BELUM lama ini sebagian elemen bangsa dibuat kaget oleh keinginan seorang warga Aceh bernama Berlin Silalahi, pasalnya  Berlin ini mempublikasikan keinginannya untuk mati.  Tentu saja akibat keinginan Berlin ini, banyak reaksi dari berbaga pihak terkait, yang tentu saja kebanyakan melarang keinginan itu, apalagi tokoh agama, pasalnya keinginan Berlin itu dinilainya sebagai bunuh diri dan cermin manusia Indonesia yang putus asa.

Seseorang punya keinginan seperti itu tergolong “luar biasa”. Pada umunya seseorang itu keinginannya hidup lama atau berumur panjang. Untuk kepentingan asasi ini, seseorang bahkan berusaha maksimal menjaga kesehatannya supaya dikaruniai tuhan  umur panjang. Hak atas hidup (umur panjang) ini pernah diingatkan Nurcholis Majid “barangsiapa menghidupi satu nyawa, sama dengan menghidupi manusia sejagat”

Bukan tanpa dalih Berlin mengajukan permohonan untuk mati. Betapa tidak. Bermula dari peristiwa yang menimpanya, yakni menjadi korban tsunami, maka sejak itu, dia hidup di barak pengungsian.

Namanya hidup di barak pengungsian, tempat Berlin bersama istri berlindung ini ternyata tidak permanen. Semula dia tinggal di barak reyot pengungsian Neuhen, namun hanya sementara karena kemudian dibongkar paksa oleh aparat setempat.

Berlin kemudian pindah barak pengungsian korban tsunami di Gampong Bakoy, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, namun tidak berbeda dengan yang pertama, kembali tempat ini digusur. Kini.  Berlin kemudian nunut di kantor Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam.

Ironisnya, selama empat tahun tinggal di barak, Berlin menderita sakit serius. Tubuhnya kaku karena lumpuh. Dia hanya bisa tergolek di tempat tidur seadanya. Untuk makan sehari-hari, dia berharap dari pemberian para tetangga, di samping kebutuhan hidup lainnya. Menyikapi kondisi ini, Berlin kemudian mengajukan diri untuk mengakhiri hidup dengan cara eutanasia.

Berlin berdalih sudah tidak sanggup lagi menahan sakit berlama-lama. Berlin kemudian menyuruh istrinya menyerahkan surat permohonan eutanasia (suntik mati) dirinya ke Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh.

Dokter pasti tidak bisa memenuhi keinginan Berlin itu, karena dokter terikat dengan sumpah jabatan atau kode etik profesi dokter. Dan menang praktik pengakhiran hidup seseorang atau eutanasia dilarang dalam hukum dan kode etik kedokteran di Indonesia..

Terlepas kedudukan euthanasia dari ranah kode etik dan yuriidis, sejatinya keinginan Berlin atau barangkali keinginan “Berlin lainnya” itu adalah mempertanyakan atau mengeksaminasi peran Negara (pemerintah) dalam menangani korban bencana. Seandainya sejak awal pemerintah mempunyai standar dan prosedur dalam penanganan korban bencana, tidak mungkin ada Berlin yang mengajukan eutanasia. “Permohonan mati” ini dapat terbaca sebagai gugatan radikal terhadap para birokrat penanganan bencana.

Kegagalan atau masih “setengah hatinya” pemerintah menanggulangi korban bencana identik dengan mengabaikan hak asasi warga negara secara serius. Kasus Berlindi  seharusnya juga memberi peringatan atau pelajaran pada negara supaua ke depan sudah tidak ada lagi korban bencana yang terabaikan.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah dituntut untuk saling berkoordinasi guna terwujudnya solusi bagi masa depan korban bencana, khususunya dalam penanganan warga ketika  dihadapkan pada kehadiran bencana alam.

Pengalaman negara lain yang berhasil menanggulangi korban bencana seperti Jepang mesti menjadi acuan bagi para petinggi di negeri ini. Kita tidak menginginkan terjadi kembali kasus Berlin. Oleh karenanya, para petinggi negeri ini dan pejabat di daerah mesti sering “blusukan” ke masyarakat guna mengetahui masalah yang sesungguhnya, bukan masalah yang “dikomoditi” demi sekadar memuaskan atasan atau asal bapak senang (ABS).

Bukan tidak mungkin masih banyak korban bencana yang serupa atau bahkan lebih mengerikan nasibnya diibandingkan dengan Berlin, disamping mempertanyakan kehadiran riil negara atau pemerintah di tengah kehidupan rakyanya. Berlin juga terdapat di tempat pengungsian lainnya.

