Sri Mulyani (ist)

JAKARTA | duta.co – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ‘kebobolan’ surat Menkeu Sri Mulyani kepada dua menteri bocor ke publik.  Kemenkeu sangat menyesalkan bocornya surat Sri Mulyani kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan serta Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno. Kemenkeu akan mengusut siapa pembocornya.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti menjelaskan, pembocoran surat itu melanggar peraturan dan disiplin administrasi negara. Tidak sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik.

“Kemenkeu akan mengusut pembocoran surat itu guna menegakkan disiplin tata kelola pemerintahan. Agar pelanggaran tersebut tidak terulang kembali pada masa yang akan datang,” jelas Nufransa dalam keterangan tertulisnya, Rabu (27/9/2017).

Mengenai isi surat, ia melanjutkan, seusai UU Keuangan Negara, Kemenkeu berkewajiban mengelola keuangan negara dan APBN secara hati-hati dan berkelanjutan. Termasuk melakukan pengawasan dan penilaian potensi risiko fiskal yang berasal dari berbagai sumber kegiatan publik.

Dalam surat Menkeu yang bocor Kemkeu sangat ‘galau’ atas memburuknya kinerja keuangan PLN. Sri Mulyani Indrawati menyebut kondisi keuangan PLN bisa membebani risiko fiskal pemerintah dalam rangka memenuhi target penyediaan listrik 35.000 megawatt (MW).

Surat bernomor S-781/MK.08/2017 yang diterbitkan 17 September 2017 itu ditujukan ke Menteri ESDM dan Menteri BUMN. Dalam salinan surat yang beredar itu, Sri Mulyani memaparkan beberapa pandangannya terkait kondisi keuangan PLN. Keuangan PLN dinilai berpotensi membebani keuangan negara.

Pertama, kinerja PLN terus menurun dilihat dari kondisi keuangannya, seiring dengan menumpuknya kewajiban perseroan membayar pokok dan bunga pinjaman. Terlebih, hal ini tak didukung dengan pertumbuhan kas bersih operasi.

 

Potensi Gagal Bayar Utang PLN

Hal ini menyebabkan Kemenkeu harus mengajukan permintaan waiver (klausul pengabaian) kepada peminjam PLN. Ini dilakukan akibat terlanggarnya kewajiban pemenuhan perjanjian pinjaman (covenant) perseroan dalam perjanjian pinjaman. Hal itu dilakukan untuk menghindari gagal bayar atas pinjaman PLN yang mendapatkan jaminan pemerintah tiga tahun terakhir.

Kedua, lanjut Sri Mulyani, kas internal PLN untuk berinvestasi berdampak pada bergantungnya pemenuhan kebutuhan investasi PLN dari pinjaman. Baik melalui kredit investasi perbankan, penerbitan obligasi, dan pinjaman dari lembaga keuangan internasional.

Berdasarkan profil jatuh tempo pinjaman PLN, kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman perseroan itu diproyeksikan terus meningkat beberapa tahun mendatang.

“Sementara itu, pertumbuhan penjualan listrik tidak sesuai dengan target. Dan, kebijakan pemerintah untuk meniadakan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) dapat berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar PT PLN,” tulis Sri Mulyani dalam suratnya.

Selanjutnya, Sri Mulyani juga memperhatikan bahwa sumber penerimaan utama PLN berasal dari TTL yang dibayarkan oleh pelanggan dan subsidi listrik dari pemerintah. Sehingga, kebijakan peniadaan kenaikan TTL perlu didukung dengan ketentuan yang mendorong penurunan biaya produksi tenaga listrik.

“Hal lain, kami mengharapkan saudara dapat mendorong PLN untuk melakukan efisiensi biaya operasi (utamanya energi primer) guna mengantisipasi peningkatan risiko gagal bayar di tahun-tahun mendatang,” terang dia.

Yang terakhir, ia berpendapat bahwa perlu dilakukan penyesuaian target penyelesaian investasi PLN. Dengan mempertimbangkan ketidakmampuan PLN dalam memenuhi pendanaan investasi dari arus kas operasi. Juga, tingginya prospek debt maturity profile serta kebijakan pemerintah terkait tarif, subsidi listrik, dan penyertaan modal negara (PMN).

“Hal ini diperlukan untuk menjaga sustainabilitas fiskal APBN dan kondisi keuangan PLN yang merupakan salah satu sumber risiko fiskal pemerintah,” pungkas Sri Mulyani.

Menurut laporan keuangan PLN 2016, PLN punya liabilitas jangka panjang  Rp272,15 triliun atau turun 30,11 persen dibanding tahun sebelumnya Rp389,44 triliun. Dari angka tersebut, porsi terbesar berasal dari utang perbankan dengan nilai Rp100,36 triliun atau 36,87 persen dari total pinjaman. Selain itu, perusahaan juga mencatat utang obligasi dan sukuk sebesar Rp68,82 triliun. hud, net

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry