihan ke Jokowi.
Basis pemilih Jokowi semakin kecil di tingkat pendidikan SMP (37,4 persen), SMA (27 persen), S1 (13,7 persen) dan S2/S3 (10 persen). “Semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin rendah basis pemilihnya,” kata Rico.
Menurut Rico, angka yang didapat Jokowi ini berbanding terbalik dengan yang didapat Prabowo Subianto. Sebagian besar basis pemilih Prabowo justru dari kalangan berpendidikan tinggi. Responden yang mengaku lulusan S2/S3 dan memilih Prabowo sebesar 40,0 persen. Lalu, dari responden yang mengaku tamatan S1, sebanyak 34 persennya juga menjatuhkan pilihan ke Prabowo.
Basis pemilih Prabowo semakin kecil di tingkat pendidikan SMA (25,1persen), SMP (22,8 persen), SD (21 persen), dan tidak tamat SD (13,7 persen). “Prabowo semakin tinggi pendidikannya, semakin banyak pemilihnya,” kata Rico.
Rico menilai, banyak pemilih Jokowi dari kalangan pendidikan rendah karena tertarik dengan kepribadian Jokowi yang merakyat dan sederhana. Sementara, para pemilih dari kalangan pendidikan tinggi tak hanya menilai dari sosok personal atau citra semata, tapi juga terkait kinerja dan kebijakannya.
“Pencitraan tak lagi efektif bagi kalangan yang berpendidikan. Kalau yang dikeluhkan tarif listrik, ya konkret listrik harus turun, baru suaranya naik,” kata Rico. “Kalau yang dikeluhkan ekonomi sehari-hari, ya itu harus berhasil dulu. Tidak bisa ditutupi dengan bagi-bagi sepeda misalnya,” tambahnya.
 

Fenomena Unik Pemilih Demokrat

Hasil survei Median, salah satunya juga menunjukkan pemilih Partai Demokrat lebih memihak kepada Jokowi dibanding Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun putra sulungnya yakni Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Itu terlihat dari peroleh suara Jokowi yang jauh lebih tinggi dibanding SBY dan AHY. “Pemilih dari Demokrat memilih Jokowi 22,5 persen. Sedangkan SBY 20,0 persen dan AHY 17,5 persen,” kata Rico Marbun.
Rico melihat ada beberapa faktor yang membuat pemilih Partai Demokrat memihak Jokowi. Karena sifatnya dianggap merakyat dan egaliter. Sedikit yang memilih karena kinerja. Dia melihat suara SBY masih tinggi lantaran para pemilih belum melihat sosok yang lebih baik. Walaupun ada sosok AHY yang sudah digadang-gadang sebagai pemimpin masa depan.
“SBY dibanding AHY itu masih banyak yang memilih pak SBY. Tugas berat ini bagi AHY untuk menunjukkan pada konstituen Demokrat belum konstituen partai lain bahwa ia lebih mampu daripada bapaknya,” ungkap Rico. mer, dit, kcm