Kasus Berlin menunjukkan, bahwa ketika rakyat menjadi korban bencana alam atau mengalami kondisi kesulitan ekonomi, dihadapkan pada belenggu kemiskinan dan kefakiran, ini mengindikasikan elemen negara kehilangan komitmennya atau mengidap “kematian amanat”.

Bisa jadi  mereka (elemen negara) itu sedang mengidap penyakit alpa, pura-pura tidak paham, atau mengalami amnesia terhadap peran, tugas, dan wewenangnya. Akibat sikap dan perilaku demikian, rakyat yang semestinya menjadi “proyek”, privilitasnya akhirnya tergerus dan tergusur.

Filosof kenamaan Plato menganalogkan struktur negara dengan struktur manusia. Kalau struktur manusia ini baik, maka kontruksi bernegara pun mesti baik. Baik buruknya negara tergantung struktur manusianya. Struktur manusia ini berelasikan dengan kualitas moralnya (komitmen etik).

Plato itu mengidentikkan negara dengan moral. Kunci struktur negara terletak pada moral manusianya. Membaca negara identik dengan membaca moral para penyelenggaranya. Rakyat akan bisa menikmati kehidupannya dengan atmosfir kedamaian dan kesejahteraan, adalah berkat komitmen para penyelenggaranya..

Ketika di tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini masih banyak pola-pola dehumanisasi diri seperti yang dilakukan Berlin, maka ini menandakan, bahwa masih banyak penyelenbgara negara mulai dari elemen pemerintah pusat hingga daera belum “memberikan” dirinya untuk memediasi atau memenuhi hajat fundamental masyarakat.

Semestinya jia penyelenggara negara berkomitmen sesuai dengan sumpah jabatan saja misalnya, tidak mungkin ada sosok seperti Berlin dan Berlin lainnya yang mengajukan “permohonan mati” atau nekad bunuh diri, pasalnya mereka (sejumlah Berlin) tentulah terpenuhi hajat keseharian hidupnya.

Mulai dari soal pangan, papan, kesehatan, hingga kebutuhan fundamental lainnya,  rakyat Indonesia tidak akan sampai  mengalami kondisi “darurat ketidakberdayaan” di tangan penyelenggara negara yang berkomitmen tinggi.

Berlin yang nekad mau melakukan  radikalisasi atas dirinya sendiri hanya “sampel” yang mengkritisi secara radikal atas peran negara yang sedang “mati suri”, yang  idealisasinya harus dibaca secara makro dan berkecerdasan nurani tinggi oleh negara atau para penyelenggaranya, bahwa masih banyak Berlin lainnya di tengah masyarakat yang “belum mau” mengikuti jejak Berlin yang mengajukan “permohonan mati”.

Berlin seolah jadi representator Berlin lainnya yang menunjukkan, bahwa di zona pemerintahan ini sedang terjadi “darurat integritas” para birokratnya. Mereka  selama ini masih berkinerja lembek dalam penanganan korban bencana. Mereka tidak atau belum belajar menjadi birokrat yang progresif dan merakyat.

“Permohonan mati” oleh Berlin juga sebagai “undangan” pada penyelenggara negara untuk keluar dari belenggu euforia menikmati kekuasaan menuju  realitas empirik kehidupan rakyat, yang  faktanya di dalam realitas ini terdapat pusparagam ketidakberdayaan yang membutuhkan penanganan secepatnya. Karena di tangan penyelenggara ini, kedaulatan rakyat dipercayakan pengelolaanya, maka ditunggu kehadiran atau pembuktian  kinerjanya   sebagai “manajer-manajer”  hebat kekuasaan.

Sebagai refleksi untuk para penyelenggara negara, suatu ketika, Nabi Muhammad SAW ditanya oleh sahabat-sahabatnya, “dimanakah kami menemukanmu yang paling mudah?”. Beliau menjawab “tempat (rumah) terbaikku adalah orang-orang kecil, orang-orang kalah, orang-orang miskin. Diantara mereka inilah, aku mudah ditemukan”. Jawaban ini menunjukkan, bahwa “rumah terbaik” yang dimilikinya adalah kalangan masyarakat kecil, kelompok akar rumput, atau sejumlah orang yang terpuruk dalam ketidakberdayaan

 

*) Penulis adalah Wakil Direktur I Bidang akademik Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